Paskalis Letsoin: Pembatasan Sosial di Papua Tak Ada Dasar Hukum

Paskalis Letsoin, SH, MH.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Kebijakan Pemprov Papua untuk melakukan pembatasan sosial dalam menghadapi pandemi virus Corona atau Covid-19 dengan melakukan pelarangan aktivitas di atas pukul 14.00 WIT termasuk penyekatan akses jalan, dinilai Wakil Ketua Komisi I DPR Papua, Paskalis Lestoin, SH, MH tidak memiliki dasar hukum.

Bahkan, menurutnya, kebijakan yang diterapkan selama ini, sifatnya hanya situasional dan tak memiliki payung hukum. Padahal, untuk mengatur masyarakat, apalagi mengeluarkan perintah pelarangan seharusnya dibarengi dengan aturan yang jelas dan tersosialisasi dengan baik.

“Saya merasa agak lucu saja, jika melihat berbagai kebijakan yang ada saat ini. Misalnya penerapan pembatasan sosial. Menurut saya ini harus jelas. Dasar hukumnya apa?,” kata Paskalis Letsoin, 22 Mei 2020.

Paskalis Letsoin yang juga SH MH, yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Papua mengatakan, kebijakan yang berlaku selama ini ada kekeliruan.

“Kita sebut saja bahwa melakukan pembatasan sosial itu menggunakan aturan yang mana? Tidak berdasar aturan hukum yang berlaku. Mau menggunakan Undang-Undang Karantina atau mau aturan yang lain itu tak ada,” tandasnya.

Bahkan, Paskalis yang sebelumnya dikenal sebagai pengacara ini, mengaku kaget dengan adanya istilah Pembatasan Sosial Diperluas dan Dipertegas (PSDD) yang berlaku di Papua. Padahal, tidak ada dasar hukumnya.

“PSDD ini dasar hukumnya apa? Jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang harus mendapatkan izin Menteri Kesehatan, namun selama ini tidak ada sehingga PSBB tidak diberlakukan di Papua. Namun tiba – tiba muncul istilah PSDD yang entah siapa yang mengusulkan dan mempopulerkan,” ujarnya.

Mantan Direktur Lembaga Banguan Hukum (LBH) Papua dua periode ini, melihat PSDD ini adalah istilah yang penerapannya mirip PSBB, namun bukan PSBB ini.

“Jadi, saya bisa katakan banyak kebijakan atau aturan saat ini kesannya amburadul, karena tak ada dasar hukumnya. Untung saja masyarakat tidak ada yang mengajukan gugatan hukum, karena mungkin menganggap ini baik dan memahami pekerjaan aparat selama ini,” ujarnya.

Paskalis berpendapat bahwa pemerintah terlalu cepat mengambil kebijakan tanpa memikirkan kesiapan dasar hukumnya dan ini berpeluang digugat oleh siapapun yang merasa dirugikan. Jika ada yang merasa dirugikan maka ia bisa saja menggugat pemerintah daerah. Jika beralasan Undang –Undang Kesehatan bahwa situasi tidak memungkinkan untuk berkeliaran sehingga ada pembatasan aktivitas sosial, menurut Paskalis hal tersebut bisa diterapkan tapi menggunakan istilah PSBB. Hanya yang terjadi di Papua tak ada PSBB tapi PSDD, namun tidak ada catolan hukumnya.

Dikatakan, jikapun menggunakan instruksi pemerintah taruhlah wagub atau gubernur, keputusan dan edaran ini menurutnya bukan dasar hukum. Sebab, cantolan hukum haruslah undang – undang dan turunannya di daerah bentuknya Perda.

Tak hanya itu, kata Paskalis Letsoin, dalam PSBB juga, mestinya tak ada tindakan untuk penghentian orang yang berkendara apalagi menyuruh tak bisa lewat seperti yang terjadi saat ini. Namun, semua dihentikan dan ada yang disuruh putar balik.

“Jadi, saya melihat tujuan ini baik, namun harus didasarkan dengan aturan hukum, karenanya kami di Fraksi PDI Perjuangan DPR Papua sepakat dan mendorong untuk DPR Papua menggodog Perda tentang wabah. Jadi. tidak hanya berbicara Covid-19 saja, tetapi lebih luas yaitu wabah,” imbuhnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *