JAYAPURA, Papuaterkini.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menilai bahwa proses penyusunan Rancangan Undang – Undang Daerah Otonom Baru (RUU DOB) Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah, tidak sesuai mekanisme perundang-undangan.
Untuk itu, LBH Papua meminta Presiden Republik Indonesia segera perintahkan Ketua DPR RI batalkan kebijakan RUU Pemekaran Propinsi Propinsi di Papua, sebab perumusannya tanpa mengakomodir aspirasi Masyarakat Papua sesuai Perintah Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h dan UU Nomor 15 Tahun 2019.
“Ketua DPR RI segera perintahkan Panja batalkan kebijakan RUU Pemekaran Propinsi Propinsi di Papua, sebab perumusannya tanpa mengakomodir aspirasi Masyarakat Papua sesuai Perintah Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h, UU Nomor 15 Tahun 2019,” tegas Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, SH, MH dalam releasenya yang diterima Papuaterkini.com, Rabu, 13 April 2022.
Selain itu, LBH Papua meminta Panja dan Baleg DPR RI Perumus RUU DOB Papua wajib menghargai dan menerima aspirasi penolakan RUU DOB Papua yang disampaikan masyarakat Papua mengunakan kewenangan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h, UU Nomor 15 Tahun 2019 yang dinyatakan melalui aksi demostrasi tolak RUU DOB Papua.
LBH Papua mendesak Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) serta Ketua DPR Papua dan DPR Papua Barat segera serahkan aspirasi rakyat Papua tentang penolakan RUU DOB Papua kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI dan Panja Perumus RUU DOB Papua.
“Baleg DPR RI gunakan hak inisiatif sahkan RUU DOB Papua, sementara rakyat Papua gunakan kewenangan melalui “Aspirasi Masyarakat Papua” sesuai Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 junto Pasal 18 huruf h, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang menolak RUU DOB Papua,” tandasnya.
Sebelumnya, DPR RI menyetujui RUU Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah menjadi RUU inisiatif DPR RI. LBH Papua menilai bahwa melihat dasar hukum perumusan RUU DOB Papua oleh DPR RI yang berpatokan pada pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua itu, maka selanjutnya akan dilihat efektifitas Baleg DPR mengimplementasikannya dalam perumusan RUU DOB Papua.
Pertama, jelas Emanuel Gobay, berdasarkan kalimat “sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”, artinya mengarah pada UU Nomor 2 Tahun 2021, sehingga dalam perumusan RUU DOB Papua, Baleg DPR RI tidak bisa hanya berpatokan pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 saja, namun wajib menerapkan ketentuan “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/ kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan pada masa yang akan dating” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001.
Kedua, lanjut Emanuel Gobay, dengan mengacu pada kalimat “ditetapkan dengan Undang-Undang”, dimana dalam pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 itu, secara langsung mengarah pada “Tata cara pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang mengenai pembentukan daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat” sebagimana diatur pada Pasal 96 ayat (3), PP Nomor 106 tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Atas dasar kalimat “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 96 ayat (3), PP Nomor 106 tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua, maka jelas-jelas mengarah pada ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Dengan demikian, maka dalam perumusan RUU DOB Papua itu, Baleg DPR RI wajib mengikuti mekanisme sesuai ketentuan Pasal 16 dan Pasal 18, UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” paparnya.
Untuk itu, ujar Emanuel Gobay, secara hukum dapat disimpulkan bahwa perumusan RUU DOB Papua dilakukan hanya berdasarkan inisiatif anggota DPR saja sesuai ketentuan pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua dan mengabaikan aspirasi masyarakat Papua serta tidak berkordinasi dengan MRP dan DPR Papua sesuai perintah pasal 76 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001.
Atas dasar fakta itu, kata Emanuel Gobay, membuktikan bahwa Baleg DPR RI dalam merumuskan RUU tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah tidak sesuai dengan mekanisme perumusan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Padahal, imbuh Emanuel Gobay, rakyat Papua menyalurkan aspirasinya yang menolak DOB provinsi yang didorong secara sepihak oleh Baleg DPR RI dengan cara melakukan aksi demostrasi damai.
Aksi demonstrasi penolakan RUU DOB Papua digelar oleh rakyat papua di Jayapura dan Manokwari pada 8 Maret 2022, Wamena pada 10 Maret 2022, Paniai pada 14 Maret 2022, Yahukimo pada 15 Maret 2022, Lani Jaya pada 30 Maret 2022, Nabire pada 31 Maret 2022 dan di Sorong, Merauke, Kaimana dan Jayapura pada 1 April 2022. Bahkan, aspirasi rakyat Papua itu, telah diserahkan ke DPRD dan DPR Papua.
“Dapat disimpulkan bahwa RUU tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah yang ditetapkan Panja menjadi RUU menggunakan inisiatif DPR dirumuskan secara sepihak dan tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua, sebab masyarakat Papua di Jayapura, Manokwari, Wamena, Paniai, Yahukimo, Lani Jaya, Nabire, Sorong, Merauke, Timika, Kaimana dan lain sebagainya menyatakan menolak RUU DOB Papua,” pungkasnya. (bat)