Yunus Wonda: Pemekaran Tak Bisa Hentikan Aspirasi Papua Merdeka 

Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda didampingi Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa menerima aspirasi penolakan DOB dari masyarakat Lapago dan Mimika yang diserahkan Wakil Ketua II DPRK Jayawijaya dan Ketua Komisi A DPRK Tolikara, 8 Juni 2022.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Tiga pimpinan DPR kabupaten, masing-masing DPR Kabupaten Mimika, DPR Kabupaten Jayawijaya dan DPR Kabupaten Tolikara menyerahkan aspirasi masyarakat terkait penolakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran kepada DPR Papua.

Aspirasi penolakan pembentukan DOB itu, diterima langsung oleh Wakil Ketua I DPR Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH didampingi Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa di Gedung DPR Papua, Rabu, 8 Juni 2022.

Penyerahan aspirasi penolakan DOB dari masyarakat itu, diawali oleh Wakil Ketua I DPR Kabupaten Mimika, Alex Tsenawatme. “Kami dari DPR Kabupaten Mimika baru hari ini menyerahkan aspirasi dari rakyat Mimika terkait penolakan DOB kepada Ketua I DPR Papua,” kata Alex.

Alex berharap aspirasi yang diterima dari akar rumput di Kabupaten Mimika, dapat diteruskan oleh DPR Papua sesuai dengan mekanisme kepada pemerintah pusat dan DPR RI. Apalagi, ia mengklaim bahwa ada 75 persen rakyat Mimika yang menolak pemekaran itu.

“Secara umum, rakyat di Kabupaten Mimika, 75 persen menolak DOB. Dalam aspirasi itu, ada 19 poin yang kami serahkan, tanpa kami kurangi atau tambah,” imbuhnya.

Selanjutnya, aspirasi penolakan DOB datang dari DPR Kabupaten Jayawijaya dan DPR Kabupaten Tolikara, yang menyerahkan aspirasi penolakan DOB dalam demo yang dilakukan masyarakat Lapago di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, 3 Juni 2022, yang diserahkan langsung Wakil Ketua II DPR Kabupaten Jayawijaya, Reynold Bukorsyom  didampingi sejumlah anggota dewan kepada Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda.

Reynold mengaku jika aspirasi yang diserahkan ke DPR Papua itu, berasal dari demo penolakan DOB dan penolakan UU Otsus Jilid II yang dilakukan di DPR Kabupaten Jayawijaya pada 3 Juni 2022.

“Mereka mengatasnamakan wilayah Lapago dari 9 kabupaten di wilayah Pegunungan Papua. Oleh sebab itu, dengan ancaman pada 10 Juni 2022, mereka akan melakukan demo kembali dengan hal yang sama, sehingga kami datang menyerahkan aspirasi mereka ke DPR Papua untuk diteruskan ke pusat,” jelasnya.

Diakui, jika demo penolakan DOB dan Otsus Jilid II itu, sudah dilakukan 6 kali oleh berbagai elemen masyarakat di Wamena, bahkan DPR Kabupaten Jayawijaya sudah 5 kali menyerahkan aspirasi itu ke DPR Papua. “Nah, yang kami serahkan tadi, aspirasi dari demo yang ke 7 atas nama wilayah Lapago di Kabupaten Jayawijaya,” ujarnya.

Soal adanya tiang bendera yang dipatahkan dan adanya penurunan bendera merah putih di halaman DPR Kabupaten Jayawijaya dalam demo pada 3 Juni 2022, Reynold, pada prinsipnya DPR Kabupaten Jayawijaya tidak mendukung dan tidak menolak DOB, namun pihaknya menerima aspirasi.

“Dalam konteks itu, mereka dalam keadaan bersemangat dan pihak keamanan juga ada disitu. Mereka waktu itu bernyanyi dan menari sambil berlari-lari dibawah tiang bendera itu, lalu dalam kondisi itu yang bersemangat itu, mereka menarik tiang bendera itu dan patah,” jelasnya.

“Hanya saja, bendera merah putih itu diselamatkan oleh mereka sendiri juga. Mereka berikan bendera itu ke Kapolres, lalu Kapolres berikan ke Sekretariat DPR Kabupaten Jayawijaya untuk diamankan, sehingga itu sebenarnya tidak terlalu bermasalah, karena mereka tidak melakukan kekerasan terhadap tiang bendera dan bendera sebagai simbol negara itu,” sambungnya.

Soal adanya indikasi makar dengan penurunan bendera merah putih itu, Reynold menambahkan, bisa saja ada yang mendompleng dalam aksi unjuk rasa itu, dengan tujuan untuk memancing keributan.

Apalagi, demo itu dilakukan dalam skala besar oleh masyarakat dari 9 kabupaten, sehingga aparat keamanan menyadari itu, mungkin pemanggilan itu untuk meluruskan masalah itu.

“Saya harapkan karena ini diberi ruang euforia untuk menyampaikan pendapat dimuka umum oleh Kapolres Jayawijaya, saya pikir ini akan diurus dengan bijaksana,” pungkasnya.

Ditempat yang sama, Ketua Komisi A DPR Kabupaten Tolikara, Yendiles Afrika Towolom mengatakan jika pihaknya hanya mengantar aspirasi masyarakat Tolikara yang menolak DOB dan Otsus Jilid II ke DPR Papua.

“Aspirasi penolakan DOB itu dilakukan oleh seluruh masyarakat Lapago di Wamena, Jayawijaya, 3 Juni 2022, didalamnya termasuk dari masyarakat Tolikara. Aspirasi yang disampaikan itu, kami bawa ke DPR Papua,” ujar Yendiles.

Yendiles mengklaim jika 80 persen masyarakat Tolikara menolak dengan tegas pembentukan DOB dan Otsus Jilid II. “Mereka tolak DOB. Masyarakat hanya ingin pusat perhatikan pembangunan, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan infrastruktur saja, karena DOB tidak ada jaminan untuk kesejahteraan mereka,” imbuhnya.

Wakil Ketua DPRK Mimika, Alex Tsenawatme menyerahkan aspirasi penolakan DOB dari masyarakat Mimika kepada Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda didampingi Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa, 8 Juni 2022.

Menanggapi aspirasi penolakan DOB dari masyarakat Laapago dan Mimika itu, Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda mengaku jika pihaknya telah menerimanya dan siap untuk meneruskan ke pemerintah pusat dan DPR RI yang diserahkan pimpinan DPR Kabupaten Jayawijaya, Tolikara dan Mimika.

“Tadi saya sudah terima aspirasi penolakan DOB itu. Kalau kita lihat realita hari ini, hampir sebagian besar rakyat di Papua menolak pemekaran. Mestinya, pusat harus peka juga, karena masyarakat yang mau menikmati, itu menolak, bagaimana jika itu dipaksakan?,” kata Yunus Wonda.

Politisi Partai Demokrat ini meminta anggota DPR RI dan pemerintah pusat harus peka terhadap sebagian besar rakyat Papua yang menolak pemekaran, sehingga harus menjadi pertimbangan di pusat.

Mestinya, lanjut Yunus Wonda, pemerintah pusat harus serius membangun di Papua, misalnya membangun industri di Papua, sehingga anak-anak Papua tidak menjadi pengangguran, ada lapangan pekerjaan buat mereka. Namun, hal besar itu harus ditarik ke pusat, seperti pembangunan smelter yang diharapkan dibangun di Papua, namun kenyataannya justru dibangun di Gresik, Jawa Timur.

Menurutnya, pemerintah harus berpikir bahwa bukan masalah pemekaran membuaty orang Papua sejahtera, bukan masalah itu. Orang Papua sudah sadar menolak DOB, sehingga mereka melakukan demo, lantaran untuk menyelamatkan orang Papua, sebab mereka mengetahui suatu saat orang Papua akan termarjinalkan dan tersisih di atas tanah mereka.

Untuk itu, Yunus Wonda meminta pemerintah pusat agar jangan menutup mata terhadap aksi demo yang dilakukan rakyat Papua. Pemerintah harus berpikir menyelamatkan orang Papua jauh lebih penting daripada pembangunan. Pembangunan ada, karena ada masyarakat di sana.

“Pemerintah pusat harus jeli melihat ini. Jangan anggap demo biasa, itu tidak boleh,” tandasnya.

Yunus juga mengingatkan kepada Anggota DPR RI sebelum mengambil keputusan agar turun dulu ke Papua untuk mendengar langsung aspirasi dari masyarakat Papua, bila perlu turun saat masyarakat demo untuk melihat sendiri. Sebab, yang merasakan orang Papua.

“Kalau orang bilang dengan pemekaran itu orang Papua akan sejahtera, itu omong kosong. Apa jaminan orang Papua akan sejahtera dengan pemekaran? Bukti hari Papua Barat, apakah mereka sudah sejahtera, tidak ada. Jadi, kita tidak bisa mengatakan pemekaran akan membuat orang Papua sejahtera,” tandasnya.

Yunus menilai bahwa pemerintah pusat terus memaksakan untuk dilakukan pemekaran provinsi di Bumi Cenderawasih. “Ini sama seperti ketika Otsus, dimana rakyat meminta untuk evaluasi dan melibatkan orang Papua, sama sekali tidak dilibatkan. Otsus sama sekali tidak melibatkan orang Papua, baik kami lembaga resmi negara, MRP, DPR Papua dan Pemprov Papua tidak dilibatkan sama sekali, langsung disetujui, begitu juga pemekaran sama.” tukasnya.

Yunus kembali memperingatkan anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Papua untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Papua dan melihat situasi di Papua agar menjadi perhatian dan pertimbangan, bukan ikut terlibat dalam segala hal yang akan mengorbankan rakyat Papua.

“Kepada anggota DPR RI dari Papua, saya lihat anda luar biasa. Anda tidak hadir untuk membela rakyat Papua disana, semoga berikutnya anda terpilih menjadi anggota DPR. Anggota DPR RI dari Papua, harus ingat bahwa ada rakyatmu yang terus berteriak, harus peka dengan itu, kita hadir untuk menyelamatkan rakyat atau kita hadir untuk mengorbankan mereka,” katanya.

Diakui, jika DPR Papua telah meneruskan aspirasi rakyat Papua itu ke pusat, namun sampai hari ini belum direspon dari pemerintah pusat. Meski itu agenda negara yang harus berjalan, mestinya harus melihat apakah itu menguntungkan rakyat Papua atau tidak.

“Orang Papua merupakan ras yang kecil dalam negara ini, harusnya negara memproteksi orang Papua yang kulit hitam dan rambut kriting ini, bukan dimusnahkan. Harus kita pahami itu,” ujarnya.

Apalagi, ungkap Yunus Wonda, jumlah orang asli Papua hanya 2,7 juta jiwa saja, jika dibagi menjadi 4 provinsi, maka setiap provinsi hanya memiliki penduduk orang asli Papua sebanyak 800 ribu jiwa saja.

Dikatakan, pemekaran bukan masalah akan ada penambahan jumlah kursi DPR kabupaten dan provinsi, tapi menyelamatkan orang Papua yang lebih penting dibandingkan pemekaran.

Yang jelas, Yunus mengaku akan melihat perkembangan pembahasan RUU Tiga DOB di Provinsi Papua tersebut hingga akhir bulan Juni 2022, namun dengan banyaknya aspirasi penolakan DOB di Papua, bisa menjadi referensi dan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

“Sekali lagi, kalau pemekaran hanya untuk sekedar menghentikan aspirasi Papua merdeka, tidak akan pernah bisa. Mau 100 pemekaran pun, tidak akan pernah bisa menghentikan aspirasi Papua merdeka, karena itu persoalan ideologi. Itu hanya bisa diselesaikan secara politik saja,” tandasnya.

Hanya saja, imbuh Yunus Wonda, politik tidak bisa diimbangi dengan kesejahteraan. Namun, untuk membangun Papua ini, Papua harus aman dan nyaman terlebih dahulu, tetapi sampai saat ini, Papua masih dalam gejolak sampai hari ini, yang terjadi sejak tahun 1960-an.

“Itu tanda bahwa negara sendiri tidak bisa menyelesaikan masalah Papua dengan baik. Tidak bisa membiarkan Papua terus menjadi ajang konflik, karena orang Papua butuh ketenangan, kedamaian dan kenyaman, namun seakan-akan terjadi pembiaran di Papua ini terus terjadi konflik,” ujarnya.

“Pengiriman ribuan pasukan ke Papua juga tidak bisa menyelesaikan masalah Papua. Perubahan di Papua itu, dengan sentuhan hati. Harus membangun dengan hati, baru bisa rebut Papua ini. Saya pikir pusat jangan terlalu takut, apapun kondisi hari ini, Papua masih dalam NKRI, sehingga harus berbuat bagaimana orang Papua itu mengakui bagian dari diri sendiri dan suatu saat orang Papua mengakui bahwa NKRI itu harga mati, karena tidak bisa NKRI harga mati itu suaranya dari pusat, harus datang dari orang Papua,” pungkasnya. (bat)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *