Nasib Petani Kebun Sawit Tua di Keerom: Komoditas Andalan yang Makin Jadi Beban (Bagian 1)

Nampak perkebunan sawit Arso, Kabupaten Keerom, Papua. sebagian kecil yang bisa dipanen, namun sebagian besar sudah tidak bisa lagi dan perlu peremajaan.
banner 120x600
banner 468x60

Laporan: Qistiyanto

KEEROM, Papuaterkini.com – Pagi itu saat melintasi wilayah Kabupaten keerom, nampak banyak perkebunan sawit sepanjang jalan tapi ironinya semua tanamanya nampak jelas tidak terawat hanya sebagian kecil yang produktif  kala itu beberapa buruh perempuan sedang bekerja mengangkut brondol  sawit.

Dua orang mama – mama Papua sedang memungut  buah sawit yang habis dipetik dari pohon, selanjutnya dimasukan kedalam karung dan diangkat menuju jalan raya yang jaraknya sekitar 500 – 700 meter dengan berjalan kaki, namanya mama Delila, asal dari Serui, beliau sudah 10 tahun bekerja sebagai buruh lepas pengangkut brondol sawit di area Perkebunan Sawit Arso 10, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.

Dengan bekerja sebagai buruh sawit itu, mama Delila dan rekan-rekan yang lain sehari mendapatkan upah kisaran  Rp 80.000 – 100.000 per hari dengan perhitungan kerja sistem borongan.

“Saya bekerja di ladang sawit sebagai buruh pengangkut buah sawit, sudah bekerja selama 10 tahun. Puji Tuhan dengan hasil Rp 80.000 – 100.000 per hari dapat membantu perekonomian keluarga,” katanya.

“Ini saya bekerja di kebun milik bapak kepala kampung. Jadi, kerjanya borongan hasilnya didapat dari berapa kilo jumlah brondolan sawit yang dapat saya angkut dari kebun menuju jalan raya dimana kendaran truk pengangkut dapat masuk. Pekerjaan ini memang berat apalagi jalannya susah dilalui dan kesulitan lain di ladang banyak nyamuk, bahkan ular juga sering saya temui,” sambungnya.

Dia salah satu buruh yang masih dapat upah dari perkebunan sawit sejak 10 tahun lalu. Ketika sawit mulai tua dan butuh peremajaan, sawit yang dulu dapat menopang kehidupan yang layak, sekarang sudah tidak bisa jadi tumpuan hidup, orang harus kerja serabutan.

Dua orang mama-mama sebagai buruh sawit usai bekerja harian lepas mengangkut sawit menuju ke jalan.

Terpisah Suparno, Anggota DPRD Kabupaten Keerom  ketika ditemui di rumah pribadinya  Arso ll Kabupaten Keerom Provinsi Papua, menceritakan awal mula sawit hadir di Kabupaten Keerom yang merupakan perkebunan sawit tertua di Papua yang dulunya kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Jayapura, berdasarkan UU Nomer 26 Tahun 2002 Keerom menjadi Kabupaten tersendiri.

“Kabupaten Keerom adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Jayapura berdasarkan UU Nomer 26 Tahun 2002, Keerom mempunyai nilai stategis karena berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua New Guinea (PNG),” katanya.

Sekitar tahun 1980 melalui Perseroan Terbatas Perusahaan Nusantara ll  (PTPN), mulai membangun perkebunan sawit di Arso Kabupaten Keerom yang meliputi tiga distrik yaitu Distrik Arso, Distrik Arso Timur dan Skamto, pabrik sawit pertama dibangun didekat kali Tami.

“Jadi, pertama kali sekitar tahun 1980an melalui PTPN ll mulai membangun perkebunan sawit di Arso yang meliputi Distrik Arso, Distrik Arso Timur dan Skamto, seingat saya pabrik yang pertama dibangun didekat Kali Tami,” ujar Suparno.

Menurut cerita beliau yang juga merupakan  warga transmigrasi yang berasal dari Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah ini, kepemilikan sawit terdiri dari plasma yang merupakan Masyarakat Asli dan Transmigrasi dari luar Papua dan kebun inti milik PTPN II.

Dikatakan, pada awalnya panen sawit sangat menjanjikan banyak warga yang bisa memperbaiki rumah ataupun membeli sepeda motor, namun awal tahun 2000, harga sawit mulai menurun sehinga banyak petani sawit tidak mampu mengurus ladangnya.

Situasi ini makin parah manakala memasuki tahun 2005, sehingga biaya untuk memelihara dan memanen buah sawit jauh lebih besar dari hasil penjualan, sehingga banyak lahan sawit yang diterlantarkan warga.

“Semua aktifitas memerlukan biaya yang tidak sedikit seperti merawat, memupuk, memetik, mengumpulkan dan mengangkut ke jalan utama sampai ke pabrik, sementara hasil jualnya tidak sebanding sehingga banyak warga yang tidak lagi menggarap kebun sawitnya,” pungkasnya.

Suparno, Anggota DPRD Keerom membidangi pertanian.

Mengutip Lembaga Studi Pusaka “Atlas Sawit Papua (2015) Terletak di selatan Kota Jayapura, Kabupaten Keerom berada di sisi garis perbatasan dengan Papua Nugini. Pada Awal 1980 an, dikembangkan rencana untuk menjadikan Distrik Arso sebagai wilayah transmigrasi.

Sebagaimana halnya yang terjadi di Manokwari, salah satu kunci untuk membuka lahan transmigrasi adalah dengan menyediakan perkebunan kelapa sawit untuk dioperasikan oleh badan usaha milik Negara PTPN II. Umumnya lahan kelapa sawit ini akan dibagikan dan digarap oleh para transmigran dalam program yang dikenal sebagai PIR atau perkebunan plasma. Begitu banyak tanah ulayat milik masyarakat adat setempat dirampas untuk kepentingan perkebunan. Masyarakat lokal tidak bisa membuat apa-apa.

Hal senada juga dituturkan oleh Latifah Anum Siregar Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) bahwa  permasalahan sawit  di Kabupaten Keerom sangat komplek, imbasnya  para pekerja buruh sawit dan petani sawit yang mengalami penderitaan berkepanjangan, PTPN II berargumentasi mereka mengalami kesulitan untuk menaikkan harga sawit lantaran rantai produksi dan transportasi yang panjang antara Papua hingga ke luar Papua termasuk kualitas sawit di Papua dikatakan tidak terlalu bagus.

Belum lagi, terjadi beberapa kali pemalanggan kebun inti dan pabrik, terutama ditahun 2016 dan 2017 memunculkan implikasi terhadap petani sawit. Para petani sawit merugi, karena sawit mereka tidak terolah , sementara para buruh yang berstatus karyawan harian lepas (KHL) terpaksa mencari pekerjaan lain.

Dengan dalih itu, perusahaan makin memiliki alasan untuk tidak bertanggung jawab dengan kesejahteraan karyawan dan petani sawit, akibatnya banyak buruh yang beralih profesi sebagai tukang ojek, pekerja bangunan dan petani palawija.

Lebih mengenaskan lagi, para buruh perempuan yang sangat terimbas sehinga mereka terpaksa berjualan pinang atau sayur hasil bumi di pinggir jalan.

“Imbas dari perkebunan sawit yang tidak terolah berdampak besar terhadap perekonomian keluarga, terpaksa para mama-mama yang tadinya menjadi buruh sawit mencari penghidupan lain, misalnya berjualan pinang, sayur-mayur dan membuka kios kecil di rumahnya, namun semua itu tidak dapat mengcover kehidupan mereka sehari-hari, termasuk untuk membiaya Pendidikan anak-anak mereka” ungkapnya.

Perempuan asli Keerom pada dasarnya pekerja keras, dulu sebelum ada perkebunan sawit, mereka pergi ke hutan mengambil bahan  makanan mentah, memasak dan mengurus rumah tangga, sedang kaum lelaki mencari binatang di hutan, seperti berburu babi hutan, kuskus dan burung kasuari atau mencari ikan di sungai-sungai kecil.

“Orang Arso asli dikenal sebagai masyarakat peramu, mereka mencari binatang di hutan, Seperti berburu babi hutan, kuskus dan burung kasuari ada juga yang mencari ikan di sungai – sungai kecil dan berkebun,” imbuhnya.

Demianus Fatagur, Tokoh Masyarakat asli Suku  Workwana yang juga memiliki ladang sawit tua di PIR 2, menceritakan dulu ia tidak mengerjakan secara langsung ladang sawitnya, namun disewakan kepada pihak ketiga sehingga ia tiap bulan terima bersih rata-rata per hektarnya dulu sebesar Rp 500.000.

Diakui, hasilnya tidak maksimal karena kebetulan ladang sawit miliknya berada di belakang,  jauh, jadi akses untuk mengangkut hasil panen sangat jauh, belum lagi tidak ada sarana jalan yang kendaran bisa masuk, berimbas pada mahalnya ongkos panen dan perawatan.

“Saya tidak mengerjakan sendiri kebun sawitnya, tapi dikerjakan oleh orang lain. Jadi, kita terima bersih hasilnya tiap bulan kira-kira Rp 500.000 saja,” kenangnya.

Nampak perkebunan sawit yang sudah tua, tidak terawat dan tidak bisa di petik hasilnya lokasi di PIR II Kabupaten Keerom, Papua.

Dikatakan, saat ini ladang sawit tuanya, tidak bisa menghasilkan apa-apa sama sekali atau nol rupiah, karena umur sawit sudah tua. Setelah ladang sawit tua tidak bisa dipanen, ia merasa sangat susah dengan terpaksa mengandalkan pendapatan keluarga dengan berkebun, itupun sangat tidak mencukupi.

Demianus memiliki lahan sawit tua seluas 2 hektar dan selama ini tidak bisa dipanen, lebih sedih lagi ia tidak bisa memberikan pekerjaan pada buruh yang biasa merawat sawit tuanya.

“Saya memiliki kebun sawit tua seluas 2 hektar selama ini tidak bisa dipanen, bapak lebih sedih lagi karena tidak bisa memberikan pekerjaan pada buruh yang biasanya merawat dan memanen kebun saya,” kata Demianus.

Demianus berharap kepada pemerintah untuk mendapat bantuan dari pemerintah agar sawit tua ini bisa produktif dengan peremajaan pohon sawit tua,  dulu Perusahan Sawit PTPN II berjanji pada orang asli membangun jalan dan jembatan sebagai sarana transportasi juga akan membangunkan rumah buat orang asli, tetapi sampai sekarang itu tidak ada.

“Dulu PTPN II berjanji pada Orang Asli Papua membangunkan jalan, jembatan dan rumah, tapi sampai sekarang tidak terealisasi. Saya cuma minta pada pemerintah agar perkebunan sawit tua ini dibangun kembali,” paparnya.

Soal keluhan petani dan buruh sawit itu, salah satu staf di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Keerom di Jalan  Trans Irian, Arso kota Provinsi Papua, Wagiso menerangkan bahwa dulu ada beberapa pelaporan dan keluhan dari warga mengenai perkerkebunan sawit baik dari buruh pabrik PTPN II ataupun petani, tetapi karena Kantor Dinas Tenaga Kerja mengalami musibah kebakaran sehinga data – data dan filenya hilang semua. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 01 Oktober 2020.

“Kami dulu ada pelaporan dari buruh perkebunan sawit misalnya soal gaji, masalah uang lembur yang tidak dibayar, juga ada keluhan dari para petani sawit itu sendiri, tapi mohon maaf pada tahun 2020 kantor kita menggalami musibah kebakaran sehinga data – data tersebut hilang,” katanya.

Mengenai konflik antara petani sawit Orang Asli Papua (OAP) dan Petani sawit yang notabenya pendatang (Tranmigrasi) diakui selama ini tidak pernah terjadi. Permasalah selama ini yang ada justru antara buruh sawit atau petani sawit dengan perusahan, tapi untuk datanya tidak ada, karena imbas kebakaran.

“Tidak pernah ada laporan yang kami terima tentang konflik antara petani sawit Orang Asli Papua dan petani sawit transmigrasi, yang ada justru pelaporan dari buruh sawit ke Perusahan sawit, tapi maaf untuk datanya kita tidak ada imbas dari kebakaran tahun lalu,” pungkasnya.

Dari catatan Redaksi Papuaterikini.com, kebakaran Kantor Dinas Tenaga Kerja ( Disnaker) terjadi pada hari Kamis, 1 Oktober 2020 lalu. Kebakaran tersebut dipicu oleh aksi massa yang kecewa dengan hasil seleksi tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), namun aksi massa tidak terkendali dan seluruh bangunan Kantor Disnaker Kabupaten Keerom Ludes di lalap api.  (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *