Lobi Fraksi Demokrat DPR RI, DPR Papua Minta Revisi UU Otsus Tak Hanya Dua Pasal    

Wakil Ketua I DPR Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH menyerahkan dokumen aspirasi rakyat Papua terkait revisi UU Otsus kepada Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Vera Febyanthy, MSi, Senin, 21 Juni 2021.
banner 120x600
banner 468x60

JAKARTA, Papuaterkini.com – Usai melobi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, pada hari yang sama, Senin, 21 Juni 2021, Tim DPR Papua juga melakukan lobi kepada Fraksi Demokrat DPR RI di Gedung Nusantara 1 DPR RI, Jakarta.

Tim DPR Papua ditemui langsung oleh Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Vera Febyanty, MSi di Ruang Fraksi Demokrat DPR RI.

Wakil Ketua I DPR Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH menyerahkan langsung dokumen hasil kajian Pansus Otsus DPR Papua bersama dengan aspirasi dan pokok – pokok pikiran fraksi – fraksi DPR Papua terkait revisi UU Otsus yang telah disahkan melalui sidang paripurna beberapa hari lalu kepada Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Febyanty, MSi.

Dalam pertemuan itu, Wakil Ketua I DPR Papua Yunus Wonda menyampaikan pihaknya tidak sependapat dengan revisi UU Otsus hanya dua pasal saja.

“Pasal 1 – 79 dalam UU Otsus itu, harus direvisi secara total. Saya mau mempertegas bahwa UU Otsus memberikan satu pendelegasian tugas ke DPR Papua dan MRP, di pasal 76 soal pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan SDM dan kemampuan ekonomi di masa mendatang. Itu di pasal 77, ini undang-undang bukan Inpres atau Keppres, dimana usulan perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua kepada DPR RI atau pemerintah sesuai peraturan – perundang-undangan,” tegas Yunus Wonda.

Dikatakan, terkait revisi UU Otsus itu, dapat dilakukan atas usulan masyarakat Papua melalui DPR Papua dan MRP. Dua pasal itu, tidak dilaksanakan sampai hari ini dalam revisi UU Otsus.

“Ini yang kami sangat sesalkan. Kalau kita sudah melanggar sendiri, maka Undang-undang yang akan dibuat sebagus apapun ke depan, kita akan tetap melanggar itu,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE menambahkan, lahirnya UU Otsus berawal untuk menjawab semua kebutuhan Orang Asli Papua.

Namun, kata Jhony Rouw, dalam kenyataan berjalannya UU Otsus selama 20 tahun, kebanyakan hanya melihat dari sisi anggaran, padahal yang diinginkan adalah perlindungan dan affirmasi bagi Orang Asli Papua.

“Kehadiran uang itu untuk menolong program unggulan tadi, tapi kenyataan yang saat dihadapi selalu hanya melihat sisi uangnya saja. Mestinya outcome yang dilihat, misalnya di Jawa pembangunan jalan 100 Km, harusnya di Papua juga dibangun 100 Km, padahal uangnya berbeda. Belum perumahan yang dibangun, tentu saja berbeda anggarannya dibandingkan daerah lain,” kata Jhony Rouw.

Jhony berharap agar pemerintah pusat tidak hanya melihat dari sisi anggaran saja, tetapi juga harus melihat dari sisi kebijakan agar dapat mensejahterakan rakyat Papua melalui affirmasi dan proteksi bagi Orang Asli Papua.

Apalagi, lanjut Yunus Wonda, banyak regulasi yang berbenturan dengan UU Otsus, misalnya dalam penerimaan pegawai atau CPNS yang ada dalam UU Otsus. Namun, berbenturan dengan peraturan perundangan yang lain.

“Artinya, itu kembali ke undang-undang sectoral, sehingga UU Otsus ini, tidak ada manfaat di sana. Nah, kewenangan-kewenangan itu, yang dibutuhkan bagi Papua, agar dapat mengatur dengan baik, misalnya penerimaan guru yang diminta harus S1. Setelah S1 diterima, kenyataan mereka tidak mau mengajar di kampung, berasalan tidak ada internet, susah dan lainnya. Justru ada tamatan SMA yang setia melayani di kampung-kampung, nah seperti inilah yang kami minta kewenangan itu,” jelasnya.

Jhony Rouw meminta pemerintah pusat melakukan pendekatan – pendekatan keamanan yang baik, tidak dengan pendekatan militer. Tapi, pendekatan lewat dialog sehingga masyarakat bisa merasa nyaman.

“Kami meminta Fraksi Demokrat, sebisanya dalam revisi UU Otsus ini, tidak hanya dilakukan dua pasal saja. Tapi, karena ada pasal-pasal lain yang sangat tidak berjalan dengan baik dan dibutuhkan di Papua. Bahkan, banyak pasal yang sudah mati seperti pasal pemilihan kepala daerah. UU Otsus menyebutkan pemilihan di DPR Papua, tapi lewat MK sudah memutuskan bahwa harus dipilih langsung oleh rakyat. Kenapa jika revisi tidak dihilangkan saja, agar tidak terjadi perdebatan terus di setiap Pilkada,” tandasnya.

Untuk itu, Jhony Banua Rouw berharap agar dalam revisi UU Otsus, tidak hanya dua pasal saja, tetapi lebih banyak pasal agar kewenangan untuk memajukan Orang Asli Papua melalui perlindungan dan affirmasi khusus sehingga dapat terwujud dan tidak dikalahkan dengan undang-undang sectoral yang selama ini sangat melemahkan UU Otsus di Papua.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Vera Febyanthy mengatakan, dalam rapat bersama Menteri Dalam Negeri dan dihadiri Wakil Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan kelonggaran dalan tahapan revisi UU Otsus. Bukan hanya dua pasal saja yang akan dilakukan pembahasan.

“Jadi, kita tunggu janji dari pemerintah. Kami Fraksi Demokrat, berharap DPR Papua menyampaikan kepada kami yang akan dimasukkan dalam daftar inventaris masalah (DIM),” kata Vera Febyanthy.

Yang jelas, lanjut Vera, Fraksi Demokrat bersama fraksi lain di DPR RI meminta agar pembahasan revisi UU Otsus itu, agar tidak terlalu cepat.

Vera berharap bahwa DPR Papua juga melakukan lobi dengan fraksi – fraksi lain di DPR RI, agar tidak hanya Fraksi Demokrat saja yang memperjuangkan aspirasi itu.

Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Vera Febyanthy, MSi menemui Tim DPR Papua, Senin, 21 Juni 2021.

Dikatakan, terkait dana Otsus , tentu saja bisa berubah bukan hanya 2,25 persen, tetapi juga komponen lain seperti mengenai kebijakan ekonomi, sosial, hukum dan HAM yang menjadi fundamental di Tanah Papua.

“Saya berharap tim dari tenaga ahli, bisa bersama-sama memasukan daftar inventaris masalah (DIM) untuk dimasukkan dalam DIM Fraksi Partai Demokrat. Namun, tentunya harus berkoordinasi dengan Ketua Umum dan Dewan Pembina. Bapak SBY sangat berkepentingan dalam pembahasan RUU Otsus. Karena beliaulah yang pada saat pemerintahan pak SBY menginginkan dana Otsus itu menjadi 4 persen dan banyak masukan yang masuk saat itu, tapi tidak tau kenapa tidak dilanjutkan dan hanya dua pasal saja,” paparnya.

“Kami akan segera berkonsultasi dengan beliau, yang selama ini memberikan pengayoman kepada Tanah Papua dan beliau juga punya pengalaman, tentunya kami akan segera berkonsultasi,” sambungnya.

Yang jelas, imbuhnya, apapun DIM yang akan dimasukan melalui Fraksi Demokrat DPR RI, tentu pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin untuk memaksukkan itu.

“Tentu kami tidak bisa sendiri. Kami berharap DPR Papua juga melakukan lobi – lobi ke fraksi lain di DPR RI, seperti Gerindra, Golkar dan lainnya untuk melakukan akselerasi bersama-sama memasukkan DIM yang diinginkan sehingga Fraksi Demokrat tidak sendirian,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai mengatakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, revisi terhadap undang-undang minimal 50 persen.

Jika yang direvisi dalam UU Otsus hanya dua pasal, yakni tentang tambahan dana Otsus dan pemekaran, sebaiknya diatur lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu.

“Hal hal subtansi yang mestinya diatur. Bukan hanya dua pasal saja yang akan direvisi,” kata Gobai.

Ia mengatakan, yang diharapkan orang asli Papua adanya ruang. Pemerintah juga diminta tidak alergi terhadap kelompok berseberangan berseberangan di Papua.

Menurutnya, lebih baik pembahasan revisi UU Otsus terlambat, yang penting dapat menyelesaikan akar persoalan di Papua daripada cepat namun tidak menyelesaikan masalah.

“Undang-Undang Otsus mesti benar benar menjadi regulasi untuk kepentingan masyarakat Papua,” imbuhnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *