Alfred Anouw: Pemerintah Segera Buka Dialog Dengan ULMWP

Sekretaris Fraksi Gabungan II Bangun Papua DPR Papua, Alfred Fredy Anouw, SIP menyampaikan pendapat fraksi dalam rapat paripurna DPR Papua membahas penyampaian hasil kerja Pansus Otsus DPR Papua dan aspirasi serta pokok pikiran fraksi - fraksi terkait revisi UU Otsus, Selasa, 15 Juni 2021.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Fraksi Gabungan Il Bangun Papua DPR Papua yang terdiri dari Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Garuda meminta kepada Presiden Republik Indonesia membuka ruang dialog dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

“Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia yang ke 6, Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, kepada saudara-saudara kita GAM yang difasilitasi angsung oleh Wakil Presiden Dr. H. Muhhamad Yusuf Kalla melibatkan pihak ketiga yaitu Negara Helsinki,” kata Sekretaris Fraksi Gabungan II Bangun Papua, Alfred Freddy Anouw, SIP ketika menyampaikan pendapat fraksi pada Sidang DPR Papua dengan agenda Penyampaian Laporan Kajian Panitia Khusus Otonomi Khusus dan Penyampaian Aspirasi & Pokok Pikiran Fraksi – Fraksi Terkait Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus, Selasa, 15 Juni 2021.

Apalagi, kata Alfred Anouw, Fraksi Gabungan Fraksi Gabungan Il Bangun Papua memantau dukungan Negara-negara Afrika, Negara Pasifik, Negara – negara Karibia didalamnya 84 negara kulit hitam di dunia menyatakan setuju mendukung permintaan ULMWP untuk Komisi Tinggi HAM PBB segera turun di Papua dan segera investigasi. Selain itu, juga UNI-Eropa mendukung ULMWP mendirikan Kantor Free West Papua.

Lebih lanjut, dengan hal-hal ini Negara kita ini akan mengalami banyak hambatan dengan kepentingan internasional, sehingga Fraksi Gabungan II Bangun Papua berpendapat agar Presiden RI segera membuka dialog dengan ULMWP.

Dikatakan, Fraksi Gabungan Il Bangun Papua meminta kepada Pimpinan DPR Papua segera menyampaikan sikap Rakyat Papua  berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Majelis Rakyat Papua (MRP) dan segera memfasilitasi aspirasi Rakyat Papua ini kepada pimpinan DPD Rl, DPR Rl dan Presiden Republik Indonesia secara terhormat, bermartabat dan berkeadilan sebagai lembaga respresentasi aspirasi rakyat.

Menurutnya, setelah menyimak, mengikuti dan mencermati proses berjalannya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2021 dalam perkembangan dan kemajuannya tidak memajukan masyarakat Orang Asli Papua (OAP) dan menimbulkan pro dan kontrak yaitu menolak atau memulangkkan UU Otsus dan revisi seluruhnya isi dari UU Otsus dalam konteks Lexsspesialis yang muatannya melindungi, menghormati dan memberdayakan Orang Asli Papua (OAP) atau diskriminasi positif demi rakyat Papua percaya dan mencintai NKRI itu.

Alfred Anouw mengatakan jika Fraksi Gabungan Il Bangun Papua sependapat dengan hasil RDP yang dilaksanakan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) di 5 (lima) Wilayah Adat. Sesuai laporan hasil RDP yang diterima oleh Fraksi Gabungan Il Bangun Papua, sesuai hasil di 3 (tiga) wilayah adat diantaranya Wilayah Tabi, Wilayah Animha dan Wilayah Lapago tidak dilaksanakan karena tidak diberikan jin oleh aparat dan dibubarkan. Sementara di wilayah Meepago danWilayah Saireri dilaksanakan di Kabupaten Biak dan Kabupaten Nabire dan selanjuttnya, hasil rekomendasi Otsus ditolak dan meminta referendum.

Dikatakan, Pemerintah Indonesia telah mengupayakan penyelesaian masalah Irian Barat selama 11 tahun sejak tahun 1950an. Namun, karena tidak diindahkan oleh Belanda, maka permasalahan ini selalu diangkat dalam forum PBB di tahun 1954, 1955, 1957 dan 1960.

Bankan, hasil perjanjian New York mensyaratkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) kepada pemerintahan de jure Indonesia saat itu untuk memberikan kesempatan bagi rakyat Irian Barat apakah berintegrasi dengan Indonesia atau tidak.

Lebih lanjut, pasca Pepera di Irian Barat tahun 1969 pun sejatinya tidak berhenti dari pergulatan panjang masalah Papua dan Indonesia. Atas kenyataan selama beberapa dekade bersama Republik Indonesia, memberikan fakta yang masih jauh dari harapan bahwa rakyat Papua benar-benar sama dan setara dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Hingga pada tahun 1998 situasi politik dan ekonomi Indonesia sedang mengalami guncangan yang sangat keras saat itu, aspirasi dari berbagai daerah termasuk Papua terus saja menghujani Indonesia.

Akhirnya, kata Alfred Anouw, di tahun 2001 melalui kerja keras Pemerintah Pusat yang dipimpin Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) saat itu dan Pemerintah Papua yang dipimpin Gubernur Drs JP Solosa, MSi, lahirlah Undang Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diharapkan sebagai jalan tengah aspirasi Mmrdeka dari tuntutan masyarakat Papua.

“Sepanjang dua puluh tahun perjalanan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat, pada kenyataannya juga tidak bisa memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat Orang Asli Papua dalam segala bidang secara keseluruhan, antara lain disebabkan karena pengelolaan dana otonomi khusus yang bertumpu pada instansi pemerintah dan menyebabkan salah sasaran,” ujarnya.

Selain itu, ujar Alfred Anouw, kesempatan peluang tenaga kerja dalam segala bidang jenjang diekspansi oleh bukan Orang Asli Papua, mobilisasi penduduk, menguasai tanah/lahan oleh pemodal dan diback up oleh kekuatan negara, hilangnya rakyat rasa cinta dan percaya kepada negara, dengan menghambat implementasi UU Otsus secara optimal dan tidak bermanfaat bagi masyarakat Papua terutama Orang Asli Papua.

“Dinamika rakyat Papua antara menolak dan dievaluasi usulan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 34 ayat 3 huruf c poin 6 berbunyi penerimaan dalam rangka Dana  Otonomi Khusus selama 20 tahun dan kewajiban usul dimaksud pada pasal 7 berbunyi usul perubahan atas Undang- undang ini dapat diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua  kepada DPR RI atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” imbuhnya. (bat)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *