JAYAPURA, Papuaterkini.com – Daerah di Distrik Mamberamo Hulu, Kabupaten Mamberamo Raya diduga telah dicaplok oleh dua kabupaten tetangga, yakni Kabupaten Tolikara dan Puncak.
Sekretaris Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Mamberamo Apawer, Marthen NK Tukeji mengungkapkan kabupaten tetangga telah mencaplok wilayah Kabupaten Mamberamo Raya, seperti Puncak menarik daerah Kordesi, Dogiyai menarik Suku Payung, Puncak Jaya menarik Dopo, Turere, Degey dan Darpos, termasuk Tolikara menarik Dou.
“Ini kejadian pertama di Indonesia, bahwa 1 kabupaten ada tiga perwakilan. Ini lucu. Karena 1 daerah di Mamberamo Raya diklaim beberapa kabupaten tetangga,“ katanya.
Bahkan, di Douw terdapat kantor pemerintahan Puncak Jayapura, termasuk kantor pemerintahan Tolikara, padahal itu daerah milik Pemkab Mamberamo Raya.
“Jadi, di Douw itu diklaim tiga kabupaten. Pemerintah pusat harus melihat hal ini. Apalagi, UU Pemekaran sudah jelas batas wilayahnya,“ katanya.
Padahal, sebelumnya Douw itu masuk Kabupaten Jayapura, kemudian masuk ke Kabupaten Sarmi. Tetapi, setelah dimekarkan Kabupaten Mamberamo Raya, namun justru daerah itu diklaim oleh kabupaten tetangga, karena Douw itu dulunya sebuah desa di Kabupaten Jayapura.
Begitu juga di Taiyeve, yang masuk Kabupaten Mamberamo Raya, namun diklaim juga oleh Kabupaten Tolikara. Begitu juga Taria, dulunya dari Dabra, Mamberamo Hulu, namun kini diklaim oleh Mamberamo Tengah.
Selain itu, Yalimo di daerah gunung, namun turun lagi daerahnya sampai di Prawar, daerah Pagai yang sebelumnya masuk Kabupaten Jayapura, tapi diklaim kabupaten lain.
“Daerah itu tidak boleh dirampas, karena masuk daerah Jayapura. Ini milik orang Tabi, bukan orang Laapago. Jangan caplok wilayah orang lain, karena pemekaran itu ada empat syarat yakni luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya alam dan sumber daya manusia,“ tegasnya.
Untuk itu, ia meminta orang Tabi yang ada di DPR Papua dan MRP, termasuk 14 kursi bersama-sama rapat dengan gubernur menyelesaikan masalah itu. Bahkan, ia meminta segera dibawa ke Kemendagri untuk menyelesaikan konflik tapal batas itu.
“Kami mereka bentuk pansus agar masalah selesai secara adat dan hukum. Jangan sampai dikemudian hari bermasalah dan terjadi konflik antar masyarakat, bahkan bisa terjadi konflik antar suku,“ pungkasnya.
Sementara itu, Intelektual Mamberamo Raya, Kevin Totou menegaskan bahwa Kampung Douw dan Taiyeve, Distrik Mamberamo Hulu, merupakan daerah dari Kabupaten Mamberamo Raya, sesuai UU Nomor 19 tahun 2007 tentang Pemekaran Kabupaten Mamberamo Raya.
Namun, akhir-akhir ini, kedua wilayah di Mamberamo Raya itu, dirampas oleh beberapa kabupaten, diantaranya Kabupaten Puncak Jaya ambil bagian di Distrik Torere, padahal itu wilayah Mamberamo Raya.
Kemudian di Douw dan Wari, sebenarnya bagian Distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Raya, tapi dirampas oleh Tolikara, bahkan akan dijadikan ibukota Tolikara.
“Anehnya, Tolikara mau menjadikan itu ibu kota mereka. Padahal, itu bukan wilayah mereka. Tapi milik Mamberamo Raya,“ katanya.
Kevin memaparkan pada tahun 2003 dimekarkan Kabupaten Sarmi, namun saat itu semua berada di Kabupaten Jayapura, termasuk Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah dan Mamberamo Hilir.
Setelah dimekarkan Kabupaten Sarmi, wilayah itu dirampas beberapa kabupaten di Papua, diantaranya Tolikara dan Puncak Jaya.
“Kami mohon Pemprov Papua dan DPR Papua, Pemkab Tolikara dan Puncak Jaya, tolong melihat persoalan ini dengan baik. Jangan sampai dimanfaatkan kelompok tertentu untuk merusak pihak lain. Jangan orang Papua menindas orang Mamberamo,“ tandasnya.
Ia mencontohkan di Friji, ada beberapa oknum mengeluarkan ijin pertambangan rakyat, namanya WPR. Padahal, pemilik hak ulayat itu adalah orang Mamberamo Raya.
“Mestinya, orang Mamberamo dengan marga itu, yang berhak menambang emas di daerah itu. Jangan mengatasnamakan suku itu untuk menindas suku-suku asli yang mendiami Kampung Douw, Taiyeve Distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Raya, tapi diambil oleh Tolikara dan Puncak Jaya,“ katanya.
Ia mensinyalir bahwa pencaplokan wilayah Mamberamo Raya itu, tidak terlepas adanya potensi tambang emas di daerah itu.
“Di Mamberamo Raya, daerah itu disebut kampung. Tapi, oleh Tolikara dan Puncak Jaya, dijadikan distrik. Ini kan perampasan wilayah. Jangan coba-coba mengambil hak dasar orang Mamberamo Raya. Yang jadi masalah ini kan tanah adat,“ ujarnya.
Selain itu, ia mensinyalir pencaplokan wilayah Mamberamo Raya itu, tidak lepas dari dana desa. “Wilayah ini diambil, sementara pemerinath di atas juga tidak salurkan dana sesuai aturan. Contohnya, beberapa desa tidak menerima dana itu seharusnya. Apalagi, daerah itu jadi dua desa/kampung. Satu kampung itu, ada dua kepala desa/kampung, sehingga nyaris konflik,“ ungkapnya.
Ia meminta agar Pemkab Tolikara dan Puncak Jaya melihat kembali UU Pemekaran mereka, terutama batas wilayahnya. “Jadi, harus dicek dulu sesuai UU batas wilayah mereka. Jangan sampai rakyat jadi korbannya,“ pungkasnya.
Perwakilan Mahasiswa Mamberamo Raya, Diro Treydo menambahkan, soal penambangan rakyat yang ada di Kampung Taiyeve dan Douw, Distrik Mamberamo Hulu yang sudah berlangsung hampir 2 tahun, harus mengurus ijin di Kabupaten Mamberamo Raya, bukan di kabupaten lain.
“Jika melalui kabupaten lain, kami mahasiswa tolak itu,“ tegasnya.
Ia melihat penambangan emas itu, harus melihat amdalnya. Sebab, dapat merusak lingkungan dan mengakibatkan rakyat menjadi korban.
Apalagi, imbuhnya, sudah ada beberapa pengusaha yang masuk di daerah itu, titiknya di Friji dan Turere, sudah sangat merugikan masyarakat Mamberamo Raya.
“Begitu pendulang emas itu masuk, masyarakat kesulitan cari air bersih, termasuk sulit mencari ikan,“ pungkasnya.
Tokoh Agama, Bani Tukiro secara tegas meminta agar menghentikan pendulangan emas di daerah itu. “Tolong itu dihentikan. Karena itu juga dosa. Saya harap jangan mengecewakan orang Mamberamo Raya,“ katanya.
Ia minta pemerintah dari Tolikara, Mamberamo Tengah dan Puncak Jaya agar tidak merampas wilayah Mamberamo Raya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Mamberamo Raya, Herman Sokaro meminta tegas kepada Pemprov Papua untuk memperhatikan masalah itu.
“Berdasarkan wilayah adat, tidak boleh mengatasnamakan Mamberamo untuk pemekaran daerahnya. Jangan jual atas nama Mamberamo Raya,“ ujarnya.
Apalagi, ia mendengar ada pengusulan Kabupaten Mamberamo Hulu. “Saya tegas menolak itu,“ pungkasnya.
Menanggapi aspirasi itu, Sekretaris Komisi IV DPR Papua, Sinut Busup mengatakan, jika ia tidak menanggapi masalah batas wilayah, tapi masalah pertambangan rakyat di Mamberamo Raya.
“Pertambangan itu, bisa mengakibatkan dampak banyak hal, yakni hilir sampai hulu. Jika mereka mengambil tambang emas di Mamberamo Raya, harus ada pemerataan,“ katanya.
Sinut menyarankan agar masalah penambangan itu, harus dibicarakan antara Pemkab Mamberamo Raya dengan kabupaten tetangga, Tolikara untuk menyelesaikan masalah itu, agar tidak terjadi konflik.
“Itu dampaknya besar jika tidak ditangani baik. Bahkan, bisa konflik dan korban nyawa. Jadi, itu harus dibicarakan kedua pemerintah daerah dengan melibatkan semua elemen, menyelesaikan selesaikan itu,“ tandasnya.
Begitu juga soal batas wilayah yang tumpang tindih itu, harus dibicarakan bersama termasuk Pemprov Papua harus proaktif, jangan sampai juga memicu konflik. (bat)