Mantan Bupati Yalimo Ditahan Polda Papua, Kuasa Hukum Nilai Sarat Muatan Politis

Tim Kuasa Hukum Lakiyus Peyon, Iwan Kurniawan Niode, SH didampingi Eugen Ehrlich Ari, SH, MH memberikan keterangan pers, Selasa, 26 Oktober 2021.
banner 120x600

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Mantan Bupati Yalimo, Lakius Peyon ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial Rp 1 miliar oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua. Bahkan, Lakius Peyon yang juga Calon Bupati Yalimo yang berpasangan dengan Calon Wakil Bupati Yalimo, Nahum Mabel ini, telah ditahan di Rutan Mapolda Papua, sejak Senin, 25 Oktober 2021.

Terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Bupati Yalimo, Lakiyus Peyon itu, Tim Kuasa Hukumnya menilai bahwa penetapan tersangka dan penahanan terhadap Lakiyus Peyon sarat dengan muatan politis.

“Kami menilai penetapan tersangka dan penahanan clien kami, sarat dengan muatan politis, apalagi clien kami merupakan Calon Bupati Yalimo,” tegas Iwan Kurniawan Niode, SH didampingi Eugen Ehrlich Ari, SH, MH, keduanya merupakan Tim Kuasa Hukum Lakiyus Peyon kepada wartawan di Jayapura, Selasa, 26 Oktober 2021.

Iwan Niode mengakui telah mendampingi Mantan Bupati Yalimo, Lakius Peyon dalam proses pemeriksaan sebagai saksi, hingga Senin 25 Oktober 2021, malam, Lakiyus Peyon dipanggil sebagai tersangka untuk menjalani pemeriksaan di Mapolda Papua.

“Dalam proses pemeriksaan tersangka tadi malam itu, kemudian beliau berdasarkan surat perintah penangkapan dan penahanan, beliau sudah ditahan sejak tadi malam di Rutan Polda Papua,” ujar Iwan Niode.

Hanya saja, Tim Kuasa Hukum Lakiyus Peyon mengaku ada hal yang mengganjal terhadap kasus yang menimpa cliennya tersebut terhadap proses penegakan hukum atas perkara dugaan korupsi itu.

“Ketika kami menanyakan tadi malam, apakah pak Sekda Yalimo dan Kabag Keuangan Setda Yalimo sudah ditetapkan sebagai tersangka? Kami tidak mendapatkan jawaban yang pasti, terutama Sekda itu belum ditetapkan sebagai tersangka, kalau Kabag Keuangan katanya nanti akan diperiksa secara tersendiri,” ungkap Iwan Niode.

Selain itu, yang dirasa janggal dan menjadi pertanyaan oleh Tim Kuasa Hukum Mantan Bupati Yalimo, Lakiyus Peyon, sebab Sekda belum ditetapkan sebagai tersangka, namun justru mantan Bupati Yalimo yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.

“Apakah mantan Bupati Yalimo ini menjadi target? Karena berdasarkan uraian atas kasus yang dijalankan oleh mantan Bupati Yalimo dan hasil pemeriksaan tadi malam semenjak ditetapkan sebagai saksi dan tersangka, begitu banyak keterangan yang menyebutkan tentang keterlibatan Sekda Yalimo dalam proses bantuan sosial (Bansos) itu,” tandasnya.

Apalagi, lanjut Iwan Niode, cliennya saat kejadian berada di Jakarta. Semua penanganan demo, kemudian berujung pada pembayaran dengan uang Bansos, semua proses pembayaran itu dilakukan oleh Sekda.

“Proses pembayaran semua itu, cliennya saat itu masih menjabat Bupati Yalimo belum menandatangani SK dan baru ditandatangani bulan Nopember 2020.

Meski dibuat Bagian Hukum pada Juli 2020, tetapi disodor kepada bupati untuk ditandatangani pada bulan Nopember, artinya semua proses kejadian yang terjadi di Yalimo itu, pada saat bupati ada di Jakarta, tapi Sekda yang ada ditempat yang mengambil peran, termasuk meminta Kabag Keuangan untuk mencairkan dana Rp 1 miliar untuk diserahkan kepada para pendemo sesuai dengan tuntutan itu adalah Sekda,” paparnya.

Mestinya, kata Iwan Niode, Sekda Yalimo mestinya ditetapkan tersangka duluan dalam kasus dugaan korupsi dana Bansos itu.

Sejak awal kliennya diperiksa sebagai saksi, Iwan Niode berharap saksi atas ditetapkan sebagai tersangka itu adalah Sekda Yalimo, karena penyidik menyatakan bahwa kasus itu sudah naik status dari penyelidikan kepada penyidikan.

“Artinya kami berharap Sekda ditetapkan sebagai tersangka, tapi tadi malam ternyata Sekda tidak ditetapkan sebagai tersangka, bahkan Kabag Keuangan kapan-kapan baru akan diperiksa, ini kan membingungkan kita,” ujarnya.

Iwan Niode mengharapkan ada keadilan terhadap proses pemeriksaan kepada Mantan Bupati Yalimo, Lakius Peyon.

“Jika penanganan penegakan hukum setengah – setengah seperti ini, jangan salahkan saya dan teman – teman mengatakan bahwa ini target. Ini berkaitan dengan Pemilukada di Yalimo. Kalau mau ada kejujuran, ya periksa Sekda dan semua orang yang terlibat dalam kasus ini, sehingga kita menjadi yakin bahwa ini memang ini proses penegakan hukum. Namun, jika setengah – setengah, jangan salahkan saya dan teman-teman bahwa ini pesanan,” tandasnya.

“Ini berkaitan dengan pemilukada di Yalimo. Jujur saya mengatakan ini kekecewaan kita semua, termasuk mantan Bupati Yalimo, Lakiyus Peyon, karena timpang dalam penegakan hukum atas perkara ini. Ini sangat tidak adil yang dirasakan pak bupati, beliau merasa ia sangat dikorbankan dalam perkara itu,” sambungnya.

Untuk itu, Iwan Niode meminta agar penyidik Direktorat Reserse Kriminal Polda Papua untuk segera menangkap Sekda Yalimo dan ditetapkan sebagai tersangka, karena ia yang bekerja dalam pembayaran batuan sosial, sedangkan pak bupati hanya menandatangi SK, secara administrasi dan itulah yang tertulis dalam berita acara.

“Inikan dibayarkan duluan, pak bupati waktu itu ada di Jakarta. Dalam pemeriksaan, mereka melaporkan kepada pak bupati, perintah pak bupati selesaikan. Namun, pak bupati tidak bilang ambil dana dari Bansos, tidak ada perintah seperti itu,” ujarnya.

Selain itu, imbuh Iwan Niode, Tim Kuasa Hukum juga ingin melihat hasil audit BPKP, karena belum diketahui oleh cliennya tersebut.

“Kami inginkan agar ada proses yang adil dalam perkara ini. Jangan menimbulkan image yang lain atas proses penegakkan hukum ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Tim Kuasa Hukum Eugen Ehrlich Ari, SH, MH mengaku akan mengambil langkah hukum terkait penetapan cliennya sebagai tersangka dan telah dilakukan penahanan tersebut.

“Pertama kami sudah meminta penangguhan penahanan kepada Kapolda Papua, suratnya sudah masuk tadi. Kami berharap dikabulkan, karena mengingat beliau ini sebagai Calon Bupati Yalimo pada Pilkada yang belum selesai prosesnya,” katanya.

Selain itu, Tim Kuasa Hukum akan melakukan upaya praperadilan terhadap Polda Papua, namun saat ini masih berkonsultasi dengan cliennya, terkait dengan bukti – bukti jika memang ada kesalahan prosedur yang dilakukan penyidik Polda Papua.

Dalam kasus ini, Ari menegaskan bahwa ada indikasi ketidakpatuhan Polda Papua terhadap surat telegram Kapolri Nomor SP.2544/VIII/RES/1.24/2020 tanggal 31 Agustus 2020 yang isinya adalah perintah kepada anggota Polri untuk menunda proses hukum kepada para calon kepala daerah pada Pilkada serentak tahun 2020.

“Kita tahu bersama Pilkada di Yalimo belum selesai. Masih ada proses PSU seluruh kabupaten, bukan sebagian TPS atau distrik, sehingga berdasarkan putusan MK itu harus dilaksanakan 120 hari, nah ada kecurigaan kami ini sudah dekat dengan proses itu, kok tiba – tiba ada proses pidana. Seharusnya, Polda Papua bisa mempertimbangkan surat telegram Kapolri itu agar dipatuhi, karena bisa menimbulkan polemik lagi, bisa berujung pada kondisi keamanan di Yalimo,” pungkasnya.

Sementara itu, sebelumnya Direktur Reskrimsus Polda Papua Kombes Ricko Taruna mengungkapkan, mantan Bupati Yalimo periode 2016-2020 telah ditahan sejak Senin, 25 Oktober 2021.

Kasus dugaan korupsi ini berawal dari informasi di media sosial terkait Pemerintah Kabupaten Yalimo melakukan pembayaran kepada perwakilan masyarakat menggunakan dana bansos senilai Rp 1 miliar.

Pembayaran tuntutan masyarakat itu tidak sesuai dengan kriteria pemberian dana bansos Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akibat perbuatan itu, negara dirugikan senilai Rp 1 miliar.

Penyidik telah meminta keterangan dari 18 saksi terkait kasus ini. Mereka juga telah mengumpulkan barang bukti untuk menetapkan Lakius Peyon sebagai tersangka.

Atas perbuatannya, Lakius Peyon dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Plasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *