JAYAPURA, Papuaterkini.com – Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura mengabulkan gugatan 140 kepala kampung terhadap Bupati Yahukimo dan PTUN Jayapura membatalkan keputusan Bupati yahukimo tentang Pengangkatan dan Pengukuhan Kepala Kampung di Kabupaten Yahukimo Periode 2021-2027 pada 15 Oktober 2021.
Menanggapi putusan PTUN Jayapura itu, Bupati Yahukimo, Didimus Yahuli, SH mengatakan pihaknya menghormati dan menghargai indepensi para hakim yang sudah memutuskan perkara itu. “Itu bukan yang terakhir, tapi masih ada kesempatan kami untuk banding ke PT TUN maupun sampai ke kasasi. Itu bagi kami tidak ada masalah,” kata Didimus Yahuli di Jayapura, Sabtu, 30 Juli 2022.
Atas putusan itu, Bupati Didimus mengaku prehatin dan ikut sedih adalah proses persidangan atau materi yang digunakan dalam persidangan itu, pertama adalah SK 147 yang dijadikan dasar dalam putusan itu, bukan SK.
“Saya tegaskan dari awal bahwa SK 147 itu, bukan SK. Sebab, mekanisme penerbitan SK itu dilakukan oleh kepala bagian hukum, setelah diregistrasikan sebagai lembaran daerah dan diregristasikan ke bagian hukum sebagai arsip. Nah, proses itu tidak berjalan,” tandasnya.
Baca Juga : Hadiri Acara Hanura Papua, Bupati Didimus Yahuli: Parpol Harus Jadi Sarana Membangun Negeri
Bupati Didimus Yahuli menjelaskan, penerbitan SK 147 itu terjadi setelah pemilu lalu selesai dan Bupati Yahukimo sebelumnya dinyatakan kalah. SK 147 itu, dibuat terkesan sangat terburu-buru dan SK itu dibuat oleh Kepala Bagian Pemerintahan Paulus Pahabol dan kepala DPMK Yosep Bayage saat itu, sehingga sampai saat ini, SK 147 itu dianggap bukan SK.
“Bagaimana bisa diakui itu sebagai SK, jika dia tidak terdaftar dalam lembaran daerah atau menjadi dokumen negara. Itu tidak ada sama sekali. Yang sah adalah SK 75 yang masa berakhirnya tanggal 31 April 2021. Itu yang terjadi, sehingga sebagian besar orang ini, baik di pengadilan maupun pengacara, itu saya pikir ditipu atau dipermainkan dengan kepentingan yang sempit dengan keputusan atau SK yang abal-abal,” jelasnya.
“Saya menyayangkan dalam keputusan itu, tidak menggali SK 147 itu lebih dalam. Sebab, jika SK 147 itu betul, maka ketika mantan bupati meninggal dunia, itu berakhir. Nah, sekarang jika SK 147 itu benar, siapa yang bisa memberi keterangan? Sedangkan Kepala Bagian Hukum pak Mustang pada waktu, kemudian Kepala Bagian Hukum sekarang pak Didit, sudah memberikan keterangan bahwa SK itu tidak teregistrasi. Jadi, kenapa orang bilang itu SK? Darimana orang bisa bilang itu SK 147. Nah, disitu saya prehatin,” tandasnya.
Bupati Didimus menilai kepentingan politik sudah diselundupkan dalam permainan hukum. Sebab, mereka yang 140 orang itu, bukan kepala desa. Mereka tidak bisa disebut dalam materi itu sebagai kepala desa. Sebab, SK 147 tidak sah dan tidak terdaftar dalam lembaran daerah Kabupaten Yahukimo serta tidak diakui. Bahkan, di Biro Hukum Setda Provinsi Papua dan di pusat, SK 147 itu juga tidak ada.
“Kok, SK siluman itu bisa memperdaya para hakim senior dan praktisi hukum yang luar biasa itu, yang membuat saya heran sekali. Jadi, begitu pak mantan bupati meninggal dunia, saya pikir perkara itu sudah selesai dan mereka bukan lagi kepala desa. Taruhlah mereka itu disebut masyarakat yang menggugat, mungkin persoalannya lain lagi. Namun, jika mereka mempersoalkan lagi, itu yang membuat saya prehatin untuk meluruskan,” ujarnya.
Yang jelas, lanjut Bupati Didimus, hakim mengetahui persis perkara itu. Sebab, perkara ini pernah mereka putuskan waktu asosiasi kepala desa menggugat itu dan mereka putuskan dalam amar putusannya kabur alias tidak tegas.
“Jadi, ini sebenarnya DPR Kabupaten Yahukimo dengan teman-teman yang lain lebih aktif, sehingga kita tidak sadar digiring dalam kepentingan yang sempit dengan obyek hukum yang kabur. Ini yang membuat saya prehatin, soal putusan kita kalah, saya tidak pikir karena masih ada PT TUN dan kasasi. Saya tidak pikir itu, hanya ingin mencerdaskan orang supaya mengerti prosedur hukum ini, agar SK itu tidak bisa saling mendahului. Jika SK itu benar, ya yang benar itu SK 75 itu,” paparnya.
Dijelaskan, jika SK 75 yang sebelumnya itu berakhir 31 April 2021, tetapi SK 147 diterbitkan Bupati Yahukimo Abock Busup pada 25 Maret 2021.
“Dalam pemerintahan yang sama, SK yang satu tidak bisa mengkudeta SK yang lain. Harusnya tunggu TMT dulu, baru SK 147 itu keluar kalau pun SK itu benar. Namun, prosedur SK itu tidak sesuai, bahkan kertasnya saja sudah berbeda dan itu sudah dijelaskan Kepala Bagian Hukum bahwa SK itu tidak terdaftar dan itu bukan SK, sebab yang terdaftar hanya SK 75 dan SK 298. Jadi, begitu SK 75 berakhir, wajar dong kita lakukan pemilihan masa bhakti yang baru masa bhakti 2021 – 2027,” tandasnya lagi.
Ia menilai pembentukan asosiasi desa dan kepentingan-kepentingan politik dari basis-basis untuk pemilu yang akan datang ini, berupaya menciptakan opini sedemikian rupa dan melakukan pembenaran, sehingga hakim pun terjebak dalam permainan politik yang dibungkus seakan-akan itu kebenaran hukum.
“Jadi, bicara sampai kapanpun SK 147 itu, bukan SK. Saya sudah sampaikan ke Kemendagri dan Biro Hukum Kemendagri memahami itu. Begitu SK sah bila terdaftar dan teregistrasi di bagian hukum. Kenapa saya bilang hakim begitu, saya dengan segala hormat mungkin belum menggali lebih dalam lagi untuk keabsahannya. Jadi, sebenarnya semua orang terjebak untuk SK 147 itu,” katanya.
Yang jelas, imbuh Bupati Didimus, jika terjadi sesuatu di Kabupaten Yahukimo itu, yang bertanggungjawab itu mantan Kepala Bagian Pemerintahan Paulus Pahabol dan mantan Kepala Bagian DPMK, Yosep Bayage.
“Mereka ini yang memperkeruh semua ini dan semua orang ternyata dapat tipu dari permainan ini,” ujarnya.
Bupati Didimus Yahuli menambahkan, jika pihaknya tentu akan mengambil langkah hukum dengan melakukan banding atas putusan PTUN Jayapura itu.
“Kami juga punya bukti lain yang dipegang dan kami akan bawa ke Komisi Yudisial karena ada percakapan antara panitera atas nama hakim dan pengacara. Jadi, ada dua persoalan yang akan kami clearkan semua supaya betul-betul clear and clean, sehingga dia benar-benar bersih untuk semua pihak. Apalagi, ada desa yang mengaku kepada saya bahwa mereka sebenarnya sudah bosan dengan kasus itu, karena harta mereka habis, tetapi dipaksakan,” pungkasnya.(bat)
Respon (2)