Alfred Anouw: Tuntutan JPU Terhadap Buchtar Tabuni Cs Sarat Kepentingan Politik

Sekretaris Fraksi Bangun Papua DPR Papua, Alfred F Anouw, SIP.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Sidang terhadap terduga pelaku rusuh di Papua yang digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan, terus menjadi perhatian serius Sekretaris Fraksi Bangun Papua DPR Papua, Alfred F Anouw, SIP.

Bahkan, Alfred Anouw menilai jika tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Papua pada sidang yang digelar Selasa,  2 Juni 2020, terhadap terdakwa Buchtar Tabuni bersama Agus Kossay, Steven Itlay, Alexander Itlay, Ferry Gombo dan Irwanus Uropmabin serta Hengky Hilapok, sarat dengan kepentingan politik.

Alfred Anouw mengakui sangat kesal dan menyayangkan dengan tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua terhadap Buchtar Tabuni Cs, lantaran tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.

 “Kami Fraksi Bangun Papua DPR Papua sangat kesal dan menyayangkan tuntutan JPU terhadap ketujuh anak Papua dalam pesidangan di Balikpapan itu,” tegas Alfred Anouw.

Sekadar diketahui, dalam persidangan itu, JPU Kejaksaan Tinggi Papua menuntut Buchtar Tabuni, deklarator dan juga Wakil Ketua II ULMWP dengan 17 tahun penjara, Agus Kossay (Ketua Umum KNPB) dituntut 15 tahun penjara, Steven Itlay (Ketua KNPB Timika) dituntut 15 tahun penjara.

Sedangkan, Alexander Gobay (Presiden Badan Eskekutif Mahasiswa USTJ) dituntut 10 tahun penjara, Fery Gombo (Presiden BEM Uncen) dituntut 10 tahun, Irwanus uropmabin (Mahasiswa) dituntut 5 tahun penjara dan Hengky Hilapok (Mahasiswa) dituntut 5 tahun penjara.

Menurutnya, sepertinya tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua ini, dibuat bukan karena rasisme tapi karena ada unsur lain sehingga ia menilai jika tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua ini sangat-sangat keliru.

“Kalau mereka memang  ditangkap murni karena rasisme, mendingan hukum saya juga karena saya juga sangat menantang kepada para pelaku rasisme,” tandas politisi Partai Garuda ini.  

Untuk itu, Alfred Anouw meminta JPU Kejaksaan Tinggi Papua untuk segera meninjau kembali tuntutan terhadap ketujuh anak Papua tersebut. Sebab, pihaknya menilai jika tuntutan itu, sangat tidak adil.

“Tuntutan itu sangat tidak adil. Sebab, pelaku rasisme atas nama Tri Susanti alias Mbak Susi, pelaku ujaran rasisme di Asrama Papua di Surabaya hanya divonis 7 bulan  penjara saja . Sementara korban rasisme di Papua justru hukumannya lebih berat, ini maksudnya apakah? Kami sudah jadi korban rasisme, sekarang digenapkan lagi dengan korban tuntutan hukum, Ini sangat tidak adil demi kemanusiaan,” tegasnya.

Dikatakan, aksi menolak rasisme di Surabaya pada 19 dan 24 Agustus 2019 itu dan rakyat turun secara spontanisa yang dipimpin mahasiswa, bukan oleh organisasi ULMWP, juga KNPB.

“Jika tidak kita tangani saya khawatir ke depannya. Yang jelas tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua yang sangat berlebihan dan arogan sudah membuat rakyat marah. Ini kami sampaikan kepada JPU sebagai masukan, sebelum terlambat,” ujarnya.

Alfred Anouw juga meminta pihak yang berwajib untuk menegakkan hukum di republik ini secara adil dan merata, jangan tebang pilih atau pilih kasih.

“Saya minta kepada pihak berwajib untuk melihat yang memasang apinya, bukan asapnya. Artinya, mestinya yang mendapatkan hukuman lebih berat itu, dijatuhkan kepada provokatornya bukan korban rasismenya,” jelasnya.

Alfred Anouw berharap Komisi I DPR Papua sebagai mitranya segera memanggil Kejaksaan Tinggi Papua untuk meminta keterangan terkait tuntutan kepada para terdakwa tersebut, karena dinilai sangat tidak adil terhadap Orang Asli Papua. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *