Terlilit Kredit Fiktif Bank Papua, 44 Perusahaan Mangkir Panggilan Jaksa

banner 120x600
banner 468x60

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua, Alexander Sinuraya. (Paul)

 

JAYAPURA, papuaterkini.com – Pemilik 44 perusahaan tidak memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Papua. Ini adalah panggilan kedua terkait dugaan kasus kredit fiktif senilai Rp 188 miliar di tubuh Bank Papua cabang Enarotali, Kabupaten Paniai, pada 2016 lalu.

Mangkirnya para pengusaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi dalam proses penyidikan, tak lantas menyurutkan semangat Kejaksaan Tinggi Papua utuk mengusut tuntas kasus ini.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua, Alexander Sinuraya menegaskan, pihaknya akan melayangkan panggilan ke tiga terhadap pemilik 44 perusahaan yang membobol uang dari Bank Pembangunan Daerah Papua.

Kantor Pusat Bank Papua di Jayapura

Hingga kini, 47 perusahaan itu belum mengembalikan kredit sebesar Rp 188 miliar kepada pihak Bank Papua. Seharusnya pembayaran kredit telah tuntas pada 2017 lalu.

Alexander menyebut, baru pemilik tiga perusahaan yang menjalani pemeriksaan oleh penyidik Kejati Papua. Sementara, pemilik 44 perusahaan lagi mangkir dari panggilan pertama dan kedua.

“Kami akan mengeluarkan surat panggilan yang ketiga terhadap para pemilik 44 perusahaan. Apabila kembali mangkir, kami akan melacak keberadaan mereka hingga ketemu,” tegas Alexander di Jayapura, Selasa (6/10).

Dari pemeriksaan pemilik ketiga perusahaan ini, terungkap bahwa sama sekali tidak mengerjakan proyek apapun walaupun telah mendapatkan kucuran kredit dana sebesar Rp 3,8 miliar hingga Rp 4 miliar dari Bank Papua cabang Enarotali.

Dalam proses pengajuan kredit, 47 perusahaan ini diduga kuat menggunakan Surat Perintah Kerja (SPK) bodong sebagai jaminan pemberian kredit. Bahkan, sejumlah oknum pejabat dan pegawai Bank Papua juga diduga terlibat dalam kasus ini.

Diketahui, SPK adalah kredit modal kerja yang diberikan untuk membantu kontraktor mendapatkan kontrak kerja pengadaan barang dan jasa dari instansi Pemerintah, BUMN dan BUMD.

“Hasil penyelidikan kami di Paniai, ternyata Pemda setempat sama sekali tidak memberikan tender jasa konstruksi bagi 47 perusahaan tersebut. Hal ini merupakan dugaan salah satu upaya pelanggaran hukum,” ungkap Alexander.

Mantan Kajari Merauke ini menambahkan, Kejati Papua menjerat pihak yang terlibat dalam kasus ini dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebanyak 25 saksi telah diperiksa penyidik Kejati Papua, hingga pekan lalu. Empat saksi merupakan pegawai Bank Papua.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Nikolaus Kondomo menyebut, skema yang digunakan pelaku dalam kasus ini yaitu pengajuan kredit dengan meminjam 47 dokumen perusahaan. Proses penyelidikan kasus ini pun telah berlangsung sejak 2018.

“Kredit itu diambil oleh 47 perusahaan. Namun kami lihat indikasinya yang punya kepentingan hanya satu orang. Kesepakatan soal fee akan kami telusuri,” ujar Kondomo.

Pengamat hukum sekaligus Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Papua, Anthon Raharusun berpendapat, modus dalam kasus pembobolan Bank Papua cabang Enarotali terbilang baru di Papua.

Anthon berpendapat, kasus ini telah merugikan uang milik Pemerintah Daerah serta nasabah. Sebab, Bank Papua merupakan badan usaha milik daerah.

“Kami berharap penanganan kasus ini berjalan tuntas dan memberikan efek jera bagi para pelaku. Semoga kasus dengan modus ini tidak terulang lagi di Papua,” ujarnya. (PT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *