Tragis Pasien Ditolak Lima Rumah Sakit Akhirnya Meninggal, DPR Papua: Jangan Terulang !!!

Keluarga pasien yang ditolak lima rumah ditemui Sekretaris Komisi V DPR Papua, Fauzun Nihayah dan anggota komisi, Kamis, 24 Juni 2020.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Nasib tragis dialami oleh Hanafi Rettob, seorang korban kecelakaan lalu lintas yang akhirnya meninggal dunia lantaran tidak mendapatkan perawatan secara intensif, setelah ditolak ditolak lima rumah sakit di Kota Jayapura, Selasa, 23 Juni 2020.

Hal ini menjadi keprehatinan dan perhatian serius Komisi V DPR Papua.  Apalagi, korban yang tercatat sebagai warga APO Bukit Barisan, Jayapura Utara, Kota Jayapura ini, akhirnya meninggal dunia di RS Dian Harapan Waena sebelum mendapatkan perawatan lebih jauh.

Kelima rumah sakit yang menolak pasien itu, diantaranya Rumah Sakit Provita Jayapura, RSUD Jayapura, RS Marthen Indey, RS Bhayangkara dan RSUD Abepura.

Bahkan, Sekretaris Komisi V DPR Papua, Fauzun Nihayah sangat menyayangkan dan menyesalkan penolakan pasien oleh lima rumah sakit tersebut, hingga akhirnya korban tak tertolong lagi.

“Kami sangat prehatin dan menyesalkan terhadap penolakan pasien di rumah sakit,” tegas Fauzun Nihayah didampingi Anggota Komisi  V DPR Papua, Namantus Gwijangge, Deki Nawipa, Arkelas Asso dan Elly Wonda usai menerima keluarga korban di Ruang Rapat Komisi V DPR Papua, Kamis, 24 Juni 2020.

Apalagi, kata Fauzun Nihayah, dari enam rumah sakit yang didatangi korban, hanya Rumah Sakit Dian Harapan Waena yang melakukan tindakan.

“Jadi, dari lima rumah sakit itu, kami akan tindaklanjuti dan klarifikasi ke mereka,” tandasnya.

Fauzun Nihayah menegaskan jika rumah sakit tidak boleh menolak pasien. “Harusnya itu dicek dulu. Minimal ada bantuan penanganan awal. Jangan sampai belum diapa-apakan sudah menolak. Itu tidak boleh dan jangan sampai terulang lagi,” tegasnya.

Diakui, sejak terjadinya pandemi virus Corona atua Covid-19, sudah ada dua pengaduan dari keluarga pasien yang ditolak oleh rumah sakit.

“Sebelumnya, ibu Eli dari Koya sama kasusnya ditolak rumah sakit. Kedua, kembali pengaduan ke kami. Jadi, jangan sampai terulang ketiga kalinya. Cukup dua saja, jangan sampai terulang kembali itu,” tegasnya lagi.

Untuk itu, ia meminta Dinas Kesehatan Provinsi Papua memberikan warning kepada setiap rumah sakit, artinya harus ada sosialisasi dan kampanye massal yang dilakukan  Dinas Kesehatan ke rumah sakit jangan sampai ada penolakan pasien.

Di samping itu, ujar Fauzun Nihayah, managemen rumah sakit juga harus mensosialisasikan ke tingkat pegawai. “Tadi ada di RSUD Abepura jika yang menolak security, nah itu kan salah. Security tahu apa terkait dengan penanganan orang yang sakit. Ini persoalan managemen rumah sakit juga harus diperbaiki,” jelasnya.

Terkait aspirasi itu, kata Fauzun Nihayah, Komisi V DPR Papua akan segera menindaklanjuti dengan kelima pihak rumah sakit yang menolak pasien tersebut, karena pihaknya tentu membutuhkan klarifikasi dari pihak rumah sakit.

Sementara itu, terkait permintaan harus ada rumah sakit umum yang melayani masyarakat ditengah pandemi Covid-19 ini, Fauzun Nihayah mendukung hal itu.

“Ya, sangat setuju sekali. Dan itu harus disampaikan kepada masyarakat. Ketika dia sakit, dia tidak perlu mondar-mandir ke rumah yang lain ternyata ditolak. Misalnya rumah sakit A, ini yang ditunjuk jadi rumah sakit pasien umum, itu harus disosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.

Fauzun Nihayah menambahkan jika dinas kesehatan mestinya mensosialisasikan mana rumah sakit rujukan pasien Covid-19 dan mana yang untuk rujukan pasien umum. “Ini yang menurut saya belum disosialisasikan dengan baik,” pungkasnya.

Sementara itu, keluarga korban pasien yang ditolak lima rumah sakit ini, menemui Komisi V DPR Papua yang membidangi kesehatan untuk mengadukan kejadian itu.

Mewakili keluarga korban, Sudin Retob sempat menjelaskan kronologis penolakan pasien dari lima rumah sakit di Kota Jayapura, hingga sampai di RS Dian Harapan, namun akhirnya nyawa pasien tidak tertolong.

“Pak Akbar yang menolong korban kecelakaan dan mengantar korban ke rumah sakit bersama tiga orang temannya.  Setelah diangkat naik ke mobil pick up, kemudian korban diantar ke RS Provita Jayapura,” katanya.

Setelah itu, seorang suster datang melakukan pengecekan kondisi korban, yang saat itu masih berada di mobil pick up. “Suster tanya ada keluarga, karena akan ditangani untuk operasi. Terus pak Sopir langsung mengurusnya. Begitu masuk, mendapat konfirmasi kembali bahwa tidak ada dokter yang menangani soal tulang atau syaraf, sehingga tidak bisa dioperasi. Kemudian disarankan untuk dibawa ke RSUD Jayapura,” jelasnya.

Setelah tiba di RSUD Jayapura pun, mendapatkan hal yang sama. Sempat diperiksa kondisinya, bahkan tubuh korban digoyang-goyang dan dipaksa untuk bangun, namun masih berada di mobil pick up. Padahal, kecelakaan berat.

“Lagi-lagi mereka sampaikan bahwa rumah sakit ini sudah full. Lihat sendiri, ruangan semua full pasien, kita tidak bisa menerima juga. Mereka menolak bahwa tidak bisa melayani pasien ini, mereka arahkan RS Marthe Indey,” ujarnya.

Sampai di RS Marthen Indey pun sama. Perawat hanya memeriksa korban yang masih di atas mobil, tidak dibawa ke ICU. “Sempat dicek, mereka sampaikan kami rumah sakit tidak bisa melayani pasien, karena kita lagi sibuk untuk tangani Covid-19, kemudian disuruh ke RS Bhayangkara,” tandasnya.

Hingga korban sampai di RS Bhayangkara. Bahkan, pengantar korban sempat bertengkar mulut dengan perawat di rumah sakit. Pihak rumah sakit beranggapan bahwa apapun alasannya, meski mereka sempat memeriksa korban di atas mobil dan mereka tidak bisa menolong karena situasi mereka, tapi tidak bisa memberikan pelayanan.

Bahkan, di RS Bhayangkara itu ambil darah korban dan menyatakan bahwa korban pasien itu positif Covid-19. “Jadi, silahkan dibawa ke RSUD Abepura yang menangani pasien Covid-19,” jelasnya.
Selanjutnya, korban diantar ke RSUD Abepura. Justru di RSUD Abepura yang menghalangi security, sehingga pasien tidak masuk.

“Bahkan, security mengancam jika tidak keluar, mereka lapor Brimob untuk menangkap yang mengantar. Coba sebenarnya ada masalah apa, kenapa main-main dengan nyawa pasien. Tapi, tetap saja tidak bisa dan mereka menolak. Kata terakhir adalah ini rumah sakit Covid-19, bukan untuk pasien lain,” ujarnya.

Selanjutnya,  mereka meminta agar korban di rujuk ke RS Dian Harapan. “Namun, kondisi korban sudah cukup parah dan napas tersengal-sengal, hingga akhirnya korban tidak bisa tertolong lagi nyawa sebelum ditangani lebih  jauh,” imbuhnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *