JAYAPURA, Papuaterkini.com – Seorang wanita berinisial SY dilaporkan ke Polisi karena diduga melakukan perbuatan tak menyenangkan terhadap rekan kerjanya.
Dari pelaporan yang diajukan pelapor bernama Helen pada 21 Maret 2024 itu, SY akhirnya ditetapkan tersangka pada 8 November 2024.
Kasus ini bermula ketika terjadi cekcok antara SY dan Helen pada 18 Maret 2024 dan terlontar kalimat yang menyinggung. Keduanya merupakan karyawan disalah satu travel di Jayapura.
Kuasa hukum terlapor, Yulianto SH, MH menyampaikan bahwa persoalan ini sebenarnya masalah internal perusahaan karena melibatkan sesama karyawan, namun disayangkan karena justru didorong ke proses hukum.
Kliennya yang sedang dalam kondisi menyusui seorang bayi ini dijerat dengan pasal 310 KUHP dan atau pasal 335 ayat (1) KUHPidana tentang pencemaran nama baik atau perbuatan tak menyenangkan.
Dikatakan, kasus perselisihan antar karyawan itu sepatutnya bisa diselesaikan dengan bijak tanpa harus ditetapkan tersangka mengingat ada ruang untuk dilakukan perdamaian atau proses hukum di luar penyidikan atau restorative justice.
Apalagi, kliennya telah mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf berkali-kali. Sampai sang ibu terlapor juga datang dan meminta maaf langsung.
Tak hanya itu, lanjutnya, kliennya juga siap memberikan kompensasi sesuai kemampuannya sebagai bentuk permohonan maaf itu, tapi ternyata tetap dilanjutkan ke proses hukum.
“Klien kami dijerat dengan pasal yang menurut kami sudah tidak relevan lagi diterapkan diera sekarang. Pertanyaan kami ada apa ini, kok seperti dipaksakan?,” sindir Yulianto.
Lanjut pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (Perhakhi) Provinsi Papua ini berharap persoalan ini diselesaikan dengan jalur mediasi atau restorative justice sebagai bentuk mendukung program pemerintah menyelesaikan masalah tanpa harus berproses hukum.
“Apalagi kami dengar ada laporan serupa yang diajukan klien kami ke Polresta dimana ia juga mendapat perlakuan yang sama sehingga balik melapor. Artinya sama-sama melaporkan,” bebernya.
“Selain itu, kami tidak melihat kehadiran pimpinan perusahaan untuk menengahi sehingga kalaupun klien kami dipersulit nanti akan kami cek juga apakah selama ini hak-hak klien kami sudah terpenuhi terutama dalam hak ketenagakerjaan,” sambung Yulianto.
Belum lagi menurut pria yang juga menjabat sebagai Direktur LBH Papua Justice & Peace ini, ia mendengar bahwa saat SY memohon maaf kesekian kali ternyata pelapor menolak memberi maaf dengan alasan sudah terlambat.
Namun belakangan upaya mediasi kembali dimunculkan, namun dengan syarat.
“Ada penyampaian permintaan sejumlah uang dengan angka yang fantastis. Jumlahnya ratusan juta dan ini akan kami cek apakah betul seperti itu, sebab jangan orang dengan ekonomi lemah yang tidak paham hukum ditekan dengan permintaan uang yang tidak mereka sanggupi, ” ungkapnya.
“Kami meminta ini bisa disikapi oleh Kapolda sebab kami melihat penyidik tidak mendukung upaya pemerintah dalam penerapan restorative justice itu sendiri. Masak kasus yang bisa didamaikan justru harus menjadikan orang tak paham hukum babak belur,” pungkas Yulianto. (bat)