OPINI: Muktamar NU Setelah Bilangan Dzikir

banner 120x600
banner 468x60

Bendera NU (Foto: nu.or.id)

Oleh: Anang Budiono*

MENJELANG Muktamar NU ke 34 Desember mendatang, selalu diwarnai dengan pertarungan opini, ide, gagasan pemikiran, dukungan, pro-kontra, visi-misi bahkan suara minor lainnya, karena disitulah pelangi demokrasi berjalan. Dinamika jelang kontestasi itu bentuk kewajaran, menunjukkan pula bahwa NU selain besar dan demokratis juga ada berbagai kepentingan warga nahdliyin bahkan di luar nahdliyin.

Sikap NU yang moderat gambaran “islam wasathiyah” dan “rahmatan lil alamin” yang korelasinya adalah mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara yang heterogen/majemuk. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) mempunyai tugas dan tanggung jawab moral pada dua hal diatas. Inilah yang juga menjadi dasar NU dilahirkan para ulama pesantren sebelum Indonesia merdeka.

Merefleksi muktamar sebelumnya 2015 di Jombang, dua agenda besar islam nusantara dan peradaban diusung. Menariknya Muktamar ke 33 Jombang tersebut adalah Muktamar yang pertama kalinya dilaksanakan di tempatnya para pendiri NU. Dan 33 adalah bilangan dzikir kita.

Setelah shalat lima waktu biasanya kita membaca kalimat  tasbih, tahmid dan takbir 33 kali. Perlu diketahui bahwa pada suatu ketika orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin mengadu kepada baginda Nabi Muhammad SAW:

“Wahai Rasulullah saw, orang-orang kaya dan lapang, telah mengalahkan kebaikan dan pahala kami. Mereka melakukan shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa, mereka memeliki kekayaan sehingga mereka bisa haji, bisa umrah, bisa berjihad dan bisa sedekah”.

Nabi Muhammad SAW lalu menentramkan jiwa sahabat-sahabatnya dengan bersabda “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu di mana kamu dapat mendahului, mengalahkan (pahala dan kebaikan) orang-orang sebelum kalian dan sesudah kalian. Mereka menjawab: “Tentu mau ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda kembali, “Bacalah tasbih (subhanallaah), tahmid (alhamdulillaah) dan takbir (Allahu akbar) setiap selesai shalat (wajib) sebanyak tiga puluh tiga kali”.

Di Jombang terdapat 4 pondok pesantren NU yang salah satunya merupakan akar dari organisasi tersebut. Rais Aam pertama NU KH Hasyim Asy’ari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Muktamar waktu itu menggunakan empat pesantren yang didirikan oleh para pendiri NU yakni Pesantren Tebuireng, Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Pesantren Mamba‘ul Ma‘arif Denanyar, dan Pesantren Darul Ulum Rejoso.

Sebelumya semua Muktamar dilakukan di kota-kota diluar akar dan cikal bakal NU lahir. Kenapa begitu ? ya tidak kenapa-kenapa, mungkin itu cara para waliyullah, kyai dan alim ulama yang diluar jangkauan pemikiran kita. Dan di Jombang yang ke 33 adalah pertama kalinya itu seperti nahdliyin rindu dan pulang ke “kampung halaman”.

Dan kini 2021 Muktamar 34 sesuai agenda akan digelar di Lampung, mengusung tema “NU Mandiri, Indonesia Bermartabat”.  Ada dua calom ketua umum santer di setiap perbincangan, KH Said Aqil Sirodj dan KH Yahya Cholil Staquf. Keduanya sesungguhnya tidak bertarung, keduanya tokoh yang sama-sama hebat dalam bidangnya. Ini hanyalah sebuah keramaian linimasa, karena tradisi NU dalam kepemimpinan adalah “dicalonkan” bukan “mencalonkan”.

Genderang kontestasi mewarnai semua media massa, itu juga hal yang biasa saja. Karena sebuah keniscayaan hidup kita di era digital. NU dari dulu sudah menjadi sumber pembaruan ilmu bahkan diakhir-akhir ini sudah tidak ada orang membahas NU seputar ketradisionalistiknya. Namun tetap menjaga budaya lestari. Dan ini mengejutkan banyak pihak karena keseimbangan dan kekuatan menjaga bangsa majemuk ini dapat berjalan sampai detik ini.

Sebagai generasi muda yang nantinya akan diwarisi NU yang penting adalah bagaimana Muktamar 34 di Lampung mampu menghasilkan keputusan serta arah kebijakan NU agar lebih baik kedepan, maju berkembang dan juga moderen. Semuanya mengarah pada pemberdayaan keumatan mampu berdaya saing, membangun sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan pengembangan tekhnologi dan lainnya.

NU sangat kuat di jaringan dan jamaahnya. Dua hal tersebut berkorelasi pada kekuatan menyiapkan regenerasi.  Suksesi kepemimpinan jangan mempertontonkan dinamika politik praktis dan pragmatis yang membuat kami terjebak dan keluar dari bangunan keumatan. Kaderisasi harus dijadikan alat “mentransfer” jati diri NU ke generasi mendatang.

Kita yang hidup di Papua ini merasakan bagaimana NU melalui warga nadhliyinya bisa lebih soft berdampingan dengan saudaranya yang lain dalam berinteraksi sosial. Disini tidak pernah gaduh soal ucapan natal dan tahun baru atau ucapan hari besar keagamaan lainnya , begitu pula sebaliknya mereka mengucapkan hal yang sama kepada kita. Kalau di tempat lain masih gaduh ya silahkan. “Epenkah” sebuah idiom kata di Papua yang mengisyaratkan ketidakpentingan membahas soal yang dianggap sepele. Karena yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Semua persoalan diatas menjadi dinamika dan makanan pokok warga nahdliyin yang semua rata-rata menguasai racikan dan mampu keluar dari polemik untuk menghasilkan keputusan di Muktamar 34 yang baik kedepan. Karena saya percaya bahwa NU masih dijaga para Waliyullah dan Muassis Nahdlatul Ulama.

Yang kami minta hanya sederhana “Warisilah kami generasi muda ini dengan orientasi dakwah dan pelayanan keumatan” agar menjaga NU sesuai khittahnya.

 

*Penulis adalah, Wasekum PW IKA-PMII Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *