Keluarga Korban Mutilasi Minta DPR Papua Bentuk Pansus

Tim DPR Papua Namantus Gwijangge dan Laurenzus Kadepa memberikan keterangan pers.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Keluarga dari 4 korban pembunuhan secara sadis dengan cara dimutilasi, kemudian potongan tubuh korban dibuang ke Sungai Kampung Tipagu, Distrik Iwaka, Timika, Kabupaten Mimika, 22 Agustus 2022, mendesak DPR Papua membentuk Panitia Khusus (Pansus).

Hal itu disampaikan Anggota Tim DPR Papua, Namantus Gwijangge didampingi Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa di Jayapura, Senin, 19 September 2022.

Tim DPR Papua dari awal sudah berkomitmen mengawal kasus penembakan, pembunuhan dan mutilasi serta penghilangan jejak terhadap 4 warga Nduga di Timika, Papua.

“Sebab, jika DPR Papua tidak mengawal kasus itu, kami tidak tahu penyelesaiannya seperti apa? Oleh karena itu, kami sudah dari awal terus memback up, mengawal, mengawasi seluruh proses hukum yang ada di Timika,” kata Namantus Gwijangge.

Baca Juga : Biadap, Segera Usut Tuntas Kasus Mutilasi 4 Warga Nduga di Timika

Dikatakan, pada Jumat, 16 September 2022, keempat korban sudah dilakukan kremasi jenasah oleh keluarga korban. Namun, hanya potongan tubuh korban yang ditemukan, namun kepala dan kaki belum diketemukan sampai saat ini.

Namantus mengungkapkan sesuai hasil otopsi terhadap 4 korban itu, sesuai yang disampaikan Polda Papua bahwa hasil otopsi diketahui 2 orang ditembak dan 2 orang ditikam lalu dimutilasi.

“Itu hasil otopsi sudah membuktikan 2 orang ditembak lalu dimutilasi, 2 orang ditikam lalu dimutilasi. Kemudian, dari proses yang dilakukan kremasi itu, kami juga kawal dan mereka menjemput dengan adat dan sudah dibakar,” ujarnya.

Lebih lanjut, keluarga korban meminta kepada Tim DPR Papua agar membentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait kasus itu.

“Permintaan keluarga adalah DPR Papua harus terus kawal, tapi dengan kapasitas yang lebih besar, dengan membentuk Pansus, itu pesan dan permintaan keluarga ketika kami ke rumah duka, sehingga dengan kapasitas dan kewenangan Pansus bisa mengawal proses hukum dari kasus mutilasi di Timika,” jelasnya.

Alasan keluarga meminta DPR Papua membentuk Pansus itu, kata Namantus, lantaran ada beberapa kasus yang sudah ditangani dan hasilnya sampai hasilnya belum jelas, terutama proses hukum.

Soal penegakan hukum, diakui Namantus, merupakan wilayah para penegak hukum, namun tugas Pansus DPR Papua merupakan bagian dari pengawalan dan pengawasan DPR Papua sebagai lembaga pengawal aspirasi rakyat.

“Keluarga korban menyayangkan DPR Papua agak lambat mengambil sikap ini untuk membentuk Pansus, karena itu mereka menganggap kasus ini disederhanakan, padahal ini kejadian luar biasa dari kejadian sebelumnya, sehingga DPR Papua harus DPR Papua mengambil sikap yang tegas untuk mengawal kasus ini,” ujarnya.

Yang jelas, tegas Namantus, proses hukum terhadap para pelaku mutilasi itu, diharapkan dilakukan di Papua, bukan di luar Papua dan itu sesuai permintaan keluarga korban agar sidang di Papua.

“Pelaku harusnya diproses di Papua. Tim sedang mengawal, setelah kita ikuti harusnya ada dua proses yakni peradilan militer dan peradilan umum. Kalau memang peradilan militer berjalan, maka secara otomatis akan bersamaan proses advokasi HAM itu akan berjalan, namun jika dibawa ke peradilan umum, maka para pelaku harus diberhentikan secara tidak hormat dari kesatuan, kemudian dibawa dan diproses di peradilan umum,” paparnya.

Namun demikian, imbuh Namantus, saat ini proses sedang berjalan, namun ada opsi lain yakni bisa dilakukan dengan peradilan koneksitas.

“Nah, itu saya kira satu opsi penting yang harus didorong. Peradilan Koneksitas itu bisa memberikan rasa keadilan kepada keluarga korban, tetapi mekanismenya tidak menyalahi. Karena itu, yang diperlukan disini adalah keadilan yang betul-betul dilakukan secara adil dan keluarga korban puas dengan peradilan yang ada,” imbuhnya.
Untuk itu, imbuh Namantus, peradilan terhadap pelaku mutilasi itu, tidak bisa dilakukan di luar Papua, kalaupun keluar dari Timika, maka harus dilakukan di Jayapura.

“Itu permintaan keluarga korban. Kami memback up itu. Kita bicara dari keluarga korban mendapatkan keadilan dari kejadian luar biasa. Jangan sampai kejadian itu, bisa terulang lagi, sehingga proses hukum harus memberi rasa efek jera yang tinggi yakni hukum mati terhadap 10 pelakunya,” imbuhnya.

Kadepa: Kasus Mulitasi di Timika Masuk Pelanggaran HAM Berat atau Tidak, Itu Ranahnya Komnas HAM 

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa mengapresiasi keluarga korban mutilasi memilih proses hukum.

“Soal pembentukan Pansus kasus mutilasi itu, memang banyak aspirasi yang masuk. Tim DPR Papua pertama ke Timika, kemudian Tim DPR Papua hadiri kremasi juga keluarga korban mendesak bentuk Pansus. Juga beberapa kali demo mahasiswa Nduga, terakhir saya terima Jumat lalu, mereka juga meminta bentuk Pansus. Bagian ini, coba pimpinan DPR Papua mengambil sikap,” katanya.

Kadepa membantah pernyataan Pangkostrad Jenderal Dudung bahwa kasus mutilasi 4 warga Nduga di Timika bukan pelanggaran HAM Berat.

“Loh, dia bukan Komnas HAM. Itu ranah Komnas HAM. Jadi, DPR Papua tidak bisa mengatakan itu pelanggaran HAM, begitu juga Polda Papua juga bisa mengatakan itu pelanggaran HAM atau tidak, begitu juga Pangkostrad juga demikian, karena ini ranah Komnas HAM. Dan, Komnas HAM tengah melakukan penyelidikan, nanti hasilnya itu ranah mereka, karena hanya Komnas HAM yang bisa menetapkan itu dari suatu kasus, apakah pelanggaran HAM biasa atau berat. Nah, kita serahkan ke Komnas HAM apakah kasus Timika itu pelanggaran HAM berat atau tidak,” pungkasnya. (bat)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *