RDP di Wilayah Adat Anim Ha, Ada Penolakan UU Otsus

Suasana RDP Pansus Otsus DPR Papua di wilayah adat Anim Ha yang berlangsung di Aula Kantor Bupati Merauke.
banner 120x600
banner 468x60

MERAUKE, Papuaterkini.com – Panitia Khusus Otonomi Khusus (Pansus Otsus) DPR Papua melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di wilayah adat Anim Ha dengan bersama stakeholder untuk mendengar langsung dan menjaring aspirasi dari masyarakat.

Untuk  wilayah adat  Animha,  rapat dengar pendapat  yang digelar  di Auditorium  Kantor  Bupati  Merauke  dihadiri 6  anggota DPR Papua, Koordinator Tim RDP Wilayah Adat Anim Ha, H Kusmanto, SH, MH, Fauzun Nihayah, Siti Susanti, SE, Ferdinando Bokowi, SH, Danton Giban, SPd, MSi dan Hosea Genongga.

Hadir juga Wakil Bupati Merauke, Sularso bersama Forkompinda Merauke, Plt Sekda H. Ruslan Ramli bersama sejumlah kepala OPD, Tokoh Papua Selatan, Drs Johanes Gluba Gebze, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda, perempuan dan ormas dari 4 kabupaten, yakni Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel.

Wakil Bupati Merauke, Sularso dalam sambutannya mengatakan, jika kewenangan  mengelola dana Otsus yang  sebesar  80 persen baru  diberikan  5 tahun  terakhir,  digunakan  sesuai  peraturan  yang ada yaitu untuk pendidikan, kesehatan, afirmasi, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur dasar;

“Alokasi dana Otsus 2 persen  dari  DAU Nasional itu, jika didistribusikan   ke  tiap kabupaten/kota  masih  sangat  kecil,  hanya  menyumbang  rata-rata 6 persen dari total APBD di Kabupaten Merauke,” katanya.

Wabup Sularso mengapresiasi kegiatan  RDP yang dilakukan DPR Papua ini, karena  merupakan forum menghimpun pendapat  rakyat terhadap  penyelenggaraan Otsus di Papua dan Papua Barat.

Wabup Sularso mengharapkan adanya sinergitas  antara DPR Papua  dan MRP dan Pemprov Papua  untuk menyampaikan berbagai masukan  itu, secara baik  untuk pertanggungjawaban  keuangan daerah terutama dana Otsus  merupakan tanggungjawab sepenuhnya oleh  Pemprov Papua dan jajarannya.

Koordinator Tim Pansus Otsus Wilayah Adat Merauke, H Kusmanto, SH, MH menyampaikan jika RDP ini adalah forum untuk memberikan masukan, saran bahkan kritik terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua, karena  Otsus tidak  berakhir, selama  tidak  dicabut.

“Jadi, kita wajib memberikan masukan  terhadap usulan-usulan Revisi  dan Perubahan UU Otsus ini agar lebih  baik  lagi  ke  depannya dan  manfaatnya bagi masyarakat Papua yang sebesar-besarnya,” katanya.

Diakui, dalam RDP ini, memberikan tanggapan dan pendapat yang beragam, bahkan memunculkan pro dan kontra terkait Revisi UU Otsus ini.

Dikatakan, RDP ini dilakukan serentak di 5 wilayah  adat  di Papua  untuk menyikapi  adanya revisi UU Otsus bagi Provinsi Papua.

“Ketika ada  hal-hal yang akan menjadi revisi kedepan, maka ada baiknya   kami  turun kelima  wilayah  adat   sekaligus ke  Dapil masing-masing  untuk mendengarkan    suara, masukan atau  aspirasi dari masyarakat kita, sehingga  inilah yang akan kita koordinasikan dengan  MRP dan  pak Gubernur. Karena untuk evaluasi ini, kami diberikan  waktu selama 1 bulan,’’ kata Kusmanto.

Ditambahkan, apapun yang disampaikan   oleh masyarakat, maka pasti itulah   yang menjadi potret  sesungguhnya  di lapangan.

“Jadi   untuk RDP  ini  kami sesungguhnya  lebih banyak  mendengar  dari  masyarakat terkait   Otsus ini seperti apa ke depannya,’’ imbuhnya.

Dari jalannya  kegiatan, para peserta mengkritisi masalah pelaksanaan otonomi  khusus  yang  menurut   pendapat mereka diantaranya bahwa selama  ini tidak merasakan apa itu otonomi  khusus. Bahkan, sejumlah  peserta berteriak minta referendum.

Apalagi, dalam RDP ini, sempat muncul adanya kesan tidak ada perdasi-perdasus yang disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga tidak paham dengan kebijakan yang dilakukan Pemprov Papua untuk memenuhi kebutuhan hidup Orang Asli Papua.

Selain itu, masih  ada  masalah  di  sektor  publik,  seperti  pendidikan,  kesehatan, ekeonomi  kerakyatan,  infrastruktur  dasar,  kualitas  dan  ketersediaan SDM.

Bahkan, sejumlah  pasal  dalam  UU Otsus tidak mampu  dilaksanakan,  diantaranya adalah Kepala Daerah  yang  harus orang Asli Papua (OAP),  hal  ini  semakin  membuat  kecewa  warga Papua  karena  mereka  merasa  semakin  tidak  mampu  berperan  di derahnya  sendiri, sehingga diharapkan ada  affirmasi  terkait  dapil  khusus  untuk OAP.

Tidak hanya itu, dalam perjalanan Otsus selama hampir 20 tahun ini, tidak   disampaikan   kepada masyarakat  secara  baik  apa  yang  sudah  dilaksanakan  dan  apa  yang belum terlaksana, sehingga sebagian besar masyarakat  terutama OAP tidak  memahami Otsus itu sendiri.

Bahkan, ada penolakan terhadap Otsus, karena Otsus bukan  merupakan  keinginan rakyat Papua,  tapi hanya   kebijakan Jakarta   yang  awalnya  diyakini  mampu memberikan  solusi  terbaik  untuk menjawab berbagai persoalan di Tanah Papua.

Namun, pada implementasinya dilapangan justru semakin membuat  amarah orang Papua semakin  tinggi,  diantaranya  adalah masih  terjadi  pelangaran HAM dengan korban di pihak rakyat sipil, tingkat kematian    akibat  rendahnya derajat kesehatan, ketidakmampuan bersaing karena taraf kemampuan SDM yang belum merata dan  ketidak terbukaan  pemerintah dari pusat sampai daerah kepada masyarakat sehingga   kecurigaan masyarakat yang   semakin  tinggi terhadap penyelewengan dana Otsus makin menguat.

Selain itu, penolakan Otsus ini, lantaran pemerintah pusat harus  mau  membuka lembaran  sejarah  secara  jujur  atas kesalahan-kesalahan  yang  telah dilakukan  pemerintah  sejak Tahun 1961  hingga  saat  ini.    OTSUS diberikan kepada Papua tidak secara penuh karena tidak semua bagian dalam  UU itu dapat dilaksanakan  karena   benturan   dengan peraturan lainnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *