Dipanggil DPR Papua, Ini Penjelasan Rumah Sakit yang ‘Menolak’ Pasien

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE didampingi Sekretaris Komisi V DPR Papua, Fauzun Nihayah memimpin pertemuan dengan pimpinan lima rumah sakit terkait kasus 'penolakan' pasien, Kamis, 25 Juni 2020.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Terkait adanya penolakan pasien korban kecelakaan lalu lintas oleh lima rumah sakit di Kota Jayapura, membuat Komisi V DPR Papua memanggil managemen enam rumah sakit di Jayapura untuk mendengar penjelasan dari mereka dalam rapat di Banggar DPR Papua, Kamis, 25 Juni 2020.

 Rapat ini sempat dipimpin Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE didampingi Sekretaris Komisi V DPR Papua, Fauzun Nihayah dan empat anggota Komisi V DPR Papua, diantaranya Namantus Gwijangge, Arkelas Asso, Elly Wonda dan Deki Nawipa yang dihadiri Kadinkes Papua dan pimpinan lima rumah sakit, diantaranya RSUD Jayapura, RSUD Abepura, RS Provita, RS Marthen Indey dan RS Dian Harapan. Hanya saja, managemen RS Bhayangka tidak hadir tanpa alasan yang jelas.

Direktur RSUD Jayapura, drg Aloysius Giyai sempat menjelaskan kejadian itu melalui Wakil Direktur RSUD Jayapura, dr Grace Daimboa, Sp.PD bahwa pihaknya telah melakukan audit medik, dimana pasien datang pukul 11.45 WIT diantar mobil Pick Up di UGD RSUD Jayapura.

“Pengantar melapor kepada perawat dan dokter jaga. Waktu itu dokter jaga dan perawat melakukan survey awal untuk menilai kesadaran, baik pernafasan, tensi normal, kadar oksigen dalam darah dan kesadarannya. Dokter menawarkan untuk melihat ruangan di UGD dimana saat itu penuh pasien. Jadi, bet di UGD itu ada 14. Namun sudah bertambah jadi 19 pasien saat pasien itu datang,” jelas Wadir RSUD Jayapura.

Kemudian oleh dokter, keluarga diminta untuk melihat ruangan dan memang lagi penuh. Pada saat itu, ada empat pasien reaktif Covid-19 di UGD. Demi menjaga jangan tertular dan mengingat kondisi rumah sakit yang penuh pasien di UGD dan di ruang belakang, sehingga dokter jaga menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat, kemungkinan ke RS Marthen Indey.

Pada saat itu, lanjutnya, kondisi RSUD Jayapura dimana UGD penuh karena rujukan dari semua tempat. Apalagi, masyarakat tahu RSUD Jayapura menerima pasien umum, sehingga banyak masyarakat dari Koya dan Arso serta Kota Jayapura selama konsultasi kesehatan melalui online, sehinga langsung ke RSUD Jayapura. Nah, itu membuat RSUD Jayapura penuh.

“Tidak benar jika kami hanya merawat pasien Covid-19 karena ada uangnya. Terus terang saja, kami sudah mau menyerah karena pasien yang begitu banyak. Pendapatan kami sebelum Covid-19 itu lebih tinggi, namun setelah Covid-19 ini, terus terang menurun,” ungkapnya.

Namun, lanjutnya, pasien almarhum Hanafi datang, memang RSUD Jayapura kondisi penuh. Di belakang, ruangan banyak yang tutup untuk sterilisasi, karena pasien banyak yang masuk, di rapid awal negatif, ternyata ketika masuk, lalu muncul gejala seperti Covid-19.

Dia masuk di ruang umum, begitu di Swab, ternyata positif Covid-19 dan akhirnya dilakukan Swab semua pasien dan perawat.

“Perawat kami kena. Pada waktu kejadian, dokter dan perawat kami yang terkena Covid-19 sudah 45 orang. Jadi, kalau perawat atau dokter kami terpapar, maka diwajibkan isolasi mandiri selama 14 hari. Kami di RSUD Jayapura sudah tidak bisa melakukan itu, karena jika kami melakukan isolasi mandiri, maka siapa yang akan merawat pasien,” paparnya.

Pada saat kejadian, RSUD Jayapura menangani pasien umum sebanyak 102 orang. Pasien Covid-19 ada 27 orang, dengan 1 pasien yang berat. Karena penuh, sekarang pasien di RSUD Jayapura tidak bisa merawat di ruang isolasi lagi.

“Sekarang pasien yang reaktif sudah kami rawat di ruang biasa. Itulah yang menyebabkan itu, memang saat disayangkan pasien datang pada saat kondisi seperti itu. Tapi itu kami akui itu kelalaian kami. Tapi semua tenaga medis tidak memilih pasien,” ujarnya.

“Jadi, pasien yang masuk akan dilakukan survey awal untuk melihat emergencynya dan dilakukan pemeriksaan rapid. Hanya memang pasien Hanafi Rettob ini, dia datang pada saat UGD penuh,” sambungnya.

Pada saat itu, katanya, keluarga yang mengantar diminta untuk melihat kondisi UGD yang penuh, apalagi bed sudah ditarik ke ruangan lain, sehingga jika bersedia maka akan diturunkan di lantai.

Namun, keluarga mengatakan kalau begitu pindah ke rumah sakit lain, sehingga RSUD Jayapura tidak bermaksud menolak pasien, tetapi memberikan pilihan.

Hanya saja, diakui kelalaian pihaknya adalah seharusnya saat itu memakai ambulance. Namun, saat kejadian, ambulance dipakai yang lain, karena kebetulan radiologi kami sedang rusak, sehingga untuk mengantar pasien untuk foto di RS Marthen Indey. Sedangkan, 1 ambulance standby antar pasien dari UGD yang ada dibawah untuk naik ke atas.

“Jadi, yang terjadi pada Hanafi, sekali lagi kami tidak bermaksud seperti itu. Kami mengakui itu kelalaian kami. Alasan apapun seharusnya kami lakukan, tapi itulah yang terjadi,” jelasnya lagi.

Kalau mengatakan kenapa lima rumah sakit mengalami seperti itu? Grace mengatakan seharusnya ditanyakan hal itu, lantaran lima rumah sakit  melakukan tindakan yang sama.

“Bapak tau, ini artinya apa? Kami lelah,” imbuhnya.

Direktur RSUD Jayapura, Aloysius Giyai menambahkan, jika memang rumah sakit harus diperbaiki, terutama dalam penanganan sistem rujukan pasien.

“Mestinya RSUD Jayapura untuk pasien yang berat, karena rujukan tertinggi. Tapi nyatanya kasus yang mestinya ditangani puskesmas saja, kami tangani, misalnya melahirkan persalinan normal, tapi lari ke RSUD Jayapura, sehingga posisi dan tempat kami mau tangani yang berat, namun sudah diisi dengan perawatan yang sebenarnya bukan ditangani RSUD Jayapura. Tentu ini mempengaruhi pelayanan, karena kami tidak mungkin menolaknya,” jelasnya.

Yang jelas, Aloysius Giyai menegaskan kepada staf di pelayanan, tidak ada istilah penolakan terhadap pasien yang datang berobat, harus ditangani dulu, apalagi emergency.

“Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada kelalaian kemarin. Karena kondisi seperti yang ibu wadir sampaikan, terus terjadi demikian,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya akan mengoreksi dan membenahi pelayanan kesehatan ke depan.

“Kami prehatin dan berduka cita mendalam terhadap almarhum Hanafi Rettob ini. Tapi, kejadian itu menjadi koreksi bagi pelayanan sesungguhnya kesehatan di Papua terutama rumah sakit yang melayani pasien, sehingga hal yang sama tidak terulang lagi,” ujarnya.

Diakui, untuk pelayanan bagi pasien umum, pihaknya mengalami kendala, lantaran terpaksa pihaknya menegakkan standar pelayanan yang diberikan Kementerian Kesehatan bahwa pada masa Covid-19, tidak boleh melayani pasien sebelum masa Covid-19.

“Misalnya di Poli Jantung biasanya bisa melayani 40 orang, itu tidak boleh lagi. Hanya 20 orang saja, yang lain harus tunggu antri, begitupun dipelayanan lain. Itu dikira kami tolak atau tunda-tunda,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur RSUD Abepura, dr Daisy CH Urbinas bersama tim yang jaga pada saat kejadian dan telah melakukan audit terhadap kejadian itu.

“Pasien datang jam 12.31 WIT dengan pick up diantar 4 orang, setelah sampai di UGD. Oleh petugas security kita, menyampaikan kepada pengantar bahwa kondisi RSUD Abepura memang sedang begini, karena di dalam UGD kita punya 1 pasien terkonfirmasi Covid-19, lalu security menjelaskan kepada pengantar bahwa RSUD Jayapura melayani pasien Covid-19,” katanya.

Usai security menjelaskan, kemudian pengantar pasien pada saat marah-marah, datang petugas UGD berkomunikasi dengan pengantar dan melihat keadaan pasien yang tidak sadar.

“Kemudian menanyakan kepada pengantar, kemudian pengantar menunjukkan rujukan dari RS Bhayangkara. Di dalam rujukan itu, indikasi rujukan itu karena full dan tendanya juga full serta hasil rapid korban menunjukkan reaktif Covid-19, kemudian oleh Mantri Jhon difoto dan ditunjukkan ke dokter di dalam, karena belum bisa masuk pasiennya,” jelasnya.

Ketika dokter menerima rujukan itu, lanjut Direktur Daisy, dokter saat itu mengkonfirmasikan dokter lain bahwa keputusannya adalah diterima dan dirawat.

“Saat itu, oleh mantri menyampaikan kepada empat orang pengantar agar tunggu sebentar karena petugas sedang bersiap menggunakan baju APD hazmat. Karena hasilnya reaktif, teman-teman pada saat pakai APD sekitar 14 menit, kemudian menjemput pasien, ternyata pasiennya sudah tidak ada. Itu kronologinya demikian,” imbuhnya.

Senada Kepala RS Marthen Indey, Kolonel CKM Budi S menjelaskan, jika saat pasien almarhum Hanafi Rettob datang, IGD dalam penuh pasien.

“Saat itu, pasien di IGD penuh. Bahkan, dua pasien duduk dikursi biasa. Dokter memerintahkan perawat untuk keluar melihat di depan. Perawat membawa alat untuk pemeriksaan korban dan dia melihat pasien tidak sadar dan ada luka, kemudian berusaha membangunkan pasien sesuai prosedur, lalu kembali ke IGD dan memanggil dokter, lalu dokter datang memeriksanya,” jelasnya.

Kemudian, dokter mengecek ulang pasien itu. Menurut dokter jaga bahwa pasien dalam keadaan kesadaran yang sangat menurun dan dugaan sepintas dari dokter adalah cidera kepala sedang atau berat.

“Kemudian memberikan saran untuk dibawa ke RSUD Jayapura, karena kami tidak punya bedah saraf. Mereka mengatakan sudah dari Provita dan RSUD Jayapura, kemudian dikirim ke sini. Bingung dokternya, karena memang kami tidak bisa. Kebetulan dokter jaga itu, adalah seorang dokter yang bertugas di RS Bhayangkara,” katanya.

Dokter jaga berpikir bahwa karena pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas, harus mendapatkan pelayanan lebih cepat, kemudian dokter berinisiatif menyarankan pasien dikirim ke RS Bhayangkara. “Itu yang terjadi,” imbuhnya.

Direktur RS Provita Jayapura sempat memaparkan dimana korban Hanafi datang pukul 10.45 WIT diantar dengan pick up. Saat pasien datang, dokter jaga mendapat info dari security bahwa ada pasien kecelakaan lalu lintas.

“Dokter jaga berinisiatif melihat atau menilai pasien ini di mobil pick up untuk mengecek dengan membawa alat, di kepala tidak ada benjolan dan yang ditemukan adalah adanya patah tulang kaki bawah,” katanya.

Lantaran RS Provita tidak memiliki dokter ortopedi fulltimer, lantaran tidak ada ditempat, sehingga dokter jaga melihat kondisi pasien. Lalu dari hasil penilaian bisa dirujuk dan tidak adanya dokter bedah tulang kami, dokter menjelaskan kepada pengantar pasien.

“Karena pasien patah tulang terbuka, kami tidak bisa membawa pasien kebawah dan tidak ada dokter bedah tulang, maka disarankan dibawa ke RSUD Jayapura yang memang terdekat,” jelasnya.

Direktur RS Dian Harapan, dr Ance Melinda Situmorang juga menjelaskan bahwa saat kejadian, pasien datang pukul 12.45 WIT tiba di UGD diantar oleh keluarga, kemudian langsung diturunkan dan di ruang repitisasi karena kondisi pasien sudah tidak sadar dan nafas berat.

“Yang dilakukan oleh petugas kesehatan saat itu, langsung mengedukasi kepada keluarga mengenai kondisi pasien yang sudah berat, langsung memasang monitor, cairan infus dua jalur. Kemudian dilakukan inkubasi, karena pernafasan pasien menurun dan diambil darah untuk diperiksa, termasuk rapid test,” jelasnya.   

Pukul 13.10 WIT, lanjutnya, pasien tidak sadar dan dilakukan pemeriksaan fisik lagi termasuk pernafasan. “Pukul 13.35 WIT, pasien dinyatakan meninggal. Pada saat  meninggal, pasien sempat diambil swab, tapi hasil swabnya memang negatif Covid-19. Hasil kesimpulannya, memang pasien kemungkinan diakibatkan cidera kepala berat,” imbuhnya.  

Sekretaris Komisi V DPR Papua, Fauzun Nihayah mengakui, jika dari enam rumah sakit yang diundang, hanya RS Bhayangkara yang tidak hadir dan tidak ada konfirmasi alasan ketidakhadiran mereka.

“Pada dasarnya, kami sudah melakukan klarifikasi, tapi memang ada kelalaian dalam penanganan awal terhadap almarhum Hanafi. Kami sampaikan jangan terulang kembali, cukup dua korban saja yakni ibu Sely dan Hanafi saja,” katanya.

Yang jelas, kata Fauzun, pihaknya melihat ada managemen yang kurang baik sampai pegawai tingkat bawah, terutama dalam penanganan awal atau pertama yang kurang optimal.

 “Soal alasan Covid-19 ya masuk akal, karena khawatir ada penularan. Tapi, setidaknya ada alternatif terutama penanganan awal untuk pasien seperti disampaikan RSUD Abepura ada tenda-tenda standby. Kami setuju untuk penanganan pertama, sebelum dirujuk untuk tindakan medis,” imbuhnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *