Opini  

Merangkai Harapan di Atas Kapur Usang: Catatan Lirih Hari Pendidikan Nasional

Oplus_131072
banner 120x600

Oleh: Dr. H. Toni V Mandawiri Wanggai, S.Ag, M.A *

Prolog:

Setiap tanggal Dua Mei, negeri ini menundukkan kepala, mengenang *Ki Hadjar Dewantara*—seorang pemikir yang menjadikan pendidikan bukan sekadar hak, tetapi harga diri bangsa. Tapi tujuh puluh delapan tahun setelah kemerdekaan, pendidikan kita masih terengah-engah: tertatih di pegunungan Papua, terjebak macet di ibu kota, dan terdiam di ruang kelas yang remuk perlahan.

Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia tahun 2024 oleh Badan Pusat Statistik, IPM tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dengan angka mencapai 84,15 atau masuk kategori sangat tinggi. Sedangkan terendah di Papua Pegunungan 54,43. Sementara di Provinsi Papua mencapai angka 75,08 masuk kategori tinggi.

Sekolah-sekolah berdiri, tapi tidak semua bisa dijangkau. Buku-buku dicetak, tapi tak semua terbaca. Guru-guru mengabdi, tapi tak semua dibekali. Di tengah gembar-gembor revolusi industri dan digitalisasi, sebagian anak bangsa masih memimpikan bangku kayu dan papan tulis bersih. Aksesibilitas masih timpang, kualitas masih belum merata, dan keberpihakan negara masih setengah hati.

Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar peringatan—ia seharusnya menjadi alarm kolektif. Apakah kita sungguh sedang mendidik bangsa, atau sekadar menjalankan rutinitas kebijakan? Apakah kita membangun masa depan, atau hanya memperpanjang ketimpangan?

Akses Tak Selalu Berarti Akrab: Potret Ketimpangan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di negeri ini memang telah menjangkau banyak titik, namun belum sepenuh hati. Sekolah dibuka, tapi belum semua bisa masuk. Guru tersedia, tapi belum semua berkualitas. Kurikulum berubah, tapi belum semua menyentuh kehidupan nyata anak-anak. Akses yang diperluas kadang hanya menjadi pintu yang terbuka, tapi tak menyambut siapa pun dengan layak.

Ketimpangan antarwilayah begitu mencolok: anak di Jakarta bicara kecerdasan buatan, sementara anak di pelosok masih berebut papan tulis. Anak di kota bisa ikut kursus daring, anak di gunung bertanya-tanya apa itu internet. Kesenjangan digital bukan cuma soal teknologi, tapi tentang ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh di tengah kemajuan yang tak pernah benar-benar merata.

Kita tak bisa terus-menerus berbicara tentang pendidikan Indonesia sebagai satu entitas tunggal. Ada banyak Indonesia dalam pendidikan Indonesia. Dan selama itu tidak kita akui, maka pembangunan pendidikan akan terus seperti tambal sulam: tak pernah utuh, tak pernah selesai.

Papua: Belajar di Antara Tebing dan Rindu yang Tak Sampai

Berapakah jarak antara kampung dan sekolah di pedalaman Papua? Jarak itu bukan sekadar kilometer. Itu adalah langkah kaki anak-anak yang menantang kabut pagi dan licinnya tanah merah. Mereka bukan malas belajar—mereka terlalu lelah melawan infrastruktur yang tak pernah berpihak.

Data dari Bapperida Papua menegaskan: tantangan pendidikan di tanah ini sungguh kompleks—kekurangan guru, keterbatasan sarana, dan akses yang masih menyakitkan. Belum lagi pendekatan pendidikan yang seringkali mengabaikan konteks sosial dan budaya setempat. Anak-anak Papua tidak butuh kurikulum yang dibawa dari menara gading; mereka butuh pendidikan yang tumbuh dari akar, menyatu dengan tanah dan langit mereka.

Di tanah yang kaya akan budaya dan semangat, mengapa sekolah-sekolahnya miskin perhatian? Di negeri yang merdeka, mengapa masih banyak anak Papua yang belum benar-benar bebas dari kebodohan struktural? Pertanyaan-pertanyaan itu menggema di lembah dan bukit, menunggu jawaban dari Jakarta, atau setidaknya dari hati nurani.

Janji Manis, Fiskal Pahit: Menyoal Logika di Balik Program Pendidikan Gratis

Dalam setiap musim kampanye, kata “pendidikan gratis” menjadi mantra yang memukau. Tapi seperti halnya mantra tanpa ilmu, hasilnya hanyalah ilusi. Banyak kepala daerah latah mengumbar janji pendidikan tanpa biaya, padahal anggaran pendidikan daerah masih sepenuhnya menggantung pada dana dari pusat.

Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sejatinya hanyalah stimulan. Ia bukan sabun ajaib yang bisa membersihkan semua persoalan sekolah. Ketika pemda tidak mengalokasikan dana pendamping, sekolah-sekolah seperti kapal tanpa layar. Mereka jalan, tapi tersendat. Mereka hidup, tapi terseok.

Ironisnya, partisipasi masyarakat yang diatur sah dalam UU Sisdiknas malah dianggap beban. Padahal justru dengan gotong royong, sekolah bisa bertahan. Jika ada dugaan penyimpangan, inspektorat dan BPKP bisa hadir memeriksa. Tapi jangan membunuh semangat partisipasi dengan stigma. Pendidikan bukan hanya urusan negara, tapi urusan bersama. Jika semua urusan hanya diserahkan pada pemerintah pusat, maka kita bukan sedang membangun kemandirian, tapi sedang menyiapkan kegagalan.

Ketika Dunia Bicara Digital, Kita Sibuk Berdebat Hal Teknis

Daerah-daerah maju sudah berbicara tentang artificial intelligence dalam pembelajaran. Di banyak kota, guru belajar coding, murid belajar metaverse. Tapi di Papua, kita masih sibuk mempersoalkan siapa beli spidol, siapa sumbang kursi. Kita masih bergelut dalam perdebatan remeh, sementara dunia sudah berlari.

Apakah salah jika kita tertinggal? Tidak. Yang salah adalah jika kita menikmati ketertinggalan itu. Yang keliru adalah jika kita membiarkan generasi muda tertinggal hanya karena para pemangku kebijakan sibuk menjaga citra daripada membuat perubahan.

Digitalisasi pendidikan bukan soal perangkat, tapi soal visi. Dan visi tidak lahir dari ruang rapat, melainkan dari keberanian untuk merombak kebiasaan lama yang tak lagi relevan. Jika Papua ingin mengejar ketertinggalan, maka langkah pertama adalah menyusun ulang logika anggaran, pola pikir pejabat, dan keberpihakan pada peserta didik, bukan pada pencitraan.

Penutup

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025.

Untuk para guru yang masih setia menulis mimpi dengan kapur dan keringat, untuk anak-anak yang berjalan berjam-jam demi menggapai abjad, untuk orang tua yang rela menjual hasil kebun agar anaknya bisa duduk di bangku sekolah—hari ini adalah milik kalian.

Semoga anak-anak Papua tetap tersenyum menatap masa depannya. Semoga pendidikan menjadi cahaya, bukan hanya slogan. Semoga negara benar-benar hadir, bukan sekadar mencatat.

Mentari terbit dari ufuk yang sama, Membawa cahaya untuk jiwa yang dahaga,

Pendidikan bukan hanya soal angka semata,

Tapi tentang manusia, martabat, dan cita-cita.(*)

* Penulis adalah Seorang Pemerhati Sosial

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *