Ketua DPR Papua Blak-blakan Soal APBD-P Tak Tuntas Dibahas

Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw, SE.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Terkait sikap tak percaya Fraksi Partai Demokrat DPR Papua kepada pimpinan DPR Papua pasca sidang APBD Perubahan Provinsi Papua tak tuntas dibahas, hingga akhirnya muncul Peraturan Kepala Daerah (Perkada), ditanggapi Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE.

Jhony Banua Rouw membeberkan alasan hingga sidang paripurna DPR Papua untuk membahas APBD Perubahan 2022 tak tuntas dibahas hingga ada Peraturan Kepala Daerah (Perkada).

Ia menilai sikap Fraksi Demokrat DPR Papua wajar dalam berpendapat, namun Jhony merasa perlu untuk memberi klarifikasi.

“Yang pertama, Fraksi Demokrat dan juga bagi oknum anggota dewan yang mau menyatakan mosi tidak percaya, itu hak mereka. Namun, saya mau sampaikan mari kita berpegang pada aturan agar semua berjalan dengan baik,” katanya.

Bahkan, ujar Jhony, Fraksi Demokrat DPR Papua yang sudah berpengalaman yang banyak, harusnya bisa memberikan pemahaman sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada kepada masyarakat, agar tidak membuat opini bahwa hal ini wajar.

Menurutnya, dari PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 tahun 2020 sangat jelas mekanisme pembahasan APBD Perubahan. Dari aturan ini, membolehkan tidak melakukan APBD Perubahan paling banyak sekali. Jika tidak dibahas dalam sidang, bisa dilakukan melalui Perkada.

“Jadi, ini bukan hal yang melanggar aturan. Ada aturannya, boleh. Bisa dilihat dalam PP 12 dan Permendagri 77, seperti Pasal 107 yakni Perubahan Anggaran melalui Perkada mengacu pada pasal 107, itu artinya diperbolehkan. Pasal 10 PP Nomor 12 tahun 2019 membuat ketentuan dan persetujuan rancangan Perkada tentang APBD wajib menganggarkan hak-hak sebagai berikut, artinya Perkada wajib membiayai hal-hal yang mendasar, yang diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan wajib,” jelas Jhony.

Politisi Partai NasDem ini menjelaskan, Perkada untuk belanja yang bersifat mengikat adalah belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang berkenan seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa. Sedangkan, belanja yang bersifat wajib, adalah belanja untuk menjami kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan seperti dana beasiswa, guru dan honor guru. Sedangkan, untuk kesehatan seperti operasional pelayanan kesehatan, honor tenaga medis, obat-obatan yang bisa dibiayai dengan Perkada.

Selain itu, melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga, misalnya sudah ada kontrak, maka bisa dibayarkan. Kewajiban pembayaran pokok pinjaman bisa dibayarkan, termasuk bunga pinjaman dan jatuh tempo serta kewajiban lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan.

“Sekali lagi, marilah kita lihat aturannya. Jadi, APBD Perubahan menggunakan Perkada, bukan berarti lalu tidak bisa membiayai pos – pos yang saya sebutkan itu. Sangat bisa membiayai kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hibah untuk membantu pengungsi, itu bisa dilakukan. Saya harap ini menjadi hal yang bisa masyarakat mengerti,” tandasnya.

Ia berharap Fraksi Demokrat dan Anggota DPR Papua memahami aturan dan tidak membuat opini yang terjadi saat ini, namun harusnya memberikan pemahaman dan pembelajaran yang baik kepada masyarakat agar mengerti.

“Saya menjamin ini semua bisa dibayarkan. Itu bukan saja bicara aturan, saya telah berkoordinasi, kami dan TAPD telah rapat resmi di Swiss-Belhotel Papua, 12 Oktober 2022 yang dipimpin Dirjen Keuangan Kemendagri yang dihadiri Ketua DPR Papua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II dan Wakil Ketua III dan Anggota Dewan Nason Utty dan Sekwan, sedangkan TAPD dihadiri Sekda, Asisten, Kepala Badan Keuangan dan Kepala Bappeda,” jelasnya.

Dalam pertemuan itu, telah dibahas dan Jhony menyampaikan bahwa APBD Perubahan terlambat karena ada hal yang mendasar dan prinsip, yang harus dibiayai pertama menyelesaikan masalah pengungsi Nduga, Intan Jaya dan kabupaten lain.

“Kita ingin ada bantuan dan ada program yang nyata, bukan hanya datang bantu bama, terus dianggap selesai. Tapi kita ingin bantu program yang pasti, seperti menfasilitasi mereka biaya pulang ke kampung, menyiapkan sarana prasarana di kampungnya seperti kesehatan dan sekolah, termasuk stimulan bangun rumah, jika rusak dibantu seng, kayu dan lainnya. Bahkan, kita mengusulkan bantuan ternak, bibit dan lainnya, karena mereka tinggalkan kampung lama dan mereka mulai dari nol. Itu yang kami minta,” paparnya.

Selain itu, pihaknya meminta untuk menjamin biaya beasiswa anak-anak Papua baik di dalam dan luar negeri, namun DPR Papua menerima dua permintaan berbeda, dimana dari TAPD hanya menganggarkan dana Rp 40 miliar tambahan pada APBD Perubahan, sedangkan BPSDM menyebutkan mereka membutuhkan sekitar Rp 200 miliar.

“Kita butuh kepastian, berapa yang dibutuhkan? Kalau kita putuskan Rp 40 miliar, pertanyaan bagi kami, kalau besok uang itu sampai Desember tidak cukup? Siapa yang membiayai mereka, uang darimana? Sedangkan ini terkait masa depan anak-anak mereka, mereka butuh biaya hidup, sekolah, ikut ujian, kalau kita tidak bisa biayai hidupnya, bisa jadi beban keluarganya. Apalagi, anak-anak sekolah ini, dalam kategori tidak mampu, kalau kita siapkan uangnya, bagaimana mereka bisa bertahan hidup disana, kuliahnya dan tentu mereka tidak akan bisa menyelesaikan sesuai masa kontraknya, maka mereka akan dipulangkan. Makanya, kami minta kepastian berapa anggaran yang dibutuhkan,” paparnya.

Untuk itu, Jhony meminta Inspektorat untuk mereview kebutuhan anggaran untuk membiayai beasiswa anak-anak Papua didalam maupun luar negeri, agar anggaran tepat dan tidak membuat masalah di kemudian hari. Sedangkan, pihaknya meminta ada pemberdayaan ekonomi bagi Orang Asli Papua, namun dari materi APBD Perubahan yang masuk, anggaran untuk OPD rumpun ekonomi pada hanya dianggarkan Rp 34,3 miliar.

“Jika dibagi rata untuk 6 OPD hanya Rp 5 miliaran, namun mirisnya setelah kita buka detail, kami temukan satu OPD yang sangat penting yakni Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan itu angkanya hanya Rp 999 juta saja. Berarti uang itu hanya dipakai untuk operasional, bukan untuk pemberdayaan, maka jangan kita bermimpi bahwa rakyat kita Orang Papua yang membutuhkan bantuan ternak, bibit, modal dan lainnya tidak bisa kita biayai. Saya yakin itu hanya untuk operasional, bukan untuk rakyat, sehingga kami minta ditambah anggaran Rp 60 miliar untuk OPD rumpun ekonomi, sehingga uang ini untuk rakyat,” jelasnya.

Untuk itu,  jika Fraksi Demokrat DPR Papua meminta APBD Perubahan disahkan cepat, tanpa melihat point-point itu, justru Jhony mempertanyakan apakah mereka punya hati untuk rakyat?.

“Kalau saya dibilang tidak pro rakyat, justru saya bilang ini lho yang saya pertahankan APBD ini. Saya tidak mau ikut berdosa dalam mengesahkan APBD Perubahan ini, karena ini uang untuk rakyat. Itu beberapa point, yang mengakibatkan kenapa tertunda pembahasan APBD Perubahan,” ujarnya.

Diakui, ada proyek multiyears yang data didapatkan pihaknya, kontraknya melebihi pagu anggaran yang telah disepakati pimpinan DPR Papua dan Gubernur Papua pada 3 tahun lalu untuk program prioritas yang harus diselesaikan, termasuk untuk menunjang PON dan beberapa pembangunan gedung yang disepakati selesai tahun 2022.

Apalagi, hal itu sudah ditentukan besaran pagu anggarannya, seperti kantor gubernur telah disepakati Rp 400 miliar, namun dalam rapat dengan Dinas PUPR yang hadir pun karena terpaksa, itu disebutkan kontraknya menjadi Rp 413 miliar alias melebihi pagu anggaran.

“Lalu, ada indikasi ada pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan diluar kontrak itu.  Ada kontrak baru yang dibuat dan seharusnya tidak boleh ada kontrak sebelum sidang APBD Perubahan. Mudah-mudahan itu salah, tapi itu ada indikasi, artinya sudah ada anggaran mendahului,” ungkapnya.

Untuk itulah, Jhony mengingatkan agar hal itu harus dijaga dengan baik dan seharusnya Fraksi Demokrat menjaga hal itu bersama pimpinan dan anggota DPR Papua agar tidak ada celah atau berdampak hukum yang bisa melibatkan pimpinan dewan dan Gubernur Papua yang sudah disepakati.

“Tugas saya harus bisa menjaga pak gubernur. Saya, pak gubernur kita semua bermitra, kita semua di Forkompinda, tugas saya kalau itu tidak benar dan berpeluang berdampak hukum dikemudian hari, saya harus menyampaikan itu. Itu karena saya sangat sayang, saya sangat menjaga pak gubernur, supaya bisa melaksanakan tugas dan tanggungjawab sampai akhir masa jabatan dan setelah itu,” ujar Jhony yang pernah menjadi Ketua Koalisi LUKMEN Jilid I ini.

Mestinya, kata Jhony, Fraksi Demokrat DPR Papua harus berperan menjaga Gubernur Papua dari dampak hukum akibat APBD Perubahan itu.

“Teman-teman Fraksi Demokrat mari kita jaga ini. Jangan kita menjebak pak gubernur. Harusnya kita menjaga itu. Kalau kita menjaga itu, kami tidak perlu membahas, memutuskan hal-hal yang belum jelas,” tandasnya.

Apalagi, terkait dengan penambahan dana hibah bagi pos kepala daerah, Jhony mengatakan jika hal itu seharusnya tidak boleh.

“Ini yang harus kita jaga. Kenapa? Karena itu pos kegiatan, namun kita tahu beliau hari ini sedang sakit, tapi jika kita menambah anggaran pos di sana, beliau harus membuat kegiatan. Kalau pos ini dipakai, tentu ini tidak benar. Kenapa kita tidak setuju disini? Sekali lagi kami hanya menjaga gubernur, tapi secara logika bahwa pada APBD Induk sudah ada biaya untuk gubernur dan wakil gubernur, padahal wakil gubernur tidak ada sampai saat ini,” paparnya.

Hal itulah, kata Jhony, membuat APBD Perubahan tidak selesai, sehingga harus menggunakan Perkada. Namun, Jhony mengatakan tidak perlu khawatir menggunakan Perkada, karena Perkada bukan terjadi hanya di Papua saja, tetapi Perkada tahun 2021 dilakukan oleh Aceh, Kaltim, Kalteng, Papua Barat dan DKI.

Sedangkan tahun 2022, Perkada digunakan di DKI dan Maluku serta Papua. DKI dua tahun berturut-turut menggunakan Perkada, tidak sidang APBD Perubahan.

“Mereka tidak masalah. Pelayanan di DKI tidak masalah, tahun lalu dan tahun ini mereka tidak sidang APBD Perubahan. Mereka beralasan tidak perlu, jadi tidak wajib untuk dilakukan. Jadi, jangan kita buat opini-opini yang tidak benar,” ketusnya.

“Saya harap masyarakat bisa mengerti ini. Kita lakukan ini, hanya untuk menjaga uang rakyat dipakai dengan benar, tepat sasaran, melayani rakyat dengan benar dan tidak dipakai untuk yang lain-lain,” sambungnya.

Soal proses pembahasan APBD Perubahan terlambat, Jhony mengatakan jika materi masuk ke DPR Papua 15 Juli 2022, kemudian ia membuat disposisi pada hari itu juga untuk komisi-komisi melakukan rapat internal maupun dengan mitra OPD.

Namun, setelah melihat dokumen itu, harusnya dilampiri laporan realisasi semester I dan pronosis untuk 6  bulan tahun 2022, tetapi tidak ada lampiran itu dan baru diberikan ke DPR Papua pada 22 Agustus 2022.

Padahal, sesuai aturannya adalah berdasarkan pasal 160 PP Nomor 12 Tahun 2019, laporan disampaikan ke DPRD paling lambat akhir Juli 2022, artinya sudah lewat. Harusnya diberikan bulan Juli, namun eksekutif baru memberi pada Agustus 2022.

“Kami tidak berdalih kenapa terlambat, tapi ini prosesnya. Ini bukan salah satu penyebab utama. Itu membuat tahapan kita baru dilakukan Agustus 2022, lalu saya membuat disposisi kedua untuk rapat dengan mitra,” katanya.

Dalam pembahasan komisi-komisi dengan mitra, itu ada mitra atau kepala dinasnya tidak hadir, bahkan berulang kali diundang, namun tidak hadir juga dan hanya datang kepala bidang, tapi tidak bisa menjelaskan soal data yang akurat.

“Misalnya Kepala Dinas PUPR, kenapa ada uang yang lebihi pagu anggaran. Ada juga untuk pembangunan kantor gubernur, MRP dan KPU dan kantor lain, yang dulunya menggunakan dana infrasturktur sesuai kesepakatan proyek multiyear, dalam pelaksanaan tidak boleh menggunakan dana infrastruktur. Kita harus menggantikan dengan dana SiLPA atau PAD atau sumber-sumber sah yang lain, maka kita sepakati dan setuju harus dibayarkan, nah ini kita butuh penjelasan,” kata Jhony.

“Ini kan sudah ada uangnya kurang lebih Rp 480 miliar. Uang ini kalau kita pindahkan, maka kita harus isi uang baru, sehingga uang dalam harus dipindahkan. Pertanyaan kami uang itu dipindah kemana? Ini yang tidak pernah dijelaskan sampai saat ini? Membiayai program apa saja? Apakah kami mengesahkan barang ini, tapi kami tidak tahu. Dan, ini akan disahkan dalam APBD Perubahan. Ini dana rakyat lho, dana infrastruktur itu dipindahkan, kemana kita harus tahu dong,” sambungnya.

Nah, hal itulah menjadi bagian yang membuat proses itu cukup panjang APBD Perubahan 2022 dan yang pasti DPR Papua merasa masih butuh penjelasan.

“Dalam pembahasan itu, juga ada beberapa yang diminta oleh oknum-oknum anggota DPR Papua, salah satunya dari Demokrat, meminta untuk menyelesaikan  yang mengusulkan untuk menyelesaikan hutang PON yang nilainya cukup signifikan, kurang lebih Rp 300 miliar yang diminta dibayarkan melalui APBD Perubahan ini. Kami bertanya sumbernya darimana? Uang kita tidak cukup, tapi pertanyaan kami yang mendasar Rp 300 miliar itu kenapa harus dibayarkan kembali,” ungkapnya.

Padahal, tegas Jhony, pada APBD Induk 2021, DPR Papua sudah sepakat bahwa semua biaya PON diselesaikan, sebab sudah mengorbankan rakyat untuk suksesi PON. Padahal, pada PON itu, sudah dianggarkan melalui APBD Rp 2,4 triliun sampai 2021. Ini artinya semua kebutuhan PB PON, sudah diakomodir dan bagian lain adalah bagian pusat itu menjadi tanggungjawab pusat dan hal itu sudah disepakati. Sedangkan, yang menjadi kewajiban pemerintah daerah Provinsi Papua sudah 100 persen.

“Itu APBD didalamnya ada dana Otsus. Itu sudah kita lakukan untuk suksesi PON. Pertanyaan kami  jika hari ini masih ada Rp 300 miliar lagi,  pertanyaannya dari pos apa untuk kita dibayarkan? Sedangkan kita sudah selesai, bahkan dalam rapat anggaran resmi, Kepala Badan Keuangan sudah sampaikan semua sudah kami bayarkan, tidak ada hutang lagi. Kalau hari ini masih ada hutang, kita sudah bayarkan hal yang sama, lalu kita diminta uang untuk bayarkan hal yang sama, ya saya pikir kita tidak mau ikut bertanggungjawab untuk itu. Tapi, kami pertanggungjawaban karena itu uang rakyat,” paparnya.

“Minta maaf di point ini, kami pimpinan DPR Papua sudah sepakat untuk tidak membayar lagi uang yang namanya untuk membiayai PB PON. Mungkin ini satu bagian selama ini Demokrat memperjuangkan, karena jika ini lewat sidang, mungkin bisa dibahas lebih lanjut. Tapi, dengan Perkada, karena hutang itu tidak bertuan dan tidak pasti, belum ada review BPK dan BPKP bahwa itu ada hutang,” tambahnya.

Jhony mengaku harus terbuka soal APBD Perubahan itu, agar rakyat mengetahuinya apa yang dikerjakan oleh DPR Papua hari ini, sehingga rakyat paham dan tidak membuat opini.

Jhony memastikan bahwa bahwa dana cadangan Pemprov Papua, tidak digunakan dana cadangan. Ia mengingatkan Kepala Dinas Kesehatan, Direktur RSUD Jayapura, RSUD Abepura dan RSJ Abepura, Dinas Pendidikan dan BPSDM, bahwa tidak dianggarkan melalui penggunaan dana cadangan, yang tadinya mereka siapkan kurang lebih Rp 800 miliar untuk membiayai sejumlah komponen.

Secara rinci, dana cadangan yang diusulkan untuk membiayai pengelolaan pendidikan senilai Rp 502 miliar pada Dinas Pendidikan untuk membiayai honor tenaga guru non PNS.

“Kami DPR Papua setuju itu dibiayai dan kami sangat memastikan bisa dibayarkan dengan Perkada, tapi sumbernya bukan dari dana cadangan,” katanya.

Selain itu, untuk beasiswa sebesar Rp 40 miliar. Jhony mengatakan jika pihaknya setuju untuk dibayarkan, namun sumbernya bukan dari dana cadangan. Dinas Kesehatan senilai Rp 62,2 miliar, RSUD Jayapura sebesar Rp 139,5 miliar, RSUD Abepura Rp 48,2 miliar, RSJ Abepura Rp 18 miliar.

“Kami setuju untuk itu, karena pelayanan dasar kita dan boleh dibiayai. Tetapi, hasil rapat kami dengan Pak Dirjen dan TAPD, saya tanya apakah dengan tidak menggunakan dana cadangan, maka kami tidak bisa biayai ini karena uang tidak ada? Jawabannya adalah bisa, uang kita cukup,” ungkapnya.

Jhony mengaku yakin uang cukup karena APBD Papua untuk perubahan totalnya Rp 3,3 triliun, didalamnya ada dana cadangan kurang lebih Rp 800 miliar, sehingga jika dikurangi itu, maka masih ada Rp 2,4 triliun, termasuk dana SiLPA, dana bagi hasil, PAD dan sumber sumber sah lainnya.

“Jadi, Rp 2,4 triliun ini kita pakai untuk membiayai kurang lebih Rp 800 miliar dana cadangan itu, masih ada sisanya Rp 1 triliun lebih. Sangat cukup untuk membiayai. Jadi, tidak ada alasan kalau uang ini tidak bisa dipakai untuk membiayai hal yang dasar tadi. Di depan Pak Dirjen Keuangan Daerah  disepakati bahwa itu akan dibayarkan, termasuk didalamnya adalah pengungsi dan pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.

Soal pernyataan Fraksi Demokrat yang menyebutkan bahwa tidak ada pendelegasian tugas di DPR Papua, Jhony mengaku jika sejak ia dilantik, sudah membagi tugas kepada pimpinan DPR Papua yang lain.

Seperti Wakil Ketua I DPR Papua mengkoordinir untuk Komisi I dan IV, Wakil Ketua II DPR Papua mengkoordinir Komisi III dan V dan Wakil Ketua III DPR Papua mengkoordinir Komisi II.

“Kalau dibilang bahwa ini adalah kolektif kolegial, kami kan sudah bagi tugas. Dan kalau kita lihat kembali lagi ke belakang, ada beberapa komisi tidak selesai dengan mitra, itu komisi-komisi yang dikoordinir oleh Wakil Ketua I. Terus yang tidak kerja siapa? Wakil Ketua I yang nota bene adalah dari Fraksi Demokrat. Jadi, pernyataan Fraksi Demokrat itu salah alamat, karena nyata-nyata ini. Selama pimpin rapat, apa saya seorang diri, tidak pernah. Saya selalu menunggu pimpinan yang lain, minimal 2 orang,” katanya.

Soal kegaduhan ini, selain Fraksi Demokrat dan ada oknum-oknum anggota dewan yang membuat opini atau pernyataan yang tidak berpegang pada aturan dan terus memaksakan menggunakan sidang APBD Perubahan, tidak menggunakan Perkada.

“Saya pikir ini soal oknum-oknum ini harus jujur, ini memang kepentingan rakyat atau kepentingan anggota dewannya yang terganggu, karena menggunakan Perkada,” ketusnya.

“Saya orang yang tidak setuju kalau APBD Perubahan ini, DPR akan menggunakan uang ratusan miliar. Saya orang pertama yang tidak setuju. Jadi, anggota dewan berjuang untuk rakyat yang susah ini ataukah uang untuk anggota dewan yang mereka ributkan. Tolong oknum – oknum anggota dewan ini harus jujur kepada siapa?,” imbuhnya.(bat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *