MERAUKE, Papuaterkini.com – Panitia Khusus Otonomi Khusus (Pansus Otsus) DPR Papua melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di wilayah adat Anim Ha dengan bersama stakeholder untuk mendengar langsung dan menjaring aspirasi dari masyarakat.
Untuk wilayah adat Animha, rapat dengar pendapat yang digelar di Auditorium Kantor Bupati Merauke dihadiri 6 anggota DPR Papua, Koordinator Tim RDP Wilayah Adat Anim Ha, H Kusmanto, SH, MH, Fauzun Nihayah, Siti Susanti, SE, Ferdinando Bokowi, SH, Danton Giban, SPd, MSi dan Hosea Genongga.
Hadir juga Wakil Bupati Merauke, Sularso bersama Forkompinda Merauke, Plt Sekda H. Ruslan Ramli bersama sejumlah kepala OPD, Tokoh Papua Selatan, Drs Johanes Gluba Gebze, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda, perempuan dan ormas dari 4 kabupaten, yakni Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel.
Wakil Bupati Merauke, Sularso dalam sambutannya mengatakan, jika kewenangan mengelola dana Otsus yang sebesar 80 persen baru diberikan 5 tahun terakhir, digunakan sesuai peraturan yang ada yaitu untuk pendidikan, kesehatan, afirmasi, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur dasar;
“Alokasi dana Otsus 2 persen dari DAU Nasional itu, jika didistribusikan ke tiap kabupaten/kota masih sangat kecil, hanya menyumbang rata-rata 6 persen dari total APBD di Kabupaten Merauke,” katanya.
Wabup Sularso mengapresiasi kegiatan RDP yang dilakukan DPR Papua ini, karena merupakan forum menghimpun pendapat rakyat terhadap penyelenggaraan Otsus di Papua dan Papua Barat.
Wabup Sularso mengharapkan adanya sinergitas antara DPR Papua dan MRP dan Pemprov Papua untuk menyampaikan berbagai masukan itu, secara baik untuk pertanggungjawaban keuangan daerah terutama dana Otsus merupakan tanggungjawab sepenuhnya oleh Pemprov Papua dan jajarannya.
Koordinator Tim Pansus Otsus Wilayah Adat Merauke, H Kusmanto, SH, MH menyampaikan jika RDP ini adalah forum untuk memberikan masukan, saran bahkan kritik terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua, karena Otsus tidak berakhir, selama tidak dicabut.
“Jadi, kita wajib memberikan masukan terhadap usulan-usulan Revisi dan Perubahan UU Otsus ini agar lebih baik lagi ke depannya dan manfaatnya bagi masyarakat Papua yang sebesar-besarnya,” katanya.
Diakui, dalam RDP ini, memberikan tanggapan dan pendapat yang beragam, bahkan memunculkan pro dan kontra terkait Revisi UU Otsus ini.
Dikatakan, RDP ini dilakukan serentak di 5 wilayah adat di Papua untuk menyikapi adanya revisi UU Otsus bagi Provinsi Papua.
“Ketika ada hal-hal yang akan menjadi revisi kedepan, maka ada baiknya kami turun kelima wilayah adat sekaligus ke Dapil masing-masing untuk mendengarkan suara, masukan atau aspirasi dari masyarakat kita, sehingga inilah yang akan kita koordinasikan dengan MRP dan pak Gubernur. Karena untuk evaluasi ini, kami diberikan waktu selama 1 bulan,’’ kata Kusmanto.
Ditambahkan, apapun yang disampaikan oleh masyarakat, maka pasti itulah yang menjadi potret sesungguhnya di lapangan.
“Jadi untuk RDP ini kami sesungguhnya lebih banyak mendengar dari masyarakat terkait Otsus ini seperti apa ke depannya,’’ imbuhnya.
Dari jalannya kegiatan, para peserta mengkritisi masalah pelaksanaan otonomi khusus yang menurut pendapat mereka diantaranya bahwa selama ini tidak merasakan apa itu otonomi khusus. Bahkan, sejumlah peserta berteriak minta referendum.
Apalagi, dalam RDP ini, sempat muncul adanya kesan tidak ada perdasi-perdasus yang disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga tidak paham dengan kebijakan yang dilakukan Pemprov Papua untuk memenuhi kebutuhan hidup Orang Asli Papua.
Selain itu, masih ada masalah di sektor publik, seperti pendidikan, kesehatan, ekeonomi kerakyatan, infrastruktur dasar, kualitas dan ketersediaan SDM.
Bahkan, sejumlah pasal dalam UU Otsus tidak mampu dilaksanakan, diantaranya adalah Kepala Daerah yang harus orang Asli Papua (OAP), hal ini semakin membuat kecewa warga Papua karena mereka merasa semakin tidak mampu berperan di derahnya sendiri, sehingga diharapkan ada affirmasi terkait dapil khusus untuk OAP.
Tidak hanya itu, dalam perjalanan Otsus selama hampir 20 tahun ini, tidak disampaikan kepada masyarakat secara baik apa yang sudah dilaksanakan dan apa yang belum terlaksana, sehingga sebagian besar masyarakat terutama OAP tidak memahami Otsus itu sendiri.
Bahkan, ada penolakan terhadap Otsus, karena Otsus bukan merupakan keinginan rakyat Papua, tapi hanya kebijakan Jakarta yang awalnya diyakini mampu memberikan solusi terbaik untuk menjawab berbagai persoalan di Tanah Papua.
Namun, pada implementasinya dilapangan justru semakin membuat amarah orang Papua semakin tinggi, diantaranya adalah masih terjadi pelangaran HAM dengan korban di pihak rakyat sipil, tingkat kematian akibat rendahnya derajat kesehatan, ketidakmampuan bersaing karena taraf kemampuan SDM yang belum merata dan ketidak terbukaan pemerintah dari pusat sampai daerah kepada masyarakat sehingga kecurigaan masyarakat yang semakin tinggi terhadap penyelewengan dana Otsus makin menguat.
Selain itu, penolakan Otsus ini, lantaran pemerintah pusat harus mau membuka lembaran sejarah secara jujur atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan pemerintah sejak Tahun 1961 hingga saat ini. OTSUS diberikan kepada Papua tidak secara penuh karena tidak semua bagian dalam UU itu dapat dilaksanakan karena benturan dengan peraturan lainnya. (bat)