Warga Tiga Kampung di Area Freeport Terabaikan, FPHS Desak DPR Papua Bentuk Pansus

Ketua Komisi I DPR Papua, Fernando Jansen A Tinal didampingi Sekretaris Komisi I Feryana Wakerkwa dan anggota foto bersama pengurus FPHS usai rapat kerja di Hotel Horison Kotaraja, Abepura, Kamis, 7 April 2022.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Wilayah Operasi PT Freeport Indonesia yang berada di tiga kampung yakni Kampung Tsinga, Waa/Banti dan Aroanop meminta DPR Papua membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan tuntutan mereka yang terabaikan selama puluhan tahun sejak perusahaan tambang itu beroperasi di Mimika.

“Kami meminta agar DPR Papua membentuk Pansus untuk membantu menyelesaikan hak-hak kami yang selama puluhan tahun terabaikan. Itu dari hati nurani tuntutan masyarakat 3 kampung sebagai pemilik hak sulung atas wilayah tambang Freeport,” kata Ketua FPHS, Yafet Beanal usai pertemuan dengan Komisi I DPR Papua di Hotel Horison Kotaraja, Abepura, Kota Jayapura, Kamis, 7 April 2022.

Dikatakan, selama 54 tahun warga tiga kampung yang berada di areal pertambangan kelas dunia ini, namun banyak hal yang tidak terlihat dan tidak tersentuh, dimana sejak tahun 1967 PT. Freeport Indonesia beroperasi di Tembagapura Papua.

Sejak beroperasi 1967, lanjut Yafet Beanal, Freeport telah mengabaikan hak-hak masyarakat 3 kampung yakni Kampung Tsinga, Waa/Banti dan Aroanop.

Bahkan, sejak beroperasi tahun 1967, PT Freeport Indonesia belum pernah memberikan kompensasi atau ganti rugi atas tanah yang digunakan sebagai areal pertambangan kepada masyarakat pemilik hak ulayat di tiga kampung.

 

“Keadaan diatas telah mengakibatkan masyarakat kehilangan tanah/hak ulayat sebagai tempat mencari nafkah dan sumber penghidupan dari generasi ke generasi,” ujarnya.

Yafet Beanal mengaku telah menyerahkan aspirasi kepada Komisi I DPR Papua dalam rapat kerja ini, sehingga diharapkan masyarakat pemilik hak ulayat area tambang PT Freeport terutama 3 kampung itu, mendapatkan keadilan.

Dikatakan, upaya yang dilakukan FPHS ini, sebenarnya percontohan kepada daerah lain yang ada perusahan tambang, namun terabaikan hak-haknya selama ini.

Untuk itu, kata Yafet Beanal, FHPS meminta mereview kembali amdal di area PT Freeport Indonesia dan pengukuran tanah kembali. “Kami juga meminta kompensasi atas 54 tahun beroperasinya PT Freeport di wilayah adat kami,” ujarnya.

Sekretaris FPHS, Yohan Songgonau menambahkan jika FPHS memperjuangkan hak – hak dasar warga pemilik hak ulayat di area PT Freeport itu, sesuai aturan.

“Kita memperjuangkan atas hak – hak masyarakat kami yang ada di tiga kampung di area tambang Freeport yang selama ini terabaikan,” imbuhnya.

Untuk itu, imbuhnya, FPHS menempuh langkah – langkah secara baik termasuk melakukan pertemuan dengan Komisi I DPR Papua untuk memperjuangkan hak masyarakat adat tiga kampung itu.

Menanggapi permintaan FPHS untuk membentuk Pansus itu, Ketua Komisi I DPR Papua, Fernando Jansen A Tinal mengatakan jika pihaknya menerima.

“Kami menerima aspirasi itu dan akan mendorong ini agar menjadi agenda DPR Papua tahun ini sehingga kami akan sampaikan kepada pimpinan DPR Papua termasuk dalam rapat Bamus DPR Papua. Sebab, agenda ini sangat penting sekali sehingga dapat disetujui menjadi suatu pansus, terserah judulnya apa nanti,” kata Jansen Tinal.

Dikatakna, dengan pembentukan Pansus itu, diharapkan menjadi satu wadah dengan melibatkan berbagai pihak terkait, sehingga dapat fokus menyelesaikan persoalan dengan tuntas.

Politisi Partai Golkar ini mengakui jika jika pertemuan ini merupakan tindaklanjut permohonan audiensi FPHS.

“Sebenarnya ini adalah perjalanan panjang yang dilakukan FHPS dan Komisi I DPR Papua menerima dalam rapat kerja dan melakukan diskusi. Kami mendapatkan presentase dan pencerahan mengenai perjalanan FPHS selama ini,” ujarnya.

Bahkan, dalam rapat kerja ini, dihadiri dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam rapat komisi untuk dilaporkan ke pimpinan DPR Papua.

Diakui, mereka menuntut hak kesulungan atas hak ulayat di tiga kampung yang ada di area tambang PT Freeport Indonesia yakni Kampung  Tsinga, Waa/Banti dan Aroanop, tidak terpenuhi alias terabaikan, padahal mereka penerima dampak permanen akibat penambangan Freeport itu.

“Hal ini yang tidak diperhatikan Freeport dan pemerintah, seperti ada pembiaran karena terjadi sejak perusahaan tambang itu beroperasi,” jelasnya.

Namun, dengan adanya FPHS ini, imbuh Jansen Tinal, mereka memperjuangkan hak kesulungan atas area tambang PT Freeport secara benar dan bijak terhadap hak ulayat tiga kampung itu, meski sangat panjang dan melelahkan, tetapi kini telah mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Papua, Fernando Jansen A Tinal ini, juga dihadiri Sekretaris Komisi I DPR Papua, Feryana Wakerkwa dan Anggota Komisi I DPR Papua, Las Nirigi, Amos Edoway dan Romanus Omaleng.(bat)

 

 

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *