Perlu Perdasus Untuk Perkuat Pendidikan di Papua

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE dalam hearing dialog bersama para tokoh agama di Lantai 13 Gedung DPR Papua, Kamis, 23 Juli 2020.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE mengatakan dari berbagai permasalahan pendidikan di Provinsi Papua itu, dibutuhkan suatu payung hukum atau regulasi.

“Ya, perlu regulasi untuk mendorong system pendidikan Papua yang lebih baik. Kita sepakat akan membuat peraturan daerah khusus (Perdasus),” kata Jhony Banua Rouw usai Hearing Dialog bersama Tokoh – Tokoh Lintas Agama dengan tema Membangun SDM Papua yang Berkualitas dan Berkarakter di Lantai 13 Gedung DPR Papua, Kamis, 23 Juli 2020. Pendidikan Berkualitas

“Kenapa Perdasus? Karena mengacu UU Otsus. Sebab, jika Perdasi tentu mengacu pada undang-undang umum, maka kita tidak bisa melakukan hal-hal yang lebih  untuk membantu yayasan-yayasan pendidikan di Papua,” sambungnya.

Jhony Banua mencontohkan, pemerintah daerah tidak bisa memberi biaya yang banyak pada yayasan pendidikan, tidak bisa memberikan tenaga pengajar, termasuk mendatangkan dari luar negeri untuk membantu mengajar.

Untuk itulah, lanjut Jhony Banua, perlu dibuat Perdasus agar dari luar bisa masuk sebagai tenaga pengajar dan bisa dibantu dengan dana Otsus untuk membiayai pendidikannya.

Jhony Banua berharap tenaga-tenaga guru yang ada di yayasan pendidikan, ini bisa dibiayai oleh pemerintah. Karena mereka mengajar rakyat Papua, bukan untuk umat Katholik saja atau umat Protestan saja, tapi lintas dedominasi gereja dan agama lain.

Menurutnya, hal ini sangat penting dan pemerintah harus hadir untuk mengambil bagian itu dan harus memberikan penguatan terhadap pendidikan, karena menjadi asset berharga bagi Papua ke depan.

“Kita tidak perlu membangun lagi sekolah yang baru, tapi kita bersaing dengan sekolah yang sudah ada. Jika ada sekolah yayasan, jangan lagi membangun sekolah negeri di dekatnya. Lalu yang sebelah guru PNS yang terima gajinya lebih banyak, dibandingkan guru swasta, akhirnya guru swasta yang bagus ini, harus pindah menjadi PNS dan sekolah yayasan akan ditinggalkan,” ungkapnya.

Selain itu, ada guru yang dibantu pemerintah menjadi PNS dikaryakan di sekolah yayasan, tapi gajinya tidak sama, sehingga menimbulkan kecemburuan. Mestinya harus adil untuk memperbaiki mutu pendidikan Papua ke depan.

Padahal, kata Jhony Banua, ada guru-guru PNS, namun tidak mengajar dan tidak punya hati untuk membangun orang Papua, justru yang punya hati adalah guru – guru yayasan, karena mereka mengajar dengan kasih sayang dan hati sehingga rela mengabdi di pedalaman Papua.

Dalam pertemuan itu, Jhony Banua mengatakan, jika telah disepakati bersama tokoh-tokoh agama bahwa setiap distrik harus ada sekolah SMA yang berpola asrama dibangun oleh pemerintah.

Namun, jika sudah ada sekolah yayasan di satu distrik, maka harus dikembangkan lebih baik lagi, diberikan penguatan dengan dibangun asrama dan menyiapkan guru dan fasilitasnya, termasuk internet sehingga kualitas pendidikan akan lebih baik.

Menurutnya, dengan internet bisa mengantisipasi jika ada guru yang punya hati untuk mengajar, tapi tidak mampu mengajar dengan baik, akan dibantu atau belajar jarak jauh untuk meningkatkan kapasitasnya. Di samping anak-anak murid bisa belajar dan mengerti dunia luar dari internet itu.

 “Saya pikir kita harus buat regulasi dan system kurikulum harus menyesuaikan dengan kearifan lokal. Dengan internet yang baik, kita bisa membangun dan mengawasi guru yang malas mengajar di pedalaman, karena bisa absen lewat internet. Ini mau kita dorong agar system pendidikan kita lebih baik,” jelasnya.

Jika kita mau hitung biaya, kata Jhony Banua, jika satu distrik dibangun sekolah pola asrama lengkap termasuk internet dengan biaya diperkirakan Rp 10 miliar. Jika dikalikan dengan jumlah distrik sebanyak 560-an, maka diperkirakan membutuhkan anggaran Rp 5 triliun. Papua sendiri mendapatkan dana Otsus Rp 8 triliun setiap tahun.

Dikatakan, jika disisihkan setiap tahun Rp 1 triliun, maka dalam lima tahun bisa tuntas pembangunan sekolah berpola asrama itu.

“Kita bisa bangun stadion megah Rp 1,3 triliun, masak untuk sekolah berpola asrama tidak bisa setahun Rp 1 triliun.  Jadi, dalam lima tahun bisa selesai Rp 5 triliun,” ujarnya.

Jhony Banua menambahkan, banyak yayasan pendidikan milik keagamaan seperti YPK, YPPK dan lainnya, mereka sudah bekerja di bidang pendidikan, bahkan membiayai pendidikan dengan uang jemaat.

“Lalu, kita pemerintah mengambil bagian sangat kecil. Padahal, yang mereka layani adalah masyarakat Papua sendiri, orang asli Papua, yang ada di kampung-kampung atau pedalaman, lalu pemerintah mengabaikan mereka, meskipun dibantu, tetapi sangat kecil sekali,” ungkapnya.

Jhony Banua mencontohkan YPK, kebutuhannya Rp 30 miliar per tahun, namun dibantu hanya 10 persen. Itu artinya kecil sekali.

“Terus yang 90 persen? Ya harusnya pemerintah membantu 70 – 80 persen, nanti sisanya jemaat melakukan itu. Ini terbalik, padahal mereka melakukan itu untuk umat gereja, rakyat Papua yang sesungguhnya menikmati dana Otsus itu, namun hari ini kita lihat sangat terbatas menikmatinya,” tandasnya.

Padahal, imbuh Jhony Banua, diketahui yayasan – yayasan pendidikan itu, telah membuka sekolah-sekolah di pedalaman Papua, sedangkan sekolah negeri kebanyakan di kota atau ibukota distrik saja. Namun, sekolah negeri justru dibiayai full oleh pemerintah. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *