JAYAPURA, Papuaterkini.com – Akhirnya, kasus dugaan penggusuran penghuni Asrama Mahasiswa Sakura dan Rusunawa Uncen beberapa waktu lalu, berakhir di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura.
Sidang perdana antara mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Rusunawa dan Asrama Mahasiswa Uncen Sakura melawan Rektor Uncen dan PB PON Papua dalam kasus dugaan perbuatan melawan hukum atas tindakan penggusuran paksa yang terdaftar dengan register perkara Nomor : 109/Pdt.G/2021/PN. Jap telah berlangsung, 30 Juni 2021.
Dalam sidang perdana dihadiri oleh Mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Uncen bersama Kuasa Hukumnya selaku Penggugat, sedangkan Rektor Uncen selaku pihak Tergugat diwakili oleh seorang advokat dan Pengurus Besar PON Papua selaku turut tergugat tidak menghadiri sidang itu. Padahal, telah dipangil secara patut oleh Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura melalu Panitera Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura.
Melihat kondisi itu, membuat Ketua Majelis Hakim PN Jayapura selanjutnya membuka persidangan dan memeriksa identitas para Penggugat dan kuasa hukum Penggugat.
Selanjutnya, Ketua Majelis Hakim berikan kesempatan kepada Advokat yang mewakili Rektor Uncen selaku Tergugat. Kuasa hukum Rektor Uncen selaku Tergugat mengatakan bahwa Surat Kuasanya belum ditandatangani oleh Rektor Uncen selaku Tergugat.
Terkait hal itu, Ketua Majelis Hakim membatasi hak bicara advokat yang mengaku sebagai kuasa hukum Rektor Uncen dan akan memberikan ruang setelah Surat Kuasa telah ditandatangani.
Kemudian, Ketua Majelis Hakim memberikan arahan terkait mekanisme sidang serta tata tertib sidang yang akan digunakan sepanjang sidang berjalan nantinya.
Pada kesempatan itu, Kuasa Hukum Mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Uncen, Emanuel Gobai, SH, MH memohon kepada ketua majelis hakim agar dapat mendokumentasikan persidangan Register Perkara Nomor : 109/Pdt.G/2021/PN. Jap dari awal hingga akhirnya.
Ketua majelis hakim menanyakan hal itu dan dijawab Kuasa Hukumnya Mahasiswa Uncen bahwa untuk LBH Papua sebagai Lembaga Advokasi HAM melihat persoalan ini merupakan persoalan pengusuran paksa yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM sehingga LBH Papua memiliki kewajiban mendokumentasi advokasi bantuan hukum struktural mengunakan litigasi ini untuk dijadikan referensi dalam memberikan pendidikan hukum kritis kepada masyarakat dampingan LBH Papua.
Alasan itu diterima oleh Ketua Majelis Hakim, namun teknisnya harus meminta ijin kepada Ketua Majelis Hakim. Rupanya permintaan itu, mendapatkan bantahan dari Advokat yang mengatasnamakan diri sebagai kuasa hukum Rektor Uncen, tetapi bantahan itu langsung diprotes oleh Kuasa Hukumnya Mahasiswa Uncen sebab yang bersangkutan belum memiliki Surat Kuasa dari Rektor Uncen selaku Tergugat.
Akhirnya Ketua Majelis Hakim menerima sanggahan Kuasa Hukumnya Mahasiswa Uncen, selanjutnya Ketua Majelis Hakim mengagendakan sidang selanjutnya pada 7 Juli 2021 pukul 10:00 WIT.
Untuk diketahui bahwa upaya hukum ini dilakukan, buntut dari upaya mahasiswa Uncen melalui kuasa hukumnya melayangkan Surat Somasi Nomor : 107/SK/LBH.P/III/2021 dan dibalas dengan Surat Jawaban Somasi dari Rektor Uncen Nomor : 1662/UN20/HK/2021 yang intinya menjelaskan “Rektor Universitas Cenderawasih dalam bentuk menjamin kepada mahasiswa yang sebelumnya menempati asrama-asrama yang direnovasi akan diupayakan pindah sementara ke asrama lain yang tidak dilakukan renovasi.
Alternatif kedua adalah Rektor Uncen akan berupaya sedapat mungkin untuk membiayai sewa kamar sementara selama proses renovasi sampai kegiatan PON selesai dilaksanakan. Tetapi, pada perkembangannya, tindakan Rekor Uncen tidak menjalankan janjinya sebagaimana dalam surat Jawaban Somasi dari Rektor Uncen selanjutnya Rektor Uncen melalui Tim Penertiban bekerjasama dengan aparat keamanan (TNI-POLRI) melakukan tindakan pengusuran paksa terhadap mahasiswa Uncen aktif penghuni asrama mahasiswa Uncen Sakura pada 10 Mei 2021 dan 11 Mei 2021 serta penghuni asrama mahasiswa Uncen Rusunawa pada 21 Mei 2021.
Kuasa Hukum Penghuni Asrama Uncen, Emanuel Gobai, SH, MH yang juga Direktur LBH Papua ini menilai jika dari fakta tindakan Rektor Uncen diatas jelas-jelas diduga melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (1), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi kedalam UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Atas tindakan pengusuran paksa itu, diduga telah melahirkan beberapa pelanggaran hukum seperti adanya tindakan pengrusakan barang milik para mahasiswa Uncen penghuni Asrama Mahasiswa Uncen yang jelas-jelas telah melanggar Pasal 170 KUHP.
Selain itu, diduga telah melanggar hak atas pendidikan dan hak atas tempat tinggal merupakan hak asasi manusia yang wajib dilindungi sesuai dengan ketentuan “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 12, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan ketentuan “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” sebagaimana diatur pada Pasal 40, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Atas dasar itu, kata Emanuel Gobai, LBH Papua selaku Kuasa Hukum Mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Uncen meminta kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara mengabulkan gugatan Mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Uncen dan menyatakan Rektor Uncen dan PB PON telah melakukan perbuatan melawan hukum dan penggusuran paksa.
“Rektor Uncen dan PB PON segera menyediakan tempat pindah sementara ke asrama lain yang tidak dilakukan renovasi atau membiayai sewa kamar sementara selama proses renovasi sampai kegiatan PON selesai dilaksanakan bagi Mahasiswa Uncen Penghuni Asrama Mahasiswa Uncen,” tandasnya dalam release yang diterima Papuaterkini.com, Selasa, 2 Juli 2021.
Di samping itu, imbuh Emanuel Gobai, Rektor Uncen dan PB PON segera secara tanggung renteng untuk membayar segala kerugian akibat pengeluaran untuk membiayai tempat tinggal dan kerusakan barang milik penghuni asrama. (bat)