Jhon Gobai: Sesuai UU Otsus, Harusnya Smelter Dibangun di Papua

Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai berbincang dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe, baru-baru ini.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, Jhon NR Gobai mengatakan, jika seharusnya Smelter atau pabrik pemurnian tembaga/emas dibangun di Papua.

Apalagi, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Pasal 39 yakni Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan kompetitif.

“Sesuai Pasal 39 UU No.21 tahun 2001 harusnya smelter dibangun di Papua,” kata Jhon Gobai kepada Papuaterkini.com, akhir pekan kemarin.

Dikatakan, dalam penjelasan pasal 43 ayat 4 UU Otsus, surat izin perolehan dan pemberian hak, diterbitkan sesudah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah dengan masyarakat adat.

Dengan perkataan lain, lanjut Jhon Gobai, masyarakat dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan tanah termasuk sumber daya alamnya.

Dikatakan, berdasarkan regulasi itu, maka pemilik tanah dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dalam skala besar seperti PT Freeport Indonesia, masyarakat harus terlibat aktif dalam perundingan atau musyawarah untuk mendengar sikap masyarakat apakah menerima atau menolak, menerima dengan catatan atau menolak dengan alasan.

“Jika diterima, maka bentuk kompensasi yang dapat dibicarakan atau dirundingkan adalah; bentuk-bentuk manfaat yang diberikan dapat berupa: pajak (diberikan pada PEMDA), royalty (diberikan kepada masyarakat adat yang terkait), sewa tanah (diberikan kepada masyarakat adat sekitar dan masyarakat yang terkena dampak),” papanrya.

Selain itu, ujar Jhon Gobai, kompensasi bagi masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak itu, bagaimana terkait dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, bagaimana bentuk pengamanan yang harus dilakukan sebagai hasil dari evaluasi dari pengamanan yang dilakukan selama ini.

“Jika Pemerintah melaksanakan amanat UU Otsu situ, tentu masyarakat Kamoro diajak bicara tentang rencana pembangunan Smelter itu. Jika tidak terjadi maka ruang ini terbuka bagi pihak – pihak yang punya kepentingan dapat saja atau diduga masuk ke pihak Komoro untuk ikut menggagalkan niat Pemprov Papua untuk mendorong Smelter di Papua,” tandasnya.

Dengan pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur, kata Jhon Gobai, membuat masyarakat Papua protes, karena harus dibuka ruang dan melibatkan masyarakat adat di Mimika khususnya Suku Amungme dan Komoro yang tanahnya akan digunakan  untuk membangun Smelter karena ini sesuai amanat Otsus Pasal 43 UU Nomor 21 tahun 2001.

“Jangan UU otsus diperlemah oleh Pemerintah sendiri hargailah pengaturan Pasal 39 UU No 21 tahun 2001 sebagai UU yang Lex Specialis Systematic, karena Smelter dibangun didalam Negeri yang dimaksud dalam Negeri oleh UU  Sektoral haruslah dimaknai di Papua, karena memang diatur dalam UU yang berstatus khusus di Indonesia,” tegasnya.

Diakui, Rencana pembangunan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) oleh PT Freeport Indonesia. Smelter itu, rencananya akan dibangun di wilayah adat suku Kamoro yang terletak di pesisir Mimika, Papua.

Namun, belakangan ini, masyarakat ada Kamoro menolak. Bahkan, Aktivis Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro, John Nakiaya menyatakan, pemerintah dan pihak perusahaan tidak pernah sekalipun melakukan sosialisasi terkait rencana tersebut. Karenanya, masyarakat adat Kamoro merasa tidak dilibatkan dan disingkirkan.

John mengatakan masyarakat adat Kamoro masih merasakan trauma akibat kerusakan lingkungan yang timbul akibat tailing (limbah tambang) PT Freeport selama puluhan tahun.

Namun demikian, Jhon Gobai menilai jika pembangunan Smelter Freeport di Gresik itu, sudah lama ada. Bahkan, Smelter ini kerjasama Freeport dengan Mitsubishi Jepang sehingga pembangunan yang sekarang adalah hanyalah penambahan.

Jhon Gobai menilai, jika dibangun di Papua maka mungkin bagi Freeport kurang efisien karena harus mengeluarkan dana yang sangat besar, sehingga bagi Freeport ini merugikan mereka, karena itu pilihannya adalah  bangun di gresik. Apalagi PLTA Urumuka yang diharapkan belum terbangun yang direncanakan menyuplai Listrik belum terbangun.

Di samping itu, imbuh Jhon Gobai, pembangunan Smelter di Gresik tentu membuka peluang bisnis angkutan bahan tambang dari Timika ke Gresik, tentu ini ada oknum yang punya kepentingan bisnis akan bermain disini agar tercipta sebuah usaha baru.

Termasuk pengadaan tenaga kerja ini juga merupakan sebuah peluang usaha bagi orang tertentu. Padahal, Freeport masih punya masalah terkait 8.300 karyawan yang nasibnya terkatung katung sampai hari ini. (bat)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *