Sulaeman Hamzah: Otsus Tidak Ada Jilid I dan Jilid II

Anggota DPR RI, HSolaeman L Hamzah.
banner 120x600

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Anggota Komisi IV DPR RI, H Sulaeman L Hamzah menegaskan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) tidak ada jilid I dan Jilid II, tetapi Undang-Undang Otsus tetap berlaku di Tanah Papua.

“Saya mau luruskan untuk generasi milineal sekarang dan kelompok masyarakat tertentu itu, pertama Otsus tidak ada jilid I dan jilid II dan tidak berakhir. Itu harus diluruskan di media, supaya teman-teman ini tahu,” tegas Sulaeman Hamzah usai Rapat Koordinasi Gubernur Papua Bersama Forum Komunikasi Anggota DPR RI dan DPD RI, DPR Papua, MRP dan Forkompinda Papua di Swiss-Belhotel Papua, Kota Jayapura, Kamis, 13 Agustus 2020.

Yang ada adalah, kata Sulaeman Hamzah, melakukan revisi terhadap UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disesuaikan dengan situasi dan perkembangan sekarang ini.

“UU Nomor 21 Tahun 2001 itu judulnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sementara sudah ada Papua Barat. Cantolannya cuma di PP saja, harus dirubah misalnya menjadi UU Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Jadi, berapapun provinsi di Papua, Undang-undangnya satu atau satu payung,” katanya.

Sulaeman Hamzah menjelaskan bahwa yang berakhir itu bukan UU Otonomi Khusus, tetapi yang berakhir itu adalah dana Otsus yakni 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU).

Selain itu, Anggota DPR RI dari Dapil Papua ini meluruskan adanya aspirasi dari masyarakat bahwa Otsus gagal dan sebagainya, namun sekarang sedang diadakan evaluasi, yang mestinya dilakukan setiap tahun, namun kemungkinan karena kesibukan atau lalai.

“Tapi, jika dibilang tidak berhasil sama sekali, saya kira tidak juga. Nah, itu harus kita diakui. Oleh karena itu, kepada masyarakat Papua harus bersabar, karena ini sedang dilakukan evaluasi dan disusun oleh tim yang dibentuk, andaikan masih ada aspirasi yang mau dimasukkan silahkan, tetapi dengan cara-cara yang bersahabat dan demokratis,” tandasnya.

Terkait rapat koordinasi itu, Sulaeman Hamzah mengatakan, semua harus melihat pembahasan Otsus, harus dalam rangka keberadaan kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurutnya, selama UU Otsus berjalan, memang banyak komunikasi yang terputus sehingga yang diusulkan dari Papua mentok, tidak ada juga komunikasi dengan anggota DPR RI maupun DPD RI asal Papua.

“Kami juga merasa bersalah, tidak mengawal itu. Tapi, lagi-lagi memang komunikasi tidak berjalan diantara kami. Saya di beberapa kesempatan di periode kemarin, saya sudah membuka diri untuk bisa melakukan pengawasal terhadap semua hal yang berhubungan dengan kepentingan pusat itu dari kami anggota DPR RI sebagai wakil dari Papua bisa membantu menyuarakannya di DPR RI atau setidaknya bisa berkomunikasi dengan kementerian terkait,” jelasnya.

Dengan pengalaman itu, Politisi Partai Nasdem ini mengakui, pada periode ini, anggota DPR RI dan DPD RI dari Papua dan Papua Barat sudah berhimpun dalam Forum Komunikasi Anggota DPR RI dan DPD RI Papua dan Papua Barat, sehingga forum ini kemudian melakukan lobi-lobi hingga berhasil ditetapkan menjadi alat kelengkapan MPR RI.

Dikatakan, agar forum ini bisa berfungsi untuk mengawal hal-hal yang terkait dengan pemerintahan Otsus di Papua ini, forum ini siap untuk membantu mengawal dan sebisa mungkin komunikasi antara pusat dan daerah tersambung dengan baik.

“Untuk itu, jika semua hal yang dipersiapkan di sini untuk disampaikan ke pusat, setidaknya kami bisa dilibatkan di situ, sehingga yang terjadi pada lima tahun sebelumnya, untuk yang akan datang, bisa diselesaikan,” jelasnya.

Diakui, untuk revisi Otsus itu, waktunya terbatas, sekalipun UU Otsus ini tidak ada batasnya dan tetap berlaku, tetapi hal-hal tertentu dibatasi, termasuk soal keuangan yang dibahas dalam rakor tadi.

“Yang disebut berlaku 20 tahun itu, adalah dana 2 persen dari DAU nasional itu, yang berakhir 2021. Soal lain, harus kita kawal baik,” ujarnya.

Selain itu, kata Sulaeman Hamzah, RUU Otsus Plus yang diusulkan tahun 2014, memang sampai hari ini masih ada ditangan pemerintah dan pengawalan selama periode berjalan, itu tidak mampu masuk di prioritas prolegnas tahunan, sehingga tidak dibahas.

Namun, akhir periode 2018, sebut Solaeman Hamzah, pemerintah kemudian mengambil alih menjadi pengusul. “Saat itu, saya menjadi anggota Baleg DPR RI, saya pikir lebih mudah urusannya. Namun sampai 2019, pemerintah pusat mengambil alih sebagai pengusul RUU Otsus Plus, tapi sampai akhir periode belum ada pembahasan, karena memang tidak masuk prolegnas prioritas,” ungkapnya.

Masuk tahun 2020, Sulaeman Hamzah mengakui mengawal hal itu, sampai dengan periode sekarang, RUU Otsus sebelumnya yang belum dibahas, namun bisa dicarry over bersama RUU lainnya untuk dibahas separuh dari rancangan pasal-pasal yang diusulkan itu bisa dicarry over disini. Meski Otsus belum dibahas secara detail, kemudian terikut dalam paket carry over tadi.

“Revisi UU Otsus itu, kini masuk lima tahunan, jangka menengah masuk dan prioritas tahunan masuk pada tahun 2020 ini. Persoalan sampai hari ini, memang DPR RI belum menerima draft usulan dari pemerintah setelah dia ambil alih menjadi pengusul, itu belum sampai di DPR RI, padahal, kita tinggal 4 bulan lagi berakhir,” ungkapnya.

Sulaeman Hamzah memaklumi jika itu ada pandemic Covid-19 dan persoalan lainnya, sehingga komunikasi tidak berjalan. Namun, ada kabar yang disampaikan dalam rakor tadi bahwa Mendagri telah menyurat Pemprov Papua dan DPR Papua pada awal tahun 2020, minta ada draft usulan dari Papua atau draft sandingan agar menjadi satu di Mendagri untuk diusulkan ke DPR RI untuk dibahas.

“Nah, ini sekarang yang kita tunggu. Karena memang waktunya sudah mepet, sehingga harus dikejar. Teman-teman tim yang ditugaskan merumuskan ini memang belum selesai, tadi bahkan minta digeser sedikit sampai akhir tahun. Tapi, kalau masuk tahun depan, itu juga nanti akan molor juga seperti ini,” paparnya.

Namun, Sulaeman Hamzah meminta agar dikebut dalam 1 – 2 bulan ke depan, sehingga belum sampai akhir tahun, revisi UU Otsus itu sudah dibahas. Lalu, didorong masuk ke tahun berikutnya lagi masuk prioritas untuk dituntaskan.

Adanya keinginan MRP dan DPR Papua untuk menarik RUU Otsus Plus lantaran disinyalir ada perubahan pasal-pasal di pusat? Solaeman Hamzah menilai hal itu hanya penafsiran yang keliru.

“Saya perlu menegaskan bahwa usulan yang disampaikan ke DPR RI, itu juga belum dibahas. Kalau itu sudah menjadi Undang-Undang, kemudian kita tarik kembali, itu lain cerita. Tapi, ini belum dibahas dan draft itu memang ada di Kemendagri,” jelasnya.

Bahkan, kata Sulaeman Hamzah, dalam diskusi bersama Kemenkum HAM dalam rangka revisi itu.

“Usul dari Kemenkum HAM minta supaya disederhanakan lagi dari sekian 400 sekian pasal itu, kalau bisa dikurangi separuhnya, sehingga ada ruang untuk perdasi dan perdasus. Tidak semuanya harus dirinci disitu, sehingga kebijakan daerah bisa masuk disitu. Kalau semua dirinci disitu dan masuk dalam batang tubuh, itu juga nanti di daerah kita tidak bisa berinovasi jika ingin menerbitkan perdasi dan perdasus. Saran itu baik juga kita terima,” paparnya.

Untuk itu, Sulaeman Hamzah meminta kepada Pemprov Papua bersama DPR Papua dan MRP untuk menyusun draft sandingan, apalagi Mendagri juga sudah meminta juga hal itu, setelah mengambil alih menjadi pengusul RUU Otsus Plus di pusat, sehingga meminta aspirasi dari daerah sesuai perintah UU Otsus pasal 77 bahwa apabila direvisi itu harus melalui masyarakat Papua, MRP dan DPR Papua.

“Tadi, ketua DPR Papua dan MRP kelihatannya mau menjaring sebanyak mungkin aspirasi, biar itu demokrasinya terbuka,” pungkasnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *