Jadi Saksi, John Gobai: Ada Ketidakadilan Pengelolaan Kehutanan di Papua

Ketua Poksus DPR Papua, John NR Gobai.
banner 120x600
banner 468x60
Anggota DPR Papua, John NR Gobai

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Anggota DPR Papua, John NR Gobai dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus penyitaan puluhan kontainer kayu merbau asal Papua di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 5 Juli 2019.

Setidaknya, dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar itu, John Gobai mengaku dicerca 10 pertanyaan terkait kasus kayu merbau asal Papua yang diduga ilegal itu.

Dalam sidang itu, John Gobai dihadapan majelis hakim mengaku menyampaikan adanya ketidakadilan pada pengelolaan kehutanan di Papua.

“Ada ketidakadilan pengelolaan kehutanan Papua. Ketidak berpihakan terhadap masyarakat pemilik hak ulayat hutan maupun pengusaha lokal, akibat buah ketidakadilan, tidak ada perlindungan,” kata John Gobai, akhir pekan kemarin.

Akibatnya, kata Jhon Gobai, para pengusaha lokal Papua yang menjadi mitra masyarakat adat, akhirnya menjadi korban akibat tidak adanya payung hukum pengelolaan kehutanan di Papua.

Dikatakan, pengusaha HPH justru menjadi anak emas, sedangkan pengelola kehutanan lain baik pengusaha lokal maupun masyarakat pemilik hak ulayat hutan menjadi tidak penting. Padahal, jika mereka dibebankan PSDH dan DR, pasti mereka bisa bayar dan memberikan kontribusi kepada negara.

Yang jelas, dalam kasus ini, lanjut John Gobai, ada ketidakadilan terhadap masyarakat adat pemilik hak ulayat hutan, tetapi selalu berpedoman pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999.

“Karena disitu tidak mengatur tentang penggesek kayu, padahal di Papua ada penggesek kayu. Satu dua membuat sawmil kecil, begitu juga pengusaha non Papua, yang membeli kayu dari masyarakat Papua,” ujarnya.

Selain itu, ungkap John Gobai, sampai saat ini belum ada payung hukum yang melindungi para penggesek kayu dan kemitraannya. Sementara HPH bebas, padahal pengusaha HPH ini tidak memberikan kontribusi bagi daerah.

“Jadi, tidak memberikan peluang bagi pengusaha lokal maupun masyarakat untuk berinvestasi di kehutanan. Jika berbicara aturan, semua kayu untuk pembangunan di Papua, baik untuk Stadion Papua Bangkit, kantor DPR Papua dan lainnya, itu ilegal. Karena sumbernya dari masyarakat, yang ditampung di sawmill dan digunakan membangun, tapi kita tidak memberikan payung hukum bagi pengelola kehutanan itu,” paparnya.

Ditambahkan, mestinya ada payung hukum bagi pengelola kehutanan di Papua, bukan hanya HPH saja. Agar mereka tidak menjadi sasaran dari kelompok yang biasa dibikin pos di sepanjang jalan alias jatah preman. Tapi, mereka bisa membayar PSDH dan DR.

“Sampai hari ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum mengeluarkan NSPK. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mengelola hutan, sehingga kembali ke Pemprov Papua dan DPR Papua apakah mau menggodok perda pengelolaan kehutanan yang baru karena yang lama sudah tidak relevan lagi, atau mau membiarkan status quo pengelolaan kehutanan di Papua,” pungkasnya.(bat)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *