Jokowi Bentuk Tim PPHAM, Yunus Wonda: Orang Papua Jangan Dijadikan Obyek Pelanggaran HAM

Ketua Harian PB PON Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH.
banner 120x600

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu pada 19 September 2022.

Tim PPHAM ini diberi empat tugas salah satunya merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya yang terdiri dari lima bentuk, yakni rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan terakhir rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Tugas utamanya Tim PPHAM ini adalah melakukan pengungkapan dan analisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020.

Keluarnya Keppres tentang Pembentukan Tim TPPHAM itu, disambut positif Wakil Ketua I DPR Papua, DR Yunus Wonda, SH, MH.

Menurutnya, masalah pelanggaran HAM berat ini, seluruh masyarakat hanya berpikir terjadi di Papua dan Aceh. Namun, Aceh sudah dianggap clear dengan adanya perjanjian Helsinsky, sedangkan di Papua justru sampai hari ini kasus dugaan pelanggaran HAM belum berakhir.

“Kasus pelanggaran HAM di Papua ini, sudah terjadi sejak tahun 1960-an hingga sekarang. Tentu ini menjadi satu akar masalah di Papua seperti hasil penelitian LIPI, sehingga jika ada Keppres tentang Pembentukan Tim PPHAM itu, menunjukkan keseriusan Presiden untuk menyelesaikan masalah di Papua,” kata Yunus Wonda di Jayapura, Rabu, 21 September 2022.

Menurutnya, Keppres tentang Pembentukan Tim PPHAM itu, harus diseriusi dan digaungkan kepada instrumen lain untuk mendorong kasus-kasus ini.

Yunus mencontohkan, kasus dugaan pelanggaran HAM di Wamena, Biak, Wasior, Paniai dan lainnya, belum terselesaikan. Nah, dengan adanya Tim PPHAM ini, ujar Yunus, harus serius untuk diselesaikan.

Apalagi, lanjut Yunus, penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua ini, berkaitan dengan trust atau kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah.

“Penyelesaian pelanggaran HAM ini, akan memunculkan rasa kepercayaan atau trust dari rakyat Papua kepada pemerintah,” tandasnya.

Namun, kata Yunus, jika kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua itu tidak diselesaikan, maka rakyat Papua akan merasa pasti akan terulang kasus pelanggaran HAM berikutnya. Sebab, tidak ada proses jera kepada oknum-oknum yang dengan mudah melakukan pelanggaran HAM di Papua.

“Rakyat Papua adalah bagian dari negara ini. Jangan orang Papua selalu dijadikan obyek pelanggaran HAM. Orang Papua juga punya hak untuk hidup di permukaan bumi ini. Kalau memang ada orang Papua, dia itu mau TPN atau OPM, kenapa tidak dilumpuhkan saja? Sehingga ada jera dan proses hukum berjalan, tapi yang terjadi adalah penembakan. Pelanggaran HAM ini tidak hanya terjadi pada masyarakat sipil, tapi pelanggaran HAM di Papua ini terjadi di semua, baik itu kepada warga sipil, TNI – Polri, termasuk warga Papua dan non Papua, itu terjadi sampai hari ini,” paparnya.

Untuk itu, kata Yunus, pelanggaran HAM di Papua itu, harus dihentikan dan harus ada rekonsiliasi. “Kita bersyukur bahwa akhirnya Presiden juga mengeluarkan Keppres itu, terkait dengan KKR. Ya ini rekonsiliasi harus dilakukan di Papua, sehingga seluruh kasus pelanggaran HAM ini harus selesai,” ujarnya.

Apalagi, kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ini, menjadi sorotan bukan hanya lembaga-lembaga internasional saja, tetapi kini negara-negara di dunia merespon adanya dugaan pelanggaran HAM di Papua itu, terutama kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga Nduga di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, yang merupakan kejahatan kemanusiaan.

Soal tugas Tim PPHAM ini merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya yang terdiri dari lima bentuk yakni rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan terakhir rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya, Yunus Wonda mengatakan, mestinya belajar dari kasus di Rwanda, dimana penyelesaian pelanggaran HAM melalui restorasi justice.

“Itu pelaku bahkan korban, itu dilindungi oleh negara. Itu dalam arti bahwa dia melakukan, sebab apa dan mengapa, itu juga dalam perlindungan hukum. Selain itu, semua korban harta benda itu negara harus istilahnya memberikan kompensasi atau ganti rugi, sehingga ada keadilan di mata rakyat kepada pemerintah dan ada kepercayaan atau trust rakyat kepada pemerintah,” jelasnya.

Termasuk memberikan beasiswa kepada anak-anak korban pelanggaran HAM, kata Yunus, tentu harus dilakukan, karena setelah keluarga mereka menjadi korban, maka mereka kehilangan mata pencaharian, termasuk masa depan anak-anak mereka dipertaruhkan, sehingga negara hadir untuk memulihkan itu.

Dikatakan, Negara hadir untuk bertanggung atas seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk kehilangan harta benda, sehingga negara hadir untuk memberikan jaminan perlindungan.

“Negara harus berani membuka diri untuk memberikan respon kepada korban pelanggaran HAM bahwa negara ada. Ini persoalan kemanusiaan, melalui restorasi justice. Ini harus dilakukan, karena negara mana saja melalukan itu, karena itu kembali kepada rakyat untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintah, termasuk Rwanda melakukan itu, pertama negara mereka meminta maaf kepada seluruh korban yang terjadi, kemudian negara memberikan kompensasi, termasuk pelaku mendapatkan hukuman tapi tetap dalam perlindungan negara,” katanya.

Menurutnya, hal itu harus dilakukan oleh negara, agar tidak ada lagi rakyat terutama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang ditelantarkan dalam kondisi yang buruk.

Sebab, jika tidak dilakukan, ungkap Yunus, maka anak cucu korban pelanggaran HAM itu, akan memiliki dendam kepada negara dan akan muncul gejolak lagi, seperti yang terjadi di Papua saat ini.

“Seperti yang terjadi di Papua saat ini. Dendam yang terjadi dari korban pelanggaran HAM pada tahun 1960-an, karena didepan mata mereka menyaksikan orang tua mereka dibunuh, diperkosa, dianiaya. Itu akan melahirkan kekerasan baru saat ini dan itu tidak akan menyelesaikan masalah,” tandasnya.

Untuk itu, Yunus menambahkan jika Presiden telah mengeluarkan Keppres tentang Tim PPHAM itu, berarti Presiden menginginkan agar pemulihan Papua terjadi dan tidak ada lagi konflik-konflik yang terjadi.

“Papua harus aman, harus damai dan sejahtera. Sebab, jika tidak aman, maka akan terus menjadi sorotan dunia internasional. Mau berapapun provinsi, tidak akan menjamin Papua aman, jika tidak dilakukan rekonsiliasi dan akar masalah Papua harus diselesaikan dulu, baru Papua akan aman. Maka dengan Keppres itu memberikan suatu harapan kepada rakyat Papua bahwa ke depan, Papua pasti akan aman,” pungkasnya.(bat)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *