Yunus Wonda: MRP dan DPR Papua Tidak Bisa Menolak Otsus

Ketua Harian PB PON Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Penasehat Fraksi Demokrat DPR Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH menegaskan bahwa DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak punya kapasitas untuk menolak Otonomi Khusus (Otsus).

 “Jadi, saya tegaskan bahwa DPR Papua dan MRP tidak punya kapasitas untuk menolak Otsus,” tegas Yunus Wonda di Jayapura, Rabu, 29 Juli 2020.

Menurutnya, DPR Papua dan MRP punya tugas hanya satu menfasilitasi rakyat Papua. Apapun aspirasi rakyat, termasuk minta merdeka atau yang lain, maka akan dilanjutkan ke pemerintah pusat, kemudian pemerintah pusat yang memutuskan.

“Tapi, harus ada ruang itu, supaya Otsus ini benar-benar pikiran rakyat. Jangan Otsus ini pikiran eksekutif, legislative atau MRP. Itu tidak bisa. Tapi, harus melibatkan rakyat Papua dan Papua Barat untuk bicara kepentingan rakyat ke depan,” tandasnya.

Dikatakan, kapasitas DPR Papua dan MRP itu hanyalah fasilitator terhadap rakyat. Tidak dalam posisi memutuskan, tidak dalam posisi menolak atau menerima Otsus.

“Jadi, yang harus kami tegaskan bahwa kita harus kembali kepada pasal 77 UU Otsus. Terkait perubahan Otsus atau evaluasi Otsus, itu dilakukan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua. Artinya, UU Otsus memberikan ruang dan legitimasi kepada MRP untuk melaksanakan menangkap aspirasi seluruh rakyat Papua dan Papua Barat,” jelas Yunus Wonda yang juga Wakil Ketua I DPR Papua ini.

Lebih lanjut, kondisi hari ini, tidak bisa putuskan menerima atau menolak, tapi ada mekanisme yang harus dilakukan sesuai pasal 77 UU Otsus yang memberikan legitimasi kepada MRP dan DPR Papua, artinya seluruh rakyat Papua akan menyampaikan aspirasi mereka, misalnya dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan seluruh komponen masyarakat Papua.

Aspirasi itu disampaikan kepada MRP dan DPR Papua, setelah itu MRP dan DPR Papua termasuk MRPB dan DPR Papua Barat, selanjutnya adalah meneruskan aspirasi rakyat Papua itu kepada pemerintah pusat.

“Apapun aspirasinya, tugas kami hanya meneruskan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Jadi, sekali lagi DPR Papua dan MRP tidak dalam kapasitas kami hari ini untuk setuju dan tidak setuju. Jadi, kalau ada statemen terkait bahwa DPR Papua dan MRP akan dibubarkan, minta maaf kita sedang melaksanakan konstitusi negara, tidak segampang itu dibubarkan. Tapi, tugas MRP dan DPR Papua adalah menfasilitasi aspirasi rakyat terkait Otsus,” paparnya.

Menurutnya, ke depan harus meluruskan tentang UU Otsus itu mau dikemanakan ke depannya. “Kita tidak bisa bicara di sini terkait Papua merdeka atau NKRI harga mati, tidak. Tidak posisi itu. Hari ini rakyat Papua menyampaikan harus merdeka, tidak membuat besok pagi Papua merdeka, tapi bagaimana kita membuat supaya ke depan regulasi Otsus untuk Papua, pasti ada pro kontra itu soal biasa,” ujarnya.

Dikatakan, rakyat pasti akan bicara lain, begitu juga DPR Papua, MRP dan eksekutif pasti bicara lain. “Namun, kita bicara bagaimana regulasi ini kita atur ulang lagi. Kita duduk kembali untuk kita bicara, tentu aspirasi rakyat yang disampaikan, akan kita teruskan. Yang bisa menjawab itu adalah pemerintah pusat, bukan kami DPR atau gubernur. Kami hanya meneruskan saja aspirasi rakyat,” tandasnya.

