Insiden di Yahukimo, HA-JABASU Laporkan Adanya Dugaan Pelanggaran HAM Berat

Ketua Poksus DPR Papua, Jhon NR Gobai menerima laporan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam insiden di Yahukimo, 15 Maret 2022 yang diserahkan Ketua Umum HA-JABASU di Yahukimo, Rabu, 23 Maret 2022.
banner 120x600

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Demo damai menolak pemekaran atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua, 15 Maret 2022, yang berujung dengan terjadinya insiden dua warga tewas tertembak dan sejumlah warga luka-luka, tampaknya berbuntut panjang.

Himpunan Alumni se Jawa Bali dan Sumatera (HA-JABASU) di Yahukimo Papua melaporkan adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat ke sejumlah pihak.

Laporan advokasi hukum adanya dugaan pelanggaran HAM berat itu, juga diserahkan kepada Ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua, Jhon NR Gobai oleh Ketua Umum HA-JABASU di Yahukimo, Papua, Elius Pase didampingi Pelapor Y Pius Kogoya dan Anggota HA-JABASU, Nius Balengga di ruang Kelompok Khusus DPR Papua, Rabu, 23 Maret 2022.

Dalam kesempatan itu, Elius Pase sempat menjelaskan kronologis kejadian demo damai masyarakat Yahukimo yang menolak DOB tersebut, hingga berakhir dengan 2 pengunjuk rasa tewas tertembak dan 6 orang luka – luka dalam kejadian tersebut.

“Kami penanggungjawab demo damai itu, menolak DOB itu karena tanpa melibatkan rakyat melalui Gubernur Papua, DPR Papua dan MRP, sehingga HA-JABASU melakukan unjuk rasa penolakan itu,” kata Elius Pase.

Untuk itu, kata Elius Pase, pihaknya menyampaikan aspirasi rakyat Yahukimo yang menolak DOB atau pemekaran kepada DPR Papua, sekaligus menyerahkan laporan dugaan pelanggaran HAM berat atas kejadian itu.

“Jatuhnya dua korban tewas itu tandanya kami sudah beli. Dalam arti, kami tolak dengan dua korban itu. Tidak ada lagi daerah pemekaran baru di Tanah Papua,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Elius Pase, pihaknya juga menyerahkan laporan kronologis adanya dugaan pelanggaran HAM berat pada kejadian tewasnya dua pengunjuk rasa dan 6 orang mengalami luka – luka ke DPR Papua.

Selain menyerahkan laporan itu ke DPR Papua, Elius Pase mengaku jika pihaknya juga menyerahkan ke Komnas HAM RI Perwakilan Papua, LBH Papua, dewan pimpinan gereja – gereja Papua dan Amnesty Internasional.

“Sebab, di media banyak yang membalikkan fakta atas kejadian 15 Maret di Yahukimo itu, apa yang terjadi itu tidak disampaikan. Seperti salah satu media menyampaikan bahwa jatuh korban karena ada pembakaran fasilitas pemerintah, itu tidak benar,” ungkapnya.

Elius Pase menjelaskan kronologis demo damai yang berakhir ada korban jiwa dan luka – luka pada 15 Maret 2022 di Yahukimo itu, berawal dari demo damai. Bahkan, negosiator telah berkoordinasi dengan aparat keamanan dan DPRK di Yahukimo berjalan dengan baik.

Hanya saja, jelas Elius Pase, pukul 11.30 WIT, situasi berubah. Saat sudah orasi, massa aksi yang dalam keadaan duduk, namun ada dua oknum anggota Polisi yang berpakaian dinas masuk melewati tali komando.

Lalu, komando keamanan massa aksi meminta kedua oknum anggota Polisi itu, untuk keluar dari tali komando tersebut dan meminta agar gambar foto yang telah diambil itu, agar dihapus.

“Tetapi, pihak kepolisian itu, memang mundur. Kemudian salah satu oknum polisi mengambil batu melampiaskan emosi dengan pelemparan batu ke arah massa aksi. Nah, itu awal kerusuhan 15 Maret 2022,” ungkapnya.

Lima menit kemudian, terjadi saling lempar batu antara massa aksi dengan aparat kepolisian. Setelah itu, polisi sudah mengeluarkan tembakan.

“Awalnya keluarkan tembakan angin, setelah situasi memanas. Tembakan sudah ke arah massa aksi, mengakibatkan dua orang pengunjuk rasa meninggal atas nama Osron Weibsa dan Yakob Meklok serta 6 pengunjuk rasa luka – luka,” ujarnya.

Setelah mengetahui ada dua korban meninggal dunia, membuat massa aksi melampiaskan emosi dengan membakar ruko dan Kantor Dinas Kominfo dan Penanaman Modal.

Elius Pase berharap DPR Papua bersama instansi terkait dapat membantu pihaknya, termasuk mendesak Polda Papua untuk mengadili oknum pelaku penembakan terhadap pengunjuk rasa.

“Penegakkan hukum harus jalan, karena tidak boleh sewenang-wenang keluarkan amunisi tanpa ada perintah. Siapa yang memerintah untuk melakukan penembakan? Itu harus diusut dan diadili juga secara transparan,” tandasnya.

Elius Pase meminta Bupati Yahukimo secara bijak dalam menanggapi demo menolak DOB itu.

“Setelah kejadian itu, Bupati Yahukimo menyampaikan bahwa organisasi yang menggelar aksi demo damai itu dibubarkan, kemudian menggelar dan menfasilitasi agar ditangkap dan ditembak. Itu perintah bupati. Kami harap bapak bupati mengklarifikasi pernyataan itu,” imbuhnya.

Komnas HAM RI Perwakilan Papua Diminta Sampaikan Terbuka Hasil Investigasi 

Menanggapi aspirasi itu, Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, Jhon NR Gobai menyatakan menerima aspirasi itu dan akan meneruskan kepada pimpinan DPR Papua.

Diakui, situasi di Papua secara umum sedang terjadi dinamika pro kontra pemekaran atau DOB, sehingga meminta polisi secara dewasa menyikapi hal itu dan memberikan ruang demokrasi kepada rakyat.

“Bukannya membatasi dan justru memancing situasi menjadi panas. Dimana-mana aksi mahasiswa, termasuk aksi yang biasa dilakukan TPN/OPM maupun orang Papua pada umum itu, mereka memang tidak suka diambil gambar atau difoto sama orang yang mereka tidak kenal sama sekali, kecuali panitia dari aksi itu,” katanya.

Sebab, kata Jhon Gobai, jika mendengar dari kronologis yang disampaikan HA-JABASU di Yahukimo dan juga sering kali dijumpai di lapangan, kadang tindakan oknum aparat justru berawal memancing situasi untuk menjadi panas.

“Nah, dari kronologis yang disampaikan itu, patut diduga bahwa memulai memanasi ini, mulai dari oknum anggota polisi,” ujarnya.

Berkaca pada kasus pembantaian karyawan PT Istaka Karya, kata Jhon Gobai, itu berawal dari adanya karyawan memotret aktivitas OPM, sehingga mengundang masalah. Begitu juga di tempat lain, termasuk ketika polisi melakukan kekerasan, ketika dipotret, pasti marah dan kamera wartawan diambil.

“Dari permasalah di Yahukimo itu, akar masalahnya itu potret atau memfoto. Dan itu saya lihat dimana-mana ketika dipotret oleh orang tidak dikenal atau ditugaskan itu, sering mengundang masalah. Seperti kasus di Nduga dan saya juga mengalami dan melihat kamera wartawan Abeth Youw diambil oleh oknum polisi yang waktu itu pembubaran aksi di depan Kantor Pos Abe. Jadi, kasus Yahukimo itu berawal dari oknum polisi memotret massa, itu yang mengundang  marah,” paparnya.

Untuk itu, Jhon Gobai mendesak Komnas HAM RI Perwakilan Papua untuk menyampaikan secara terbuka hasil investigasi atas kejadian di Yahukimo itu.

“Jika investigasinya Komnas HAM itu sama dan cocok dengan kronologis yang disampaikan HA-JABASU, maka Komnas HAM bersama kita mendesak kepolisian untuk memproses hukum terhadap oknum anggota yang menjadi pemicu awal dari terjadi insiden di Yahukimo,” tandasnya.

Menurutnya,  hal itu sangat penting dibandingkan mengaitkan atau mengkambing hitamkan organisasi tertentu atas insiden di Yahukimo itu. Sebab, dinamika pro kontra pemekaran itu sedang ramai di Papua.

“Komnas HAM harus terbuka dan transpara menyampaikan hasil investigasinya. Bila perlu Komnas HAM mengumumkan juga di media, sehingga membuka mata kita semua terkait insiden di Yahukimo,” katanya.

Jhon Gobai berharap pemerintah daerah membina anak-anak muda agar dapat berkontribusi memajukan daerah, sehingga tidak bisa membubarkan organisasi. Sebab, kewajiban pemerintah daerah membina organisasi yang ada, karena bukan organisasi terlarang. (bat)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *