Bapemperda DPR Papua Tak Punya Kewenangan Menolak Raperda Bencana Non Alam

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Penolakan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua, Emus Gwijangge terhadap rencana pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanganan Bencana Non Alam termasuk didalamnya virus Corona atau Covid-19, ditanggapi Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE.

“Saya pikir, DPR Papua adalah lembaga yang berjalan sesuai aturan dan mekanisme. Jadi, harus dipahami betul bahwa ini ada aturan-aturan yang ada. Kami di sini gunakan tatib, aturan pemerintah dan lainnya,” kata Jhony Banua Rouw di ruang kerjanya, Rabu, 27 Mei 2020.

Justru Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mempertanyakan statement Ketua Bapemperda DPR Papua yang menolak raperda yang belum ada.

“Saya sebagai yang mempunyai ide awal, memprakarsai hak inisiatif ini, saya belum masukkan kepada lembaga, kok belum dibaca dan dilihat, kok sudah bilang tolak. Apa yang ditolak? Dan dokumen itupun, kalau toh ada, tentu tidak langsung ke Bapemperda. Bacalah tatib kita, tahapannya jelas dan yang boleh mengusulkan adalah anggota DPR Papua atau komisi atau Bapemperda,” tandasnya.

Dikatakan, jika sudah disiapkan dokumennya, tentu diusulkan ke pimpinan DPR Papua, kemudian dibicarakan ditingkat pimpinan, lalu mengundang Badan Musyawarah (Bamus) untuk membicarakan raperda itu. Bahkan, harus diparipurnakan untuk setuju atau tidak setuju.

Untuk itu, lanjutnya, Bapemperda DPR Papua tidak ada kewenangan untuk menolak atau menerima raperda yang diusulkan, tetapi mereka hanya membahasnya atas perintah lembaga.

“Nah, untuk setuju atau tidak setuju itu, bukan ranahnya Bapemperda. Ingat itu. Bapemperda punya tufoksi merasionalisasi, menfinalisasi, harmonisasi agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, PP dan lainnya dan memberikan pembobotan. Itu tugas Bapemperda dan komisi-komisi,” jelasnya.

Selanjutnya, dibicarakan hal-hal yang teknis dikirim ke komisi untuk didiskusikan bersama mitra-mitranya. Kemudian, dikembali dan dilaporkan bersama Bapemperda untuk dilakukan pembulatan atau harmonisasi.

“Setelah itu selesai, dibawa ke paripurna lagi, untuk diparipurnakan. Di situ dilaporkan. Lalu diberikan tanggapan, persetujuan diterima atau ditolak yang dilakukan oleh fraksi-fraksi. Jadi, yang punya kewenangan menerima atau menolak, itu adalah fraksi. Tolong baca aturan yang baik, supaya kita jangan memberikan opini atau pemahaman yang salah kepada rakyat,” jelasnya.  

“Nah, pertanyaan kami, barang ini belum ada. Kok sudah ditolak. Belum baca kok sudah ditolak? Kalau sudah baca, mengerti dan merasa tidak sesuai dan tidak dibutuhkan Papua, kemudian ditolak, ok. Nah, ini belum dibaca. Apa ini alergi karena yang usul Jhony Banua Rouw?,” sambungnya.

Jhony Banua Rouw mengajak anggota DPR Papua meninggalkan sentimen pribadi atau ego kelompok, untuk berbicara kepentingan rakyat.

“Kenapa saya mengusulkan raperda ini, karena saya melihat dari semua kebijakan yang diambil Pemprov Papua sudah baik dan benar, tujuannya mulia bagaimana untuk melindungi rakyat Papua, khususnya masyarakat yang ada di kampung-kampung yang adalah Orang Asli Papua yang sangat minim fasilitas kesehatan dan tenaga medis,” katanya.

Apalagi, kata Politisi Partai Nasdem ini, pihaknya menemukan ada banyak masyarakat yang ingin pulang, baik yang ada di luar Papua maupun yang ada di Papua yang ingin pulang antar kabupaten. Selain itu, ada korban jiwa yang menurutnya, salah prosedur dan salah diagnosa di fasilitas kesehatan, namun kemudian beberapa hari meninggal dunia dengan ciri-ciri mirip gejala Covid-19.

Untuk itu, ujar Jhony Banua, niat baik dari Forkompinda Papua, pemimpin yang ada di Papua, khususnya Gubernur Lukas Enembe yang berani mengambil keputusan untuk menutup akses masuk dan keluar baik bandara maupun pelabuhan di Papua.

Namun, menurut Jhony Banua, hal itu harus diikuti dengan kinerja yang baik dan regulasi yang baik, agar bisa menekan angka penyebaran Covid-19, tetapi juga menjaga agar masyarakat tidak terinfeksi virus itu.

“Angka yang positif Covid-19 naik signifikan. Kita jangan hanya melihat jumlahnya yang positif, sekitar 600 orang lebih. Namun, jika diprosentase jumlah penduduk dan jumlah kasus se Indonesia, ternyata Papua hari ini Papua masuk peringat 2 nasional. Ini menandakan bahwa ada hal yang tidak sejalan,” ungkapnya.

Untuk itulah, kata Jhony Banua, menjadi tugas DPR Papua untuk menyiapkan regulasi untuk mengatur hal itu, agar semua bisa berjalan dengan baik.

“Pertama, kita ingin dengan perda ini, niat pertama kita adalah menjaga dan melindungi rakyat kita yang belum kena virus ini agar tidak terkena, dengan cara menyiapkan aturan,” tandasnya.

Misalnya, dengan penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, cuci tangan, jaga jarak dan lainnya, namun sanksinya tidak ada.

“Contohnya, ada ODP yang berkeliaran, kemudian mengakibatkan orang lain sakit. Kelalaian orang itu, mengakibatkan orang lain sakit. Nah, pertanyaannya ada sanksi bagi orang itu? Apa ada sanksi bagi orang yang tidak pakai masker? Denda 50 ribu bagi orang tidak pakai masker dan pukul rotan, mana dasar hukumnya?, termasuk ada pasien positif yang kabur, apakah ada sanksi?,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Jhony Banua, terkait Undang-Undang Karantina, terkait orang yang datang harus melakukan karantina mandiri, tidak boleh ketemu orang lain, tinggal di dalam rumah, tidak boleh ketemu orang, termasuk keluarga sendiri dibatasi.

“Kalau dia keluar, apa ada sanksi? Tidak ada. Juga tidak ada yang mengawasi. Nah, perda ini tujuannya memberikan breakdown atau turunan dari undang-undang itu,” jelasnya.

Bahkan, Jhony Banua mencontohkan adanya Perdasi Nomor 7 tentang Pelayanan Kesehatan, namun tidak ada menyentuh masalah pandemi virus dan karantina mandiri.

“Tidak ada menyebutkan soal karantina, apalagi sanksi. Lalu kita mau pakai yang mana? Padahal hari ini masyarakat kita terancam wabah, apalagi kesadaran rendah membuat orang lain jadi sakit atau terpapar virus. Nah ini yang harus kita jaga,” tandasnya.

Masih terkait karantina mandiri, jika orang tidak bisa melakukan karantina mandiri lantaran tidak ada fasilitas, maka pemerintah harus menyiapkan tempat, bahkan bila perlu sampai di kampung. Apalagi, budaya masyarakat di Pegunungan Papua, tentu tidak bisa karantina mandiri, lantaran tinggal di Honay yang dihuni lebih dari satu orang, tentu berpotensi terpapar virus.

“Jadi, perda ini bisa menekan pemerintah untuk menyiapkan fasilitas karantina mandiri dengan tujuan melindungi rakyat. Itu sebab kita harus buat perda ini, jika tidak ada fasilitas, maka pemerintah harus siapkan. Bagi ODP, wajib melakukan karantina karena tempatnya ada,” imbuhnya.

Selain itu, Jhony Banua berharap dengan adanya perda ini, juga memberikan perlindungan bagi masyarakat dan bagi pengambil kebijakan ke depannya, bukan hanya menghadapi virus Corona atau Covid-19, tetapi wabah penyakit lainnya di kemudian hari.

“Jadi, perda ini bukan kepentingan politik. Itu tidak ada, tapi ini murni karena kita harus melindungi masyarakat,” tandasnya.

Terkait pemberlakukan Pembatasan Sosial Diperluas dan Dipertegas (PSDD) di Papua, kata Jhony Banua, tidak ada cantolan hukum.

“Jika akibat penutupan bandara dan pelabuhan, ada yang meninggal di Jakarta dan kelaparan di Jakarta, tidak bisa pulang ke Papua, siapa yang bertanggungjawab, kita melanggar batas kewenangan. Itu yang harus kita jaga. Keberanian Gubernur menutup itu, niatnya baik untuk melindungi dan menjaga rakyat, namun harus didukung dengan perda, kalau menutup itu namanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kalau PSBB maka semua masyarakat harus ditanggung dan ijin Menteri Kesehatan. Nah, PSDD apa ada ijin?,” paparnya.

Bahkan, imbuh Jhony Banua Rouw, pihaknya sudah menyampaikan kepada Forkompinda Papua, sehingga Forkompinda merasa penting dan mendesak untuk membuat perda itu. (bat)  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *