MERAUKE, Papuaterkini.com – Tokoh Masyarakat Adat Malind, Hendrikus Dinaulik meminta Kapolres Merauke, AKBP Ir. Untung Sangaji untuk bertanggungjawab atas pemukulan yang dilakukan oleh oknum anggota Polisi terhadap dua putranya.
Dia mengungkapkan, saat itu, Jumat, 18 Maret 2022, kedua putranya Selsius (21) dan Selestinus (16) sekira pukul 23.00 WIT sedang berkumpul bersama 3 rekannya di sekitaran Bandara Mopah Merauke.
Dinaulik tidak menampik bahwa kedua putranya tengah mengkonsumsi minuman keras bersama teman-temannya pada malam itu.
“Ya, malam itu mereka ijin keluar untuk ketemu teman-teman, mereka memang minum dan salah satu anak saya ini juga ada bawa alat tajam, karena memang saat itu situasi di pintu air sedang tegang karena ada konflik antar warga, jadi mereka bawa alat tajam untuk jaga diri,” katanya di rumahnya, Sabtu, 2 April 2022.
Meski dengan maksud untuk membela diri, dia mengakui bahwa kedua putranya itu salah karena membawa alat tajam. Hanya saja, yang Dinaulik sesalkan adalah cara penanganan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian itu.
“Pertama kali 1 mobil patroli datangi anak-anak saya, mereka sempat adu argument, namun permasalahannya sudah diselesaikan dengan baik dan saling memaafkan, setelah itu aparat kepolisian ini pergi dari lokasi tempat anak-anak saya ini kumpul,” ujarnya.
“Tidak lama, sekitar 10 – 15 menit kemudian dua mobil patroli kembali ke lokasi tempat anak-anak saya ini kumpul. Para oknum aparat ini langsung turun dari mobil patroli dan tanpa banyak tanya langsung memukul anak saya dan teman-temannya dengan membabibuta,” sambungnya.
Tidak berhenti disitu, kedua putranya masih terus mendapat tindakan kekerasan saat digelandang menuju Mapolres Merauke.
“Bahkan, sebelum dimasukan ke dalam sel juga mereka masih dipukul,” jelasnya.
Kata Dinaulik, dia tidak akan mempermasalahkan jika oknum Polisi yang melakukan pemukulan itu dengan maksud dan tujuan memberikan pelajaran ataupun mendidik.
“Kalau untuk memberikan pelajaran, saya tidak keberatan. Tapi ini pukul seperti ingin meluapkan emosi,” ungkap dia.
Akibatnya, bola mata kanan milik Selsius mengalami gangguan syaraf. Selain itu, kedua putranya mengalami memar di sekujur tubuh.
“Setelah anak-anak saya ini dikeluarkan dari sel, kita langsung visum di RSAL. Tapi hasil visum itu tidak bisa kita ambil ya sudahlah. Tapi, karena anak saya, Selsius ini terus mengeluh kesakitan dan tidak bisa melihat dengan jelas, jadi kita pergi periksa lagi ke dokter di RSUD,” jelasnya.
Kata dia, meski hasil pemeriksaan itu belum bisa diambil, namun dari hasil diagnosis awal dokter mata kanan Selsius mengalami kerusakan akibat benturan keras.
“Hari Senin besok baru bisa kita ambil hasil pemeriksaan itu, tapi dari keterangan dokter mata kanan anak saya ini mengalami gangguan,” tukasnya.
Oleh sebab itu Dinaulik meminta Kapolres Merauke, AKBP Untung Sangaji untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh oknum anggotanya terhadap putranya.
“Anak saya cacat akibat aksi jagoan yang dilakukan oleh oknum anggotanya. Jadi, saya minta Kapolres untuk tanggungjawab,” pintanya dengan tegas.
Kata Dinaulik, aksi jagoan yang dilakukan oleh oknum anggota Polres Merauke saat mengamankan kedua putranya itu adalah tindakan yang biasa dilakukan oleh penjajah.
Dia mengungkapkan, dahulu pada jaman penjajahan tindakan penjajah itu pernah dialami oleh kakek-nenek, bahkan kedua orang tuanya.
“Indonesia sekarang sudah merdeka, tapi kenapa tindakan penjajahan itu masih terjadi. Saya keturunan veteran, saya pernah melihat orang tua saya mengalami tindakan kekerasan dari penjajah di masa lalu dan hari ini saya kembali melihat tindakan penjajah yang dialami kedua anak saya saat Indonesia sudah merdeka,” katanya.
“Saya tidak terima maka itu, saya akan tindak lanjut permasalahan ini ke ranah hukum dan saya minta Kapolres Merauke, AKBP Untung Sangaji bertanggungjawab, karena tidak bisa membina anggotanya,” tutur pria yang akrab disapa Hengki ini.
Diapun mempertanyakan apa sebenarnya tugas dari Kepolisian. Melindungi dan mengayomikah ataukah bebas melakukan penindasan dan kekerasa terhadap masyakat sipil.
Hengki juga menutut agar Kapolres Merauke dan seluruh jajarannya untuk mengganti rugi kerusakan mata anaknya dengan uang tunai senilai Rp 10 Miliar.
“Angka itu tidak sebanding dengan apa yang dialami anak saya saat ini, dia cacat seumur hidup akibat tindakan penjajah yang dilakukan oknum anggota polisi itu. Inikah balasan pihak Kepolisian kepada kami? Saya sudah hibahkan tanah saya seluas 30 hektar untuk polres dan 10 hektar untuk polda lalu inikah balasannya,” pungkasnya.
Selain tuntutan Rp 10 Miliar itu, Hengki juga meminta agar oknum anggota Kepolisian yang melakukan tindak kekerasan terhadap kedua putranya itu dapat segera dipindahkan ke daerah Pegunungan Tengah Papua.
“Kalau tidak bisa dipecat, kasih pindah ke gunung saja sana supaya bisa kasih tunjuk dia pu jago juga disana, karena disanakan sama-sama bersenjata. Supaya anggota model begini jangan hanya jadi pengacau di Merauke yang sangat aman ini,” tutupnya.
Sementara itu, Kapolres Merauke, AKBP Ir. Untung Sangaji ketika di konfirmasi media ini terkait hal tersebut membenarkan bahwa anggotanya memang mengamankan kedua putra Hengki Dinaulik dan rekan-rekannya di Bandara Mopah Merauke saat itu.
Untung mengungkapkan bahwa tindakan tegas yang dilakukan oleh anggotanya itu adalah salah satu langkah tepat untuk mengamankan Kota Merauke.
Katanya, saat ini pihaknya tengah berupaya untuk mengamankan Kota Merauke dari aksi penyambitan (pembacokan, red) yang dalam beberapa pekan terakhir marak terjadi di daerah tersebut.
“Kalau soal anaknya pak Hengki ini, beta ingin satu suara dengan beta jangan bawa parang di jalan. Pak Hengki ini di Gudang Arang, tapi anaknya ini bawa parang sampai di Mopah, ada apa? Ditambah anak-anaknya ini mabuk, jadikan kena undang-undang darurat,” ungkapnya saat dikonfirmasi dalam sambungan telepon, Minggu, 3 April 2022.
Mantan Kapolres Aceh Utara ini juga menerangkan bahwa anggota tidak akan mungkin melakukan tindakan tegas apabila anak-anak Hengki tidak melakukan perlawanan.
“Tidak mungkin anggota atau polisi melakukan tindakan tegas kalau tidak ada perlawanan. Mungkin dia merasa dia punya om ini Kapolres sehingga dia melawan dan karena polisi takut kena potong ya akhirnya polisi ancam dengan rotan, sehingga terjadilah pemukulan terhadap penjahat-penjahat lain di jalan yang pegang parang,” ujarnya.
“Kecuali dia angkat tangan atau tiarap pasti tidak akan dipukul, Polisi juga tidak mungkin gila, ini adalah resiko terhadap siapapun yang bawa parang apa bila kena rotan ataupun kena tembak, jangan marah-marah,” terangnya.
Sangaji juga menuturkan bahwa dia pernah menyampaikan kepada semua pihak agar tidak tersinggung apabila pihaknya mengambil tindakan tegas untuk mengamankan suatu tindak kejahatan.
Karena menurutnya, hal ini pantas dilakukan karena berkaitan dengan keselamatan nyawa orang lain.
Diapun tidak akan pandang bulu terhadap siapapun termasuk pada anak dari Hengki Dinaulik. “Yang jadi pertanyaan adalah untuk apa mereka bawa parang kemana-mana begitu,” katanya.
Sangaji menambahkan terkait hal itu, Hengki Dinaulik juga sudah melaporkannya kepada Kapolda, tetapi tidak ada tanggapan dari Kapolda Papua.
“Tidak ada tanggapan dari Kapolda, karena Kapolda juga tidak mau ada Polisi yang kena parang. Kita tidak benci pak Hengki, cuma jadi aneh kalau anaknya bawa parang yang jelas-jelas melanggar Undang-undang Darurat malah dilindungi, bukannya diberi pemahaman,” tuturnya.
“Siapa yang tidak kenal Pak Hengki, dia adalah tokoh di Merauke, cuma kenapa harus melindungi anak-anaknya yang sudah jelas melanggar hukum walaupun memang mereka tidak melakukan aksi penyambitan. Kan bawa senjata tajam itu sudah termasuk melanggar UU Darurat,” tukasnya.
Dia kembali mempertanyakan, kenapa masalah pemukulan ini terus dipermasalahkan, sementara masalah anaknya bawa parang ini dibiarkan, bahkan didiamkan.
Katanya, jika ada sebab maka akan ada akibat, tidak akan mungkin anggotanya tidak melakukan tindakan tegas kalau anak-anak Hengki Dinaulik tidak melakukan perlawanan ataupun mengancam petugas. (ar)