Opini  

OPINI: Tantangan Pemilu di Masa Covid

Petugas KPU saat menyemprotkan cairan disinfektan pada simulasi Pilkada 2020. (istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

oleh: Anang Budiono*

SAAT saya menulis pada medio akhir februari 2022 ini, kita memasuki usia dua tahun pendemi Covid 19 yang menurut temuan ahli medis telah memunculkan virus varian baru. Covid atau virus SARS-CoV-2 pertama kali terdeteksi di China pada akhir 2019 dan pada Juni 2020 telah menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia sendiri virus ini diketahui pada Maret 2020.

Banyak sendi-sendi kehidupan masyarakat terganggu akibat aktivitas terbatas, anak-anak sekolah belajar daring di rumah, pekerjaan sektor swasta terganggu termasuk didalamnya produktivitas barang dan jasa mengalami guncangan. Dan itu berlaku sampai saat ini.

Disini saya tidak mengajak untuk membahas soal covid yang menurut sebagian besar orang  membosankan dan cenderung tidak menarik. Namun ada sisi lain yang memerlukan perhatian dan diskusi bersama yakni demokrasi. Dalam demokrasi ada pemilu, pengawasan dan juga partisipasi masyarakat

Negara kita yang menganut sistem demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi yang dianut sebagai bentuk sistem pemerintahan dalam suatu negara dimana warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan, dan kekuasaan yang dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara. Kalau ditegakkan dengan benar maka semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Kita tidak tahu, sampai kapan pandemi ini benar-benar hilang dan kita dapat kembali menjalani kehidupan seperti sebelum ada covid. Ini sinyal kedepan jika kondisi masih seperti saat ini, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan pemilu serentak Tahun 2024 otomatis akan terdampak sama pada pemilu 2020 lalu.

Lalu muncul pertanyaan, jika kondisi masih seperti saat ini akankah pemilu 2024 mendatang digelar seperti pilkada 2020 atau pemilu dilakukan secara daring atau virtual sebagai bentuk komunikasi online dengan aplikasi yang terhubung ke internet.

Kemudian tugas komisioner Bawaslu bagaimana dalam mengawasinya. Selanjutnya terbayang masalah bahwa tidak semua masyarakat indonesia melek tekhnologi internet, terutama bagi warga usia tua yang berada di kampung-kampung yang jangkauan jaringan internet tidak sekencang di daerah kota atau bahkan dikampung internet belum ada. Jika itu menjadi persoalan perlu pembenahan sistem untuk pelaksanaan pemilu daring/virtual agar tidak menghasilkan kecurangan-kecurangan berbasis IT. Untuk mengatasi kesulitan bagi generasi tua atau warga yang belum melek teknologi dibutuhkan pendampingan.

Untuk mencegah klaster baru, pemerintah harus berlaku adil, artinya jika aktivitas masyarakat dibatasi, anak sekolah lebih banyak belajar daring maka pelaksanaan pemilu juga harus melihat dan mengacu pada kondisi tersebut.

Kita sudah pernah mengalami pelaksanaan pilkada serentak gubernur, bupati dan walikota dimasa pandemi tahun 2020 lalu. Pemerintah memikirkan dan mengantisipasi agar Pilkada ini harus tetap terlaksana, meski sebelumnya sempat diundur, dimana sebelumnya Pilkada ini di rencanakan pada 23 September 2020 lalu harus di undur hingga 9 Desember tahun 2020. Dan persiapan melaksanakan Pilkada dengan protokol kesehatan Covid-19.

Pada pemilu 9 Desember 2020 lalu, Pemilihan kepala daerah di Indonesia digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Total daerah yang melaksanakan pilkada sebanyak 270 daerah di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Waktu yang tersisa ini (menyongsong pemilu serentak 2024) harus dijadikan bahan diskusi guna mencari solusi yang tepat antara Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu agar menghasilkan formula dan tata cara yang bisa diambil dalam menyelenggarakan pemilu yang aman tanpa menimbulkan klaster baru penyebaran wabah covid ini.

Pemilu dimasa pandemi Covid-19 ini juga dikhawatirkan menurunnya minat pemilih dari masyarakat, dan Ini jelas bertentangan dengan tujuan pelaksanaan Pilkada itu sendiri, yakni selain mencari pemimpin, dibutuhkan suara dan peran serta masyarakat dalam pemilihan.

Banyaknya kekhawatiran masyarakat tertular virus bisa mengakibatkan para pemilih kekurangan minat untuk datang ke TPS, dampaknya pilihan golput tidak menutup kemungkinan bakal meningkat serta menimbulkan kecurangan dalam prolehan suara karena dapat disalah gunakan hak suara masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya karena tidak datang ke TPS.

Berdasarkan laporan Bawaslu RI dari laman Kontras terdapat 237 dugaan pelanggaran  protokol kesehatan hanya dalam kurun waktu 10 hari yakni dari 26 September hingga 5 Oktober 2020.  Bahkan meningkat drastis hingga 17 November 2020 yang mencatat 1.448 kegiatan kampanye yang melanggar protokol kesehatan. Bawaslu sendiri menyatakan bahwa pihaknya tidak mampu membubarkan  berbagai kerumunan yang diakibatkan oleh aktivitas kampanye calon.

Pemilu secara daring tentu membutuhkan biaya tambahan untuk perangkat tehknologi yang tidak kecil, disisi lain masyarakat harus mempunyai PC atau minimal smartphone dalam satu keluarga. Sementara pemilu yang konvensional atau biasa kita lakukan saja sudah menyedot APBN yang luar biasa.

Sebagai pengurus salah satu organisasi wartawan, saya bersama organisasi tersebut pernah menggelar pemilihan Ketua Umum secara daring. Bagi kami tentu tidak terlalu menimbulkan masalah berarti karena memahami tata cara dan proses pemilihannya dan yang terpenting karena  kita terbiasa sebagai pengguna internet aktiv. Ada kode tertentu yang diberikan panitia pemilihan berdasarkan nama kita untuk kita buka lalu kita memilih calon dan jagoan kita sesuai nomer urut, dan itu berjalan lancar meskipun memerlukan waktu tiga hari karena anggota kami berada di seluruh indonesia dengan tingkat kualitas jaringan yang berbeda-beda.

Saya tidak mencoba membandingkan, karena ranah organisasi begitu kecil jika disandingkan dengan pemilu yang pemilihnya seluruh masyarakat Indonesia yang berusia cukup sesuai aturan.

Antara pemilu daring dengan konvensional, keduanya merupakan pilihan yang tidak gampang ditengah pandemi covid ini. Tugas berat memang, tapi itulah amanah yang akan diemban KPU dan Bawaslu yang baru saja terpilih pada Februari 2022 kemarin. Semoga wabah ini cepat berakhir sebelum 2024 dan kita dapat melaksanakan pemilu dengan baik. Sekian.

*Penulis adalah Wasekum IKA-PMII Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *