Soal Pemekaran, Yulius Miagoni: DPR RI Jangan Gunakan Hak Legislasi Secara Membabi Buta

Anggota DPR Papua, Yulius Miagoni.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Anggota DPR Papua, Yulius Miagoni meminta Badan Legislasi DPR RI dan Anggota DPR RI utusan dari Provinsi Papua agar tidak asal membagi Tanah Papua seolah-olah memotong roti seenaknya.

“Saya minta Baleg DPR RI dan anggota DPR RI utusan Papua jangan dia bagi tanah Papua kayak potong roti yang semudah itu,” tegas Yulius Miagoni di Jayapura, Senin, 11 April 2022, menyikapi terkait persetujuan Baleg DPR RI terhadap RUU Pemekaran atau Pembentukan Tiga Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua baru-baru ini.

Sebab, menurut Yulius Miagoni, aspek untuk membagi provinsi, tidak bisa berdasarkan wilayah adat, karena hal itu bisa saja menjadi masalah di kemudian hari. Bisa dibagi berdasarkan administrasi pemerintahan, tapi berhubungan dengan wilayah adat.

Untuk itu, Anggota DPR Papua dari Jalur Pengangkatan Wilayah Adat Meepago ini, meminta DPR RI jangan menggunakan hak legislasinya secara membabi buta.

“DPR RI jangan gunakan hak legislasinya secara membabi buta. Mestinya punya tugas untuk menjaring aspirasi. Itu tugas inti DPR, bukan karena dia DPR RI punya sesuatu yang luar biasa, setidaknya minimal mendapatkan laporan atau informasi dari DPR provinsi, Pemprov Papua dan MRP harus didengar,” tandasnya.

Bahkan, Yulius Miagoni menegaskan bahwa Papua milik semua orang, bukan milik DPR RI. “Jangan seolah-olah Papua milik DPR RI atau tokoh – tokoh yang minta pemekaran.  Papua itu milik bersama atau semua orang. Oleh karena itu, pendapat atau aspirasi itu harus didengar,” tegasnya.

Apalagi, lanjut Yulius Miagoni, ada beberapa daerah yang sudah terbukti dipaksakan pemekaran, padahal DPR RI membagi wilayah itu tanpa dasar, tanpa data dan kajian yang jelas.

Yulius Miagoni mencontohkan ketika DPR RI memberikan angin segar untuk  Provinsi Irian Jaya Tengah di Timika, Kabupaten Mimika saat itu, padahal sebelumnya Mimika adalah pecahan dari Kabupaten Fakfak. Sedangkan, kebanyakan tokoh politik, pemerintahan, gereja itu ada di Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya.

“Saya bukan bermaksud menolak Timika jadi ibukota tidak, tapi kajian pemahaman DPR RI tidak sampai kesana, sehingga orang dari kabupaten lain, merasa pemekaran bukan dari Timika. Itu akhirnya bisa jadi masalah, bahkan terjadi perang suku terjadi hingga mengakibatkan 9 orang meninggal dunia saat itu,” jelasnya.

Anggota Komisi III DPR Papua ini mewanti – wanti agar pemekaran di Papua jangan sampai menyisakan masalah. Sebab, jika terburu-buru atau dipaksakan, maka perang bisa hidup kembali dan itu menjadi kegagalan dari DPR RI.

Mereka seenaknya duduk dan berbicara di Jakarta. Mereka bicara seenaknya bahwa Nabire masuk ke Saereri. Bisa saja itu tidak masalah, tapi cuma pertanyaannya caranya bagaimana Nabire bisa masuk ke Saeriri itu? Apakah pemerintahannya dibawa kesana atau orang-orangnya dibawa ke sana? Jangan seenaknya mengatakan Nabire masuk Saereri,”  kata Yulius Miagoni tampak heran.

Bukan hanya itu, ujar Yulius Miagoni, termasuk Kabupaten Pegunungan Bintang masuk ke Tabi, namun orang Tabi tidak mau. Padahal, orang Pegunungan Bintang juga merasa tidak mau masuk ke Tabi maupun Papua Selatan, mereka ingin berdiri sendiri.

“DPR RI jangan seenaknya = bagi Papua menjadi beberapa provinsi. Coba datang diskusi dengan kami yang ada di provinsi dan DPR Papua, meski ada pejabat yang minta pemekaran ke sana. Mestinya aspirasi yang masuk itu, kita konsultasikan ke kita. Kalau masyarakatnya minta mekar, ya dimekarkan. Tapi, banyak yang menolak pemekaran, bahkan ada yang korban. Namun, seolah kuping mereka tersumbat,” pungkasnya. (bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *