Fraksi Gabungan II DPR Papua Tak Tertarik Rolling AKD

Ketua Umum DPP AMKI, Nason Utty.
banner 120x600
banner 468x60

JAYAPURA, Papuaterkini.com – Fraksi Gabungan II Bangun Papua DPR Papua tampaknya tak tertarik dengan rencana rolling Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR Papua periode 2019 – 2024 dalam waktu dekat ini.

“Terkait rolling AKD, Fraksi Gabungan II Bangun Papua yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Garuda tidak tertarik dalam pembagian atau penempatan di dalam alat kelengkapan dewan,” kata Wakil Ketua Fraksi Gabungan II DPR Papua, Nason Utty, Senin, 24 Oktober 2022.

Bahkan, untuk distribusi anggota ke komisi – komisi atau alat kelengkapan dewan lainnya seperti Badan Musyawarah (Bamus), Badan Anggaran (Banggar), Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan Badan Kehormatan (BK) DPR Papua itu, telah didistribusikan dan berdasarkan permintaan dari anggota fraksi.

“Namun, untuk koalisi pembagian job pimpinan AKD, itu kami tidak tertarik,” tandas Politisi PPP ini.

Nason Utty menjelaskan alasan tidak tertarik fraksinya untuk menempati posisi pimpinan alat kelengkapan dewan itu, salah satunya hasil pemilu 2019, penempatan di dalam pimpinan DPR Papua kali ini, tidak menarik bagi Fraksi Gabungan II Bangun Papua.

Apalagi, lanjut Nason Utty, hal itu diukur dari kinerja pimpinan, sehingga hal itu mengakibatkan pimpinan AKD baik Bapemperda, Bamus, Banggar dan BK DPR Papua tidak maksimal, terutama pengawalan terhadap UU Otsus Jilid II dimana antara Jakarta dan Papua tidak ada isinya.

Sebab, pada periode I kepemimpinan Lukas Enembe – Klemen Tinal, sangat jelas memperjuangkan UU Otsus Plus. Meski, Jakarta tidak tertarik dengan UU Otsus Plus, lanatran undang-undang itu belum berakhir.

Selain itu, MRP juga dalam hearing dialog atau dengar pendapat di setiap wilayah adat, menyatakan bahwa Otsus tidak berhasil. “Nah, irama itu tidak berhasil juga di DPR,” tandasnya.

Nason Utty juga mengungkapkan alasan ketidaktertarikan Fraksi Gabungan II Bangun Papua adalah Daerah Otonom Baru (DOB), bahkan yang paling fatal tidak didukung anggaran. Bahkan, provinsi induk diminta untuk membiayai ketiga DOB atau provinsi baru di Papua tersebut, padahal Pendapatn Asli Daerah (PAD) provinsi induk hanya sekitar Rp 1 triliun saja, tentu tidak akan mampu untuk membiayai ketiga provinsi baru itu.

“DAU kan jelas untuk membiayai pegawai dan lainnya, sedangkan DAK itu tergantung lobi. Itupun tergantung dari kinerja OPD dalam penyerapan anggaran yang ternyata minim, sehingga terpaksa dikembalikan ke pusat,” ungkapnya.

Namun, imbuh Nason Utty, posisi DPR Papua terutama alat kelengkapan dewan, baik komisi – komisi dan badan anggaran, lebih menyoroti biaya, bukan pada perencanaan kegiatan. (bat)

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *