Nasib Ribuan Buruh Moker Freeport Terkatung-katung, DPR Papua Didesak Bentuk Pansus

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE didampingi Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa dan Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa menerima dokumen dari Ketua LBH Papua, Emanuel Gobay, SH yang juga Kuasa Hukum Buruh Moker PT Freeport, Selasa, 27 Juli 2020. (Foto Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Buruh mogok kerja (Moker) PT Freeport Indonesia mendesak DPR Papua untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) dalam memperjuangkan nasib yang sudah tiga tahun terkatung-katung.

Mereka berharap agar dipekerjakan kembali di perusahaan tambang yang ada di Timika, Kabupaten Mimika, Papua itu.

“Kami minta kepada Ketua DPR Papua untuk membentuk Pansus untuk mengurus masalah ribuan buruh moker PT Freeport,” kata Ketua LBH Papua, Emanuel Gobay, SH yang juga Kuasa Hukum Buruh Moker PT Freeport Indonesia usai beraudiensi dengan Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw di Ruang Banggar DPR Papua, Selasa, 27 Juli 2020.

Dalam pertemuan itu, Emanuel Gobay mengaku sempat mempertanyakan tindak lanjut dari Pansus yang pernah dibuat DPR Papua pada tahun 2018 untuk menyelesaikan buruh yang mogok kerja Freeport ini.

Selain itu, pihaknya menyampaikan terkait Nota Pemeriksaan I yang belum dijalankan PT Freeport Indonesia dan tidak diawasi oleh pengawas Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Papua.

“Atas dasar itu, kami minta DPR Papua untuk menggunakan fungsinya sebagai pengawas untuk mengawasi implementasi Nota Pemeriksaan I. Nah, permintaan ini, juga kita sampaikan berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura baru-baru ini, itukan bukan kemudian menghilangkan Nota Pemeriksaan I itu. Namun, Nota Pemeriksaan I masih tetap ada dan belum dijalankan oleh PT Freeport sesuai rekomendasi yang ditujukan kepada PT Freeport,” tandasnya.

Untuk itu, Emanuel Gobay meminta Ketua DPR Papua bersama jajarannya atas nama lembaga bisa mengawal PT Freeport untuk menjalankan Nota Pemeriksaan I.

Dalam Nota Pemeriksaaan I itu, menyebutkan dua hal, pertama adalah diperintahkan pada PT Freeport Indonesia untuk menggugat para buruh yang melakukan mogok kerja di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kedua, sepanjang belum ada keputusan dari PHI, maka terhadap hak-hak buruh baik buruh sebagai pekerja di sana dan upahnya sebagaimana yang dijamin pada Pasal 155 ayat 1 dan 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 wajib dijalankan.

“Jadi, sepanjang Nota Pemeriksaan I itu dikeluarkan dari bulan Desember 2019 sampai sekarang Juli 2020, itu belum dijalankan  sama sekali. Belum ada gugatan yang diajukan PT Freeport di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terhadap buruh mogok kerja,” ujarnya.

Dengan demikian, kata Emanuel Gobay, hal itu membuktikan bahwa Nota Pemeriksaan I itu belum dijalankan sampai saat. Ia yakin jika Nota Pemeriksaan II jika nantinya dikeluarkan Disnaker Papua, maka akan menguatkan Nota Pemeriksaan I, karena pijakannya Nota Pemeriksaan I yang belum dijalankan Freeport.

“Jadi, kepada Disnaker Papua maupun PT Freeport, jangan berpikir karena ada putusan PTUN, terus kewajiban dia menjalankan Nota Pemeriksaan I hilang, itu tidak. Masih ada, sepanjang itu belum dilaksanakan, itu menunjukkan PT Freeport masih melakukan pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan yang dimiliki oleh buruh yang melakukan moker ini,” jelasnya.

Emanuel Gobay meminta Ketua DPR Papua untuk membentuk Pansus untuk mengurus masalah buruh mogok kerja PT Freeport.

“Dari ketiga masalah yang kita minta, tadi pak ketua sudah sampaikan beberapa hal, yang pertama dia akan rapat internal dengan melibatkan kami, setelah itu kalau sudah rapat dan ada berdasarkan pertimbangan akan dibentuk pansus, maka akan dibentuk pansus,” ujarnya.

Namun, imbuh Emanuel Gobay, prinsipnya dari tiga point yang disampaikan, itu sudah dijawab. Bahkan, pihaknya juga menyampaikan data – data kepada Ketua DPR Papua, mulai dari kronologis dari perjuangan buruh moker PT Freeport, surat diterbitkan Disnaker Papua terkait mogok kerja itu sah, kemudian memerintahkan PT Freeport menerima para buruh itu.

Data surat penegasan dari Gubernur Papua yang menyatakan juga mogok kerja itu sah dan memerintahkan PT Freeport untuk memperkerjakan kembali.

Selain itu, surat tugas yang diterbitkan Disnaker Papua kepada dua petugas pengawas di Timika yang selanjutnya mereka melakukan pengawasan.

“Kita berikan surat nota pemeriksaan I yang diterbitkan oleh dua petugas pengawas Disnaker Papua. Kita juga beri data sekitar 60 orang lebih buruh moker Freeport yang meninggal dunia selama perjuangan mereka selama tiga tahun ini. Ke depan kita akan beri data anak-anak mereka yang putus sekolah, keluarga terancam cerai dan lainnya karena alasan finansial,” ungkapnya.

Sebab, imbuh Emanuel Gobay, hal itu semua menunjukkan dampak pasca Freeport melakukan kebijakan furelock. Padahal, furelock ini tidak ada dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

“Itu kan kebijakan penyelundupan hukum yang dilakukan Freeport. Itu kebijakan ketenagakerjaan Amerika yang ‘diselundupkan’ masuk ke dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia,” pungkasnya.

Usai pertemuan, Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE mengakui, jika beberapa hal yang menurut para buruh moker PT Freeport itu tidak puas, dimana yang seharusnya Disnaker Provinsi Papua mewakili pemerintah menjaga hak-hak tenaga kerja, tapi dalam prakteknya masih banyak terkesan bahwa pihak Disnaker lebih banyak memihak pada perusahaan.

“Saya pikir ini aspirasi yang baik, yang harus kita terima dan kita sepakati bahwa akan kita tindaklanjuti. Saya berharap nanti lewat komisi terkait, yang bicara tentang hukum dan ketenagakerjaan akan kami undang kembali LBH Papua berdiskusi dengan komisi terkait, lalu kita akan mengundang Disnaker dan pihak terkait lainnya. Mungkin itu langkah-langkah yang akan kita lakukan,” jelasnya didampingi Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa dan Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa.

Jhony Banua Rouw mengatakan, pemerintah punya tugas utama adalah melindungi rakyat, dalam hal ini tenaga kerja, jika mereka di PHK bukan hanya seorang pekerja saja terdampak, tapi itu berdampak kepada anak dan istri serta keluarga.

“Kalau memang diputuskan, ya diputuskan segera. Ya bahwa ini sudah berhenti dan ini pesangonnya, supaya mereka bisa bekerja ditempat yang lain, supaya tidak digantung. Kalau digantung semua tidak bisa jalan. Jadi, harus ada keputusan yang tegas saja, kalau memang ini PHK, mana pesangonnya, adil atau tidak? Itu ada aturannya. Lebih baik begitu supaya tuntas, tapi tidak terus iya dan tidak atau menggantung,” tandasnya.

Apalagi, imbuh Jhony Banua, jika buruh moker itu bekerja ditempat lain, maka dianggap bahwa mengundurkan diri. Padahal, menurut buruh tadi, mereka belum dapat pekerjaan dimana-mana, mereka masih menunggu.

“Dan, harusnya mereka menunggu ini, dengan Nota Pemeriksaan I yang dikeluarkan Disnaker bahwa selama mereka menunggu belum ada keputusan, maka mereka harus tetap menerima haknya. Ini harus tegas dan diambil tindakan agar tidak menggantung, kasihan mereka punya keluarga,” imbuhnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *