Putusan PTUN Jayapura Tak Batalkan Nota Pemeriksaan I, Freeport Harus Kembalikan 8.300 Karyawan

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, SH, MH.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com –  Sidang Fiktif Positif di PTUN Jayapura antara 8.300 buruh mogok kerja PT. Freeport Indonesia melawan Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua terasa seperti sidang antara 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia melawan PT. Freeport Indonesia di Pengadilan Hubungan Industrial.

Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Pimpinan Cabang Federasi Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Perkerja Seluruh Indonesia (PC FSP KEP SPSI) Kabupaten Mimika, Emanuel Gobay, SH, MH dalam releasenya, Rabu, 15 Juli 2020.

Untuk diketahui bahwa pemeriksaan permohonan Fiktif Positif atas tidak dikeluarkannya nota pemeriksaan II oleh Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua di PTUN Jayapura dimulai dari 25 Juni 2020 hingga putusannya pada 14 Juli 2020, Pemohon diwakili oleh Emanuel Gobay, SH, MH dkk dari LBH Papua dan Termohon diwakili oleh Albert Bolang, SH, MH dan Pegawai Disnaker Propinsi Papua.

Sejak awal persidangan kuasa hukum termohon tidak hadir, kuasa hukum Termohon mulai hadir pada sidang kedua. Dengan melihat status kuasa hukum Termohon yang pernah menjadi kuasa hukum PT Freeport Indonesia dalam kasus lain, maka Kuasa Hukum Pemohon sempat menyatakan keberatan.

Sebab, kata Emanuel Gobay, hal itu dilakukan agar tidak terjadi konfik interes dalam melakukan pembelaan dalam perkara ini sebab PT Freeport Indonesia adalah pihak yang berkaiatan langsung dengan perintah dalam Nota Pemeriksaan I.  Namun, keberatan itu diabaikan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara.

“Kekhawatiran akan adanya konflik interes dalam pemeriksaan perkara ini mulai jelas terlihat dalam jawaban Termohon atas permohonan Pemohon yang intinya menyebutkan bahwa perkara ini telah diproses pada Pengadilan lain sebagaimana dalam Gugatan BPJS di PN Jakarta dan menyatakan bahwa PTUN Jayapura tidak berwenang mengadili Perkara ini, namun yang berwenang adalah PHI padahal jelas-jelas persoalannya adalah Fiktif Positif bukan masalah PHK,” kata Emanuel Gobay.

Selain itu, lanjutnya, dalam pembuktian mengingat permohonan adalah tindakan Fiktif Positif yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua sehingga pihak pemohon melalui kuasa hukumnya menghadirkan bukti surat sebanyak 11 surat dan 1 video elektronik yang mayoritas berkaitan dengan objek fiktif positif dan saksi  3 orang saksi yaitu Anton Awom, Laurenzus Kadepa dan Yosepus Talakua yang mengetahui dengan pasti terkait objek Fiktif Positif.

Sementara Termohon mengajukan beberapa alat bukti surat yang mayoritas adalah tindakan PT Freeport Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan Fiktif Positif dan 5 orang saksi, dimana 4 orang saksi merupakan Karyawan PT Freeport Indonesia yang mayoritas tidak mengetahui terkait objek fiktif positif serta 1 orang saksi Pegawai Disnaker Kabupaten Mimika yang tidak mengetahui secara langsung terkait objek Fiktif Positif serta 1 orang ahli dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jayapura yang tidak pernah membuat karya ilmiah terkait sengketa objek Fiktif Positif dalam persoalan Ketenagakerjaan.

Dikatakan, berdasarkan uraian rentetan persidangan PTUN itu, sudah jelas menunjukkan nuansa persidangan di PTUN Jayapura terasa seperti persidangan di PHI Jayapura.

Fakta itu, ungkap Emanuel Gobay, kemudian dikuatkan dengan Putusan Hakim Pemeriksa Perkara Nomor: 2/P/FP/2020/PTUN.JPR pada PTUN Jayapura tanggal 14 Juli 2020 yang memutuskan Menolak Permohonan Termohon dan Memerintahkan Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 269.000 dimana dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR pada PTUN Jayapura disebutkan alasan putusannya dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya legal standing dari pemohon serta PTUN Jayapura tidak berwenang memeriksa perkara permohonan Fikif Positif.

Pada prinsipnya, kata Emanuel Gobay, putusan PTUN Jayapura tidak membatalkan Nota Pemeriksaan I yang dibuat oleh Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua, sebab pada prinsipnya melalui pertimbangan PTUN Jayapura tidak berwenang memeriksa perkara permohonan Fikif Positif membuktikan bahwa Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR tidak memeriksa pokok perkara Permohonan Fiktif Positif yang dimohonkan.

“Sebaliknya, berkaitan dengan Nota Pemeriksaan I yang dibuat oleh Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua dengan perintah “PT. Freeport Indonesia segera mengembalikan 8.300 buruh untuk bekerja kembali dan membayar seluruh upahnya sesuai Pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003” sebagaimana dalam rekomendasi Nota Pemeriksaan I wajib dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia,” tandasnya.

Sekalipun demikian putusannya, mengingat tindakan Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua yang tidak menerbitkan Nota Pemeriksaan II jelas-jelas bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik khususnya “asas tidak menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana diatur pasal 10 ayat (1) huruf e, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan “asas pelayanan yang baik” sebagaimana diatur pada pasal 10 ayat (1) huruf h, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Emanuel Gobay menilai atas tindakan tersebut jelas-jelas membuktikan bahwa Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua melanggar Pasal 8 ayat (2), UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah dan atas tindakan itu, maka Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua wajib mendapatkan sangksi sebagaimana diatur pada Pasal 80 ayat (1), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Secara khusus berkaitan dengan dalil Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR terkait tidak berwenangnya PTUN Jayapura dalam memeriksa perkara permohonan Fikif Positif sesungguhnya sangat bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 junto Permaker Nomor 1 Tahun 2020 junto UU Nomor 30 Tahun 2004 junto Perma Nomor 8 Tahun 2017.

“Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR sangat tidak professional dalam memeriksa perkara permohonan Fiktif Positif yang diajukan oleh Pemohon, sebab tidak ada yurisprudensi Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer yang menyatakan berwenang mengadili objek Fiktif Positif, namun yang ada adalah yurisprudensi Pengadilan Tata Usaha Negara,” tandasnya.

Selain itu, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR bertentangan dengan Prinsip Hakim dan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional dan berpengalaman di Bidang Hukum sebagaimana diatur pada pasal 5 ayat (2), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Melalui fakta tindakan yang bertentangan tersebut secara langsung membuktikan bahwa Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR telah melanggar Prinsip Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya diatas kegiatan lain secara professional sebagaimana diatur pada Angka 10.3, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Berdasarkan uraian panjang diatas, imbuh Emanuel Gobay, LBH Papua selaku kuasa hukum Pimpinan Cabang Federasi Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Perkerja Seluruh Indonesia (PC FSP KEP SPSI) Kabupaten Mimika menegaskan kepada PT Freeport Indonesia segera mengembalikan 8.300 buruh untuk bekerja kembali dan membayar seluruh upahnya sesuai Pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003” sebagaimana dalam rekomendasi Nota Pemeriksaan I wajib dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia.

“Selain itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua segera memberikan sanksi administrasi kepada Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi Papua yang tidak menerbitkan Nota Pemeriksaan II atas permasalahan PT Freeport Indonesia,” katanya.

Emenuel Gobay meminta Ketua Komisi Yudisial segera memeriksa Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 2/P/FP/2020/PTUN.JPR pada PTUN Jayapura yang bertentangan dengan pasal 5 ayat (2), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan jelas-jelas melanggar Angka 10.3, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *