Sinode Kingmi Pertanyakan Keberadaan Tiga WNA di Distrik Trikora

Bendahara Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Simon Hilapok dan anggota DPRD Nduga, Sem Hehula memberikan keterangan pers, Jumat (26/1).
banner 120x600
banner 468x60
Bendahara Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Simon Hilapok dan anggota DPRD Nduga, Sem Hehula memberikan keterangan pers, Jumat (26/1).

JAYAPURA-Pengurus Sinode Kingmi di Tanah Papua memprotes keberadaan tiga warga negara asing (WNA) bersama keluarganya di Kampung Gim-Ginem, Distrik Trikora, Kabupaten Nduga.

Sebab, keberadaan ketiga orang asing ini, dinilai membawa dampak buruk bagi masyarakat kampung setempat, lantaran tidak membawa hal baik dari berbagai sisi sebagaimana Yayasan yang dibawa mereka, Yayasan Pembinaan Masyarakat Pedalaman.

“Kehadiran Yayasan Pembinaan Masyarakat Pedalaman yang dibawa orang asing tersebut, terkesan sudah menyalahi kaidah serta norma agama  masyarakat di Distrik Trikora,” kata Pendeta Simon Hilapok, S.TH, Bendahara Sinode Kingmi di Tanah Papua kepada wartawan di Hamadi, Jumat (26/1).

Apalagi, kata Pendeta Simon Hilapok, hal itu terkuak sejak dua tahun terakhir ini, dimana sekitar 20 Kepala Keluarga sudah terkontaminasi dengan ajaran baru yang dibawa mereka, melalui misi yayasan tersebut.

“Jadi, sejak 2003 ada tiga orang asing bersama keluarganya datang di kampung dengan mengatasnamakan Yayasan, sejalan dengan itu sejak dua tahun terakhir ada ajaran baru yang diberikan kepada masyarakat,  dimana ajaran ini menurut kami tidak dapat menolong masyarakat di sana,” ungkap Pdt Simon Hilapok.

Saat pihaknya melakukan Raker Klasis di Distrik Trikora, juga menemukan sejumlah keluhan terkait keberadaan orang asing, yang diketahui berkewarganegaraan Belanda, Amerika dan PNG tersebut.

Dalam dua tahun terakhir, sebut Pdt Simon Hilapok, para orang asing ini membagikan rekaman penggalan-penggalan ayat Alkitab yang dibagikan kepada masyarakat untuk direnungi dan dipelajari.

Mirisnya lagi, ada bukti berupa dokumentasi dimana ajaran ibadah yang dilakukan tidak mengenal perpuluhan, persembahan dari jemaat, selanjutnya tidak boleh ada salib,  bahkan perjamuan dapat melibatkan semua jemaat tanpa terkecuali. Mereka  mempopulerkan nama ‘Allah’ dengan bahasa Ibrani menjadi “Yahuwe’ .

“Sebenarnya dalam hal sebutan, akan lebih baik menggunakan bahasa sehari-hari yang lebih dikenal oleh masyarakat, tapi di sini kita bicara masyarakat kampung yang terkesan mudah terkontaminasi, sehingga menurut kami ini sangat menyimpang dari etika norma masyarakat yang ada di sana,” jelasnya.

Menurutnya, dengan mengganti sebutan atau istilah Tuhan istilah dari bahasa mereka, sudah sangat jelas bertentangan dengan ajaran gereja Kingmi yang notabene sebagai pemilik wilayah hukum pelayanan di Distrik Trikora.

Dengan adanya laporan, rekaman serta dokumentasi tersebut, Gereja Kingmi di Tanah Papua merasa perlu melakukan tindakan terkait keberadaan para orang asing itu.

Sebab, lanjut Pdt Simon Hilapok, sejalan dengan kehadiran mereka  sejak 2003 lalu, baru ketahuan aktifitas serta misi yang mereka lakukan mulai tahun 2016.

“Untuk itu, perlu cermati lagi, kehadiran mereka ini  sebenarnya tujuannya apa?  karena tidak ada dampak bagi masyarakat, sebaliknya mengajarkan ajaran baru yang sudah bertolak belakang dari ajaran yang sesungguhnya,” katanya.

Terhadap laporan itu, kata Pdt Simon Hilapok, pihak gereja bersama masyarakat sudah membuat pernyataan sikap, dimana pihak gereka Kingmi dan masyarakat jemaat di sana meminta para orang asing ini kembali ke negara asalnya dan menyatakan menolak semua ajaran yang disebarkan.

Sebab misi mereka tidak bisa menolong masyarakat disana. Untuk itu, ia meminta FKUB, Sinode, pemerintah dan pihak keamanan untuk menulusuri keberadaan para orang asing itu.

Anggota DPRD Kabupaten Nduga, Sem Heluha, SP juga mempertanyakan tujuan serta misi apa yang dibawa oleh orang asing di daerahnya tersebut.

Ia menyebut ajaran yang saat ini disebarkan kepada masyarakat justru sangat meresahkan pihak gereja.

“Pertanyaan kami,  kenapa sejak 2003 hingga saat ini tidak ada dampak baik  terhadap kehadiran mereka di sana? Mereka datang dengan mengganti bahasa serta mengajarkan masyarakat kampung yang awam,” katanya

Bahkan, dengan ajaran itu, terjadi dualisme aliran gereja terhadap masyarakat Kampung Gim-Ginem, Distrik Trikora.

“Jemaat Kingmi sekarang sudah terpecah, bahkan sebagian besar mengikuti aliran yang dibawa mereka, padahal aliran mereka itu sendiri tidak jelas dan tidak ada bermanfaat,” katanya.

Atas persoalan ini, selaku representatif rakyat,  ia bersama Sinode Kingmi akan melakukan koordinasi dengan pihak Sinode agar melakukan tindakan terhadap orang asing tersebut.

“Intinya kami tidak ingin jemaat kami terkontaminasi dengan ajaran baru, sehingga pemerintah dan pihak keamanan perlu menyikapi ini dan segera mengambil tindakan,” pungkasnya. (tis/bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *