Laporan: Qistiyanto
KEEROM, Papuaterkini.com – Masuk wilayah Kampung Yamta, PIR ll, Kabupaten Keerom, Papua, disini juga banyak perkebunan sawit yang terlantar alias tak terurus lagi, banyak pohon sawit yang tidak dipetik.
Untuk menggali informasi lebih dalam kami menemui Tokoh Perempuan Keerom sekaligus pegawai Dinas Sosial Kabupaten Keerom yang sudah puluhan tahun mendedikasikan ilmunya di Keerom, Mudrikah, SE.
Dengan adanya perkebunan sawit masyarakat sangat terbantu, karena menambah income keluarga dan membantu perekonomian keluarga dan biaya pendidikan anak sekolah.
“Awalnya Perkebunan sawit ini hasilnya sangat menjanjikan terbukti dengan saya membuka toko sembako di rumah waktu itu bisa meraih omset Rp 8 – Rp 10 juta Per hari, artinya daya beli masyarakat petani itu ada, tapi untuk saat ini tokopun saya tutup, karena biarpun masyarakat butuh barang, tapi tidak mampu untuk membeli,” kata Mudrikah.
Mudrikah menceritakan banyak warga PIR ll yang dulu mengandalkan hasil sawit, kemudian mengambil kredit mobil, naasnya perkebunan sawit macet, angsuran pun jadi tidak lancar akhirnya mobil pun ditarik, belum cicilan lain di Bank pada akhirnya kepikiran jatuh sakit dan meninggal dunia.
Banyak cerita miris lainnya yang tidak bisa diungkapkan satu persatu. Memang saat ini para petani sawit umurnya sudah berusia lanjut, tapi realitanya anak dan cucu kita kehidupannya masih panjang, kebun sawit sudah terlantar tidak bisa menghasilkan apa – apa, terus kedepannya bagai mana nasib generasi penerus bangsa ini?.
“Mereka masih butuh banyak biaya hidup dan pendidikan untuk kedepannya,” ujarnya.
Senasib dengan Warga Petani PIR ll lainnya, Lissa Heipon, mama asli orang Papua (OAP) ini juga sangat sedih dengan keadaan kebun sawit milik keluarganya, dengan terpaksa dia berjualan kecil – kecilan di rumahnya untuk menyambung hidup.
“Dulu keluarga kami mengandalkan sawit untuk perekonomian keluarga, tapi sejak sawit jatuh kami tidak bisa berbuat banyak, terpaksa suami cari kerja lain dan saya buka kios kecil – kecilan di rumah buat menyambung hidup,” katanya.
Ketika ditanya apakah dari perusahan sawit PTPN II ada memberi solusi atau pemberitahuan tentang kelangsungan nasib petani sawit di Arso dan di PIR II khususnya, Lissa Heipon menjawab bahwa tidak ada informasi dan bantuan sama sekali dari PTPN II sampai saat ini.
“Kami masyarakat asli belum pernah mendapat informasi atau bantuan dari perusahan PTPN ll tentang nasib kita selanjutnya, “ terangnya.
Nasib miris petani sawit ini sudah dialami sangat lama, belum lagi kebanyakan mereka terlilit hutang di bank, program replanting kelapa sawit di Keerom adalah satu – satunya harapan petani, karena saat ini usia pohon sawit sudah 35 tahun lebih, sedang usia produktif untuk lahan sawit cuma 25 tahun.
Untuk mengetahui progres Program Peremajaan Sawit di Arso, Lambertus Y Wellyp orang asli Arso dari Workwana yang juga Ketua Koperasi Tani Sawit “Ngakawa “ Kampung Yamta PIR ll Kabupaten Keerom Provinsi Papua, mengatakan atas dasar keprihatinan melihat nasib petani dan lahan sawit di Keerom, ia bersama teman – temannya melalui wadah koperasi petani sawit, sedang memperjuangkan program peremajaan lahan sawit terutama petani Plasma eks perusahaan sawit negara, PTPN ll di Arso.
Mereka sedang berjuang bersama dengan kelompok – kelompok tani yang lain dan pemilik ladang sawit untuk mendapat bantuan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) melalui Kementrian Pertanian, karena sebelumnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah menetapkan sekitar 3.600 hektar lahan peremajaan di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, namun setelah 10 tahun belum ada kejelasannya, namun ia tidak patah arang karena program peremajaan ini akan terus diperjuangkan mesti banyak yang pro dan kontra dan butuh perjuangan yang panjang.
“Kami mengharap bantuan dari Pemerintah melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat, Kementerian Pertanian, namun sudah 10 tahun belum ada kejelasannya, tapi terus berjuang bersama rekan-rekan pengurus koperasi yang lain dan petani sawit untuk maju terus,” katanya.
Harapan beliau sebagai Orang Asli Papua juga mewakili jeritan hati Petani sawit esk Petani Plasma PTPN ll Arso, agar Pemerintah Kabupaten Keerom dan Pemerintah Pusat khususnya membantu terlaksana Program Peremajaan Sawit di daerahnya itu.
“Saya berharap sebagai Orang Asli Papua, Orang Asli Workwana berserta saudara kita warga Transmigrasi PIR II untuk Pemerintah Kabupaten Keerom dan Pemerintah Pusat khususnya dapat membatu program peremajaan di Kebun sawit kami,” harapnya.
Sore itu ketika menemui Pengurus Koperasi Tani Sawit “Ngakawa“ yang lain, Mudrikah kebetulan baru selesai melihat area pembibitan sawit untuk peremajan sawit, lokasi pembibitan sawit terletak di Kampung Yamta PIR ll, beliau bercerita lika – liku perjuangan mendapat program peremajaan sawit, masalah utamanya ketidakpercayaan petani hingga pandangan miring orang tentang Koperasi untuk menjalankan program peremajaan, tapi menurut Mudrikah semua itu sebagai cambuk untuk membuatnya tetap semangat.
Mudrikah yang juga sebagai bendahara Koperasi “Ngakawa” ini, sampai harus door to door ke rumah petani guna meyakinkan petani ikut memperjuangkan program peremajaan sawit.
“Setiap usaha dan perjuangan pasti ada hambatan dan rintangannya, ketika kami hanya punya aset dua hektar tidak bisa dimanfaatkan, lalu apa yang bisa kita perbuat untuk membiayai keluarga kita? Menghidupi keluarga kita? Itu yang menjadi penyemangat saya,” kata Mudrikah.
Pada tahun 2015 , beliau mulai intens berkomunikasi dengan organisasi petani perkebunan terkait kondisi eks PTPN ll, dari hasil komunikasi itu, ada pelatihan peremajan sawit pada bulan Juni 2016. BPDPKS yang membiyayai program tersebut dan 100 petani yang ikut serta.
“Seratus orang inilah yang pertama kali mengumpulkan persyaratan untuk Program Peremajaan Sawit,” tuturnya.
Tahun 2016, petani mulai mengajukan program tersebut, kendalanya dengan masyarakat adat dan respon Pemerintah yang kurang, jadi membuat proses berjalan lamban. Tahun 2017, Mudrikah ke Ibukota Negara, Jakarta menemui Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Hasil pertemuan tersebut, Dirjenbun datang Ke Arso Kabupaten Keerom, melihat kondisi riil Kebun sawit dan hasilnya ada informasi akan mendapatkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada tahun 2018 .
Berdasarkan informasi tersebut Koperasi pun makin gencar mensosialisasikan ke petani dan masyarakat adat, sebagian petani mulai dilatih cara mengunakan aplikasi PSR, dari Dinaspun menunjuk pendamping – pendamping program peremajaan di kampung – kampung, dibantu staff Dinas Pertanian, Usulan Peremajaan diverifikasi di kabupaten dan provinsi.
Program peremajaan ini rencananya akan berlangsung hingga tahun 2023 dengan target 3,600 hektar yang ditetapkan, dalam perjanjian Koperasi Ngakawa dengan Perusahan PT Sutran Ina Perkasa (PT SIP) adalah sebagai perusahan yang nantinya mengolah hasil sawit petani.
“Kami berpendapat, bapak Andi Sutran, sebagai direktur PT Sutran Ina Perkasa memiliki pengalaman mendirikan pabrik sawit di beberapa perkebunan di Jayapura. Jadi hal itu yang menjadi landasan bagi Koperasi berkerjasama dengan PT Sutran Ina Perkasa,” jelasnya.
“Pekerjaan utuh dari Program PO – P3 tanaman menghasilkan, itu memang dikerjakan mitra (PT – SIP), dengan catatan, mitra menyiapkan hilirisasi yaitu membangun satu pabrik, jadi pabrik disediakan oleh mitra, sedangkan perjanjian kerjasama jual beli tandan diatur nanti,” jelasnya.
Koperasi Ngakawa juga masih harus bekerja keras mencapai target 3.000 hektar dan memastikan mendapat pinjaman dana untuk peremajaan, terlebih banyak petani sedang menjaminkan sertifikat tanahnya di bank atau sudah berganti pemilik.
Selain itu, Koperasi juga harus mengurus kridit baru bagi petani di bank untuk membiyayai kebutuhan peremajaan mulai pembersihan hingga panen kira – kira Rp 75 juta per hektar.
“Kami sebagai pengurus Koperasi juga masih harus mengurus kredit baru bagi petani di bank, untuk membiayai kebutuhan peremajaan sawit mulai dari pembersihan ladang, hingga panen dibutuhkan Rp 75 per hektar,” terangnya.
Dengan perhitungan satu petani memiliki 2 hektar, total kebutuhan Rp 150 juta, pemerintah membantu dana peremajaan Rp 30 juta per hektar atau Rp 60 juta per petani.
“Itu sampai di penanaman tok, nanti untuk pupuk, merawat, pengendalian gulma dan lain – lain, itu masih kita berhutang, masih kita cari pembiayaan dari bank,” katanya
“Jadi, petani masih memerlukan dana Rp 90 juta dari bank, pinjaman ini untuk dipakai perawatan, pemupukan hinga pengendalian gulma sampai masa panen. Pinjaman ini akan dikembalikan petani pada saat sawit sudah mulai panen. “ sambungnya.
Pengurus koperasi masih berkordinasi dengan pihak bank untuk mendapatkan kridit, mengingat sebagian sertifat lahan masih menjadi jaminan bank, hanya berupa hasil scan, maka sistem kredit yang diajukan adalah sistem tanggung renteng.
“Dengan sistem kredit tanggung renteng, kredit diajukan atas nama kelompok dengan memakai jaminan sertifikat asli yang sudah ada, beberapa bank pemerintah sudah ada yang setuju dengan sistem ini, untuk proses pengajuan kredit dari sekarang hingga setelah penanaman,” jelasnya lagi.
Dalam perjanjian antara Koperasi Ngakawa dengan bank, PT SIP akan berperan sebagai Penjamin (Avalis). “Ia menjadi penjamin bahwa sawit pasti akan berhasil dengan baik dan pasti akan dapat melunasi utang itu,” pungkasnya.
Terpisah Fince F. Fautngilyanan, SP selaku Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Keerom, menyayangkan selama ini perkebunan sawit milik masyarakat Keerom terbengkalai, sehingga nasib petani perekonomiannya menurun, banyak juga yang beralih profesi atau merantau ke kota.
“Kendala terbesar Petani sawit di Keerom adalah tanaman sawit mereka sudah tidak produktif dan harus diremajakan, pemerintah sendiri sangat mendukung program peremajaan sawit rakyat tersebut,” ujarnya.
Pemerintah bertugas menfasilitasi petani seperti inventarisasi dan verifikasi data dan lahan. “Berapa luas yang sudah terverikasi dan memenuhi syarat itu nanti dari kementerian, dari BPDPKS yang mengeluarkan rekomendasi,” katanya.
Disini yang sudah berjalan dengan baik adalah Koperasi Ngakawa bersama kelompok – kelompok tani dan mitra.
“Untuk petani sawit di Keerom sendiri terdiri dari Warga asli Orang Papua (OAP) dan warga Transmigrasi dari luar Provinsi Papua dan selama ini mereka tidak pernah ada konflik sesama petani sawit. Harapan kami program peremajaan sawit berjalan lancar dan petani mendapatkan manfaat dan hasil dari pertanian sawit, “ pungkasnya. (Selesai)