Apalagi, kata mantan Ketua DPR Papua periode 2014 – 2019 ini, dalam UU Otsus dari pasal 1 – 79, ada banyak hal yang tidak terlaksana, sehingga bagaimana supaya ke depan harus dilaksanakan dengan baik.

“Kami harus minta maaf kepada seluruh rakyat Papua, terutama kepada non Papua, mari didalam kedudukan kami, dalam ranah politik, posisi jabatan politik, biarkan kami orang Papua yang ada dalam situ. Kalau dibirokrasi, silahkan. Tapi terkait ruang politik seperti gubernur, wakil gubernur, pimpinan DPR Papua, pimpinan DPRD kabupaten/kota, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, ini harus orang asli Papua,” paparnya.

Nah, kata Yunus Wonda, hal itu yang mestinya dimasukkan dalam perubahan UU Otsus ini. Sebab, yang lalu-lalu, bicara harus orang asli Papua, bupati dan wakil bupati harus orang asli Papua, tapi itu tidak bisa dalam perjalanan Otsus hingga hari ini.

Namun, di saat akan berakhir ini, kata Yunus Wonda, ini ada kesempatan untuk merubah ini semua.

“Dan disini kita minta pengertian kepada teman-teman non Papua, mari beri ruang ini untuk ruang orang asli Papua. Kita harus bikin DPRD kabupaten/kota, misalnya orang asli Papua 80 persen, non Papua 20 persen. Kita harus rebut yang sekian persen saja, mau dari partai mana. Ini harus kita atur, supaya benar-benar orang Papua bisa bicara terkait kepentigan rakyat Papua di atas tanah ini. Jika ada pasal dalam UU Otsus selama ini, kriteria orang Papua yakni non Papua yang diangkat itu bisa mendapat legitimasi, itu tidak bisa. Pasal itu harus dihilangkan. Yang mau maju itu, bapak dan mama orang asli Papua, titik disitu. Ini kita kalau bicara ke depan ya harus seperti itu,” jelasnya.

Meski demikian, kata Yunus Wonda, tidak menutup di ruang lain, baik ruang ekonomi, yudikatif dan lainnya, namun di ranah politik, biarkan orang Papua yang berperan.

“Jadi, intinya sekali lagi, ada banyak pasal yang harus kita rubah. Kalau kita bicara evaluasi UU Otsus, itu harus dilakukan total. Tidak bisa setengah-setengah, tidak bisa evaluasi dilakukan pusat atau pejabat Papua, itu tidak bisa. Evaluasi Otsus hanya bisa dilakukan oleh seluruh rakyat Papua,” tandasnya.

Diakui, tentu ada pro dan kontra, itu sudah pasti. Namun, harus dikolaborasikan untuk kepentingan orang Papua ke depan, untuk perlindungan terhadap orang Papua, sehingga proses pembangunan di Papua secara keseluruhan, tingkat toleransi dan saling menghormati terus ada.

Untuk itu, Yunus Wonda mengimbau kepada masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi melalui MRP atau DPR Papua, karena memang diberikan ruang.

“Kita tidak boleh sekat ruang ini. Ketika ada permintaan menyampaikan demo atau RDP, mari kita beri ruang. Jangan halangi aspirasi rakyat, biarkan mereka. Bagaimana evaluasi Otsus kita lakukan, tapi ruang kita tutup? Nah, itu tidak benar. Biarkan rakyat menyampaikan aspirasi itu sesuai pasal 77 UU Otsus. Jangan sampai ruang rakyat tidak diberikan, tapi langsung diputuskan dari DPR Papua, MRP atau eksekutif, apalagi pemerintah pusat. Itu tidak bisa,” jelasnya.

Ditambahkan, berdasarkan pengalaman waktu Konggres Papua, tentu tidak langsung merdeka, tapi bagaimana membicarakan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, apalagi sampai saat ini tidak ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Nah, pemerintah pusat juga harus mengevaluasi ini,” pungkasnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